YANG HOT KLIK DI SINI

Rabu, 24 Februari 2010

Longsor, 70 Buruh Teh Hilang

PETA LOKASI LONGSOR

Longsor, 70 Buruh Teh Hilang

Pengusaha Tekstil dan Garmen Mengalami Kerugian Besar

BANDUNG, Lingkungan Global - Selagi dampak banjir yang membuat ribuan orang mengungsi dan puluhan pabrik tekstil lumpuh belum berakhir, peristiwa longsor terjadi pada Selasa (23/2) pukul 08.00 di kawasan perkebunan dan pabrik teh Desa Tenjolaya, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung. Sebanyak 70 buruh perkebunan teh diperkirakan hilang tertimbun.

Longsor di Desa Tenjolaya itu meliputi tiga dari 15 RT di RW 18. Selain menimbun 50 rumah bedeng milik buruh, longsor juga menimbun satu pabrik pengolahan teh, satu gedung olahraga, satu koperasi karyawan, satu puskesmas pembantu, dan satu masjid. Luas perkebunan itu sendiri mencapai 500 hektar. Banyaknya korban yang tertimbun karena longsor terjadi pada pagi hari saat warga tengah beraktivitas.

Hingga berita ini diturunkan, evakuasi masih dilakukan di daerah yang berada di dasar lembah Gunung Waringin dan dikelilingi kawasan perkebunan teh Dewata yang dikelola PT Cakra. Baru empat jenazah yang dapat dikeluarkan dari timbunan tanah, tetapi identitas keempatnya belum bisa dipastikan.

Sekretaris Kecamatan Pasirjambu Saiful Bachri menjelaskan, hujan deras mengguyur lokasi kejadian sejak malam sebelumnya. Kawasan yang longsor merupakan tebing curam yang berbatasan dengan kawasan Gunung Tilu, Bandung Selatan. ”Kawasan itu memang rawan longsor,” kata Saiful.

Menurut anggota pos komando (posko) bencana di Kecamatan Pasirjambu, Kusnadi, evakuasi korban dilakukan secara manual, hanya dengan cangkul karena alat berat tengah menuju ke lokasi longsor yang berjarak 32 kilometer dari Jalan Raya Ciwidey. ”Kami baru dapat laporan jam tiga sore karena buruknya kondisi infrastruktur,” ujar Kusnadi.

Untuk mencapai lokasi longsor, menurut Kusnadi, butuh waktu tiga jam jalan kaki, dengan jalan berbatu dan berkelok. Kawasan itu juga tidak terjangkau jaringan telepon seluler sehingga komunikasi sulit dilakukan.

Asep Ester, relawan dari Kecamatan Rancabali, menambahkan, longsoran berasal dari salah satu perbukitan kebun teh yang produktif. Luas daerah yang tergerus berukuran lima hektar.

Dapur umum

Terkait banjir bandang yang berlangsung beberapa hari terus-menerus di Kabupaten Bandung, pemerintah akan menambah dapur umum di lokasi banjir Sungai Citarum, Kabupaten Bandung, bagi sekitar 15.000 pengungsi.

Menurut Udjwalaprana Sigit, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jabar, saat ini ada tujuh dapur umum yang dipusatkan di lima kantor kecamatan yang terimbas banjir, yakni Dayeuhkolot, Baleendah, Bojongsoang, Banjaran, dan Pamengpeuk.

”Dapur umum akan diperbanyak hingga 14 unit sebab banjir di Baleendah dan Dayeuhkolot meluas ke tiga kecamatan tetangga,” kata Sigit. BPBD Jabar juga akan menambah logistik bagi pengungsi.

Bantuan kepada korban banjir juga belum merata. Sejumlah pengungsi dari Kelurahan Andir, Kecamatan Baleendah, yang mengungsi di tenda yang didirikan di Jembatan Citarum, misalnya, baru pada Senin (22/2) memperoleh kiriman nasi bungkus dari kantor kecamatan. Padahal, mereka sudah mengungsi sejak dua pekan lalu.

Camat Baleendah Usman Sayogi mengakui tidak semua pengungsi bisa tertangani karena personel Palang Merah Indonesia dan petugas kecamatan pengelola dapur umum terbatas. ”Kami hanya bisa menyediakan makanan bagi sekitar 5.000 warga yang mengungsi di tiga titik, yakni Gedung Juang 45, Aula Kelurahan Baleendah, dan Kantor PDI-P,” kata Usman.

Kepala Desa Cangkuang Wetan, Kecamatan Dayeuhkolot, Tedi Supriadi, mengatakan, banjir di daerahnya merendam 954 rumah dan menimpa 4.721 jiwa. Hingga Selasa sore, bantuan yang mengalir ke daerahnya masih minim. ”Warga butuh tikar, selimut, makanan, dan obat-obatan,” ujarnya.

Untuk mempercepat penyaluran bantuan, BPBD Jabar membentuk tim reaksi cepat. Tim itu juga bertugas mengawasi penyaluran bantuan agar tak terjadi penyelewengan, terutama yang selama ini disinyalir warga dilakukan oknum dari kelurahan dan kecamatan.

Untuk pelayanan kesehatan, Dinas Kesehatan (Dinkes) Jabar memastikan stok obat bagi pengungsi masih mencukupi. Dinkes Jabar juga menyiapkan lima mobil penjernihan air dan WC keliling untuk keperluan sanitasi. Sebanyak 7.588 sumur warga yang terendam banjir juga telah diberi kaporit agar bisa kembali dikonsumsi.

Kementerian Pekerjaan Umum melalui Direktorat Jenderal Cipta Karya juga memberi 25 unit alat penjernihan air cepat kepada korban banjir di Dayeuhkolot dan Baleendah. Alat itu digunakan untuk menjernihkan air banjir atau air sungai sehingga bisa dikonsumsi warga.

Kerugian pabrik tekstil

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Kabupaten Bandung Yohan Lukius, Selasa, menjelaskan, kerugian industri tekstil di wilayah Bandung Selatan akibat banjir hingga pekan ketiga Februari ditaksir mencapai Rp 20 miliar.

Banjir menyisakan endapan lumpur merusak mesin, benang, dan kain. Adapun gangguan distribusi mengakibatkan produk tekstil harus dikirim lewat paket udara yang biayanya lima kali lebih mahal dibandingkan dengan pengiriman melalui laut.

Menurut Yohan Lukius, pabrik yang terdampak langsung berada di wilayah Baleendah, Rancaekek, Banjaran, Dayeuhkolot, dan Majalaya. Kawasan tersebut adalah kawasan industri Bandung Selatan bidang tekstil dan produk tekstil. ”Setidaknya 8 pabrik tekstil lumpuh karena seluruh areanya tergenang air. Adapun 30 pabrik lain setengah beroperasi karena banjir hanya merendam sebagian area,” kata Yohan.

Kerugian terbesar yang diderita industri tekstil, lanjutnya, yakni pada renovasi mesin. ”Sebagai gambaran, satu pabrik tekstil skala sedang memiliki sekitar 500 unit mesin. Jadi, untuk perbaikan mesin saja bisa menelan biaya hingga Rp 2,5 miliar,” ujar Yohan.

Belum lagi puluhan ton benang dan kain yang tergenang endapan lumpur. Sebab, kualitas benang dan kain sudah pasti akan turun dan satu-satunya alternatif menghindari kerugian lebih besar adalah dengan menjualnya. Adapun bahan setengah jadi yang sedang dalam proses pemintalan saat mesin berhenti sudah tidak dapat dimanfaatkan.

Selain itu, pengiriman satu kodi produk garmen ke Jeddah, Arab Saudi, menggunakan kapal laut dikenai biaya 14 dollar AS, sedangkan jika memakai pesawat terbang melonjak hingga 70 dollar AS per kodi.

Deden Suwega, Ketua II Perhimpunan Pengusaha Tenun Majalaya, menuturkan, ada sekitar 10 pabrik tenun yang sempat lumpuh akibat banjir, terutama pabrik-pabrik yang berada di Jalan Laswi di antara Majalaya dan Ciparay. ”Kerugian satu pabrik rata-rata mencapai Rp 1 miliar. Sangat dipahami karena biaya produksi pabrik tekstil memang tinggi,” ujarnya.

Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia Jabar Ade Sudradjat menambahkan, dibutuhkan waktu sekitar dua minggu untuk perawatan mesin tenun di pabrik-pabrik tekstil yang terkena banjir.

Kepala Bagian Umum PT Tridaya Sinarmas Pusaka (TSP) Erwin Thomas menjelaskan, pabrik milik PT TSP yang berlokasi di Kampung Cieunteung, Baleendah, merugi lebih dari Rp 1 miliar dan pabrik terpaksa berhenti beroperasi. Diperkirakan pabrik bisa beroperasi kembali paling cepat sebulan lagi.

Pabrik-pabrik lain di Jalan Mohammad Toha sudah mulai beroperasi sejak hari Selasa kemarin. Air bah yang sempat merendam 22 pabrik di kawasan itu telah surut. Jalan Raya Mohammad Toha—penghubung Kota Bandung dengan Kabupaten Bandung—juga sudah dapat dilintasi.

Terlambat penataan

Menteri Perindustrian Mohammad S Hidayat mengakui kerugian industri tekstil dan garmen sekitar Rp 20 miliar. Dari 75 pabrik tekstil dan garmen di daerah itu, ada 30-an pabrik yang kebanjiran.

Menurut Hidayat, kita terlambat menata kawasan yang sudah terbentuk sebagai klaster industri, seperti kawasan Bandung Selatan. ”Kita semestinya segera membenahi lingkungannya,” kata Hidayat.

Kementerian Perindustrian, kata Hidayat, sudah mendapat janji dari Gubernur Jabar bahwa lingkungan klaster industri yang sudah terbentuk dan menghasilkan produk nasional segera diperbaiki menggunakan biaya dari APBN. Ini diperlukan agar kawasan itu memenuhi status sebagai kawasan klaster industri.(WAS/ELD/GRE/REK/ABK/ADH/OSA)***

Source : Kompas, Rabu, 24 Februari 2010 | 03:31 WIB

Warga Protes Program Pamsimas

SUMBER AIR

Warga Protes Program Pamsimas

GARUT - Ratusan warga Desa Situsari, Kecamatan Cisurupan, Kabupaten Garut, menuntut Program Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas) di Desa Pamulihan, Kecamatan Cisurupan, Kabupaten Garut, dihentikan. Program yang pembangunan fisiknya sedang berlangsung ini telah mengambil sumber mata air yang selama ini mengalir ke Desa Situsari.

Warga Situsari khawatir, jika program dari pemerintah pusat tersebut diteruskan, warga Situsari akan kesulitan air bersih. "Sekarang musim hujan, air banyak. Tapi, nanti kalau sedang kemarau, sehari tidak hujan saja air langsung susah," kata Ketua RW 01 Desa Situsari Muhid, Selasa (23/2) di hadapan anggota Komisi B DPRD Kabupaten Garut.

Keluhan penyerobotan sumber air ini disampaikan ratusan warga Situsari di Gedung DPRD Garut dengan berunjuk rasa. Massa datang ke Gedung DPRD Garut menggunakan tujuh truk dan sejumlah sepeda motor sekitar pukul 09.30. Mereka berorasi di pintu masuk gedung sambil beberapa di antaranya membawa poster penolakan terhadap Pamsimas dan camat yang dinilai berat sebelah.

Muhid mengatakan, sumber air bersih untuk proyek Pamsimas Desa Pamulihan rencananya diambil dari Gulung Golong dan Tegal Mariuk di Cagar Alam Gunung Papandayan.

Proses musyawarah

Ketika berdialog dengan anggota Komisi B DPRD Garut, Dadan Hidayatulloh, perwakilan warga Situsari, Sodik, menyatakan, yang dikehendaki warga Situsari ialah jangan sampai Pamsimas untuk Desa Pamulihan mengambil sumber air yang selama ini mengalir ke Desa Situsari.

Menanggapi aspirasi warga Situsari, Dadan mengatakan, Komisi B akan segera turun ke lapangan untuk mengecek lokasi Pamsimas. Selain itu, DPRD juga akan meminta keterangan dari pihak-pihak yang terkait dengan masalah ini.

Camat Cisurupan Imam Prayogi menjelaskan, pemilihan lokasi sumber air untuk Pamsimas Desa Pamulihan telah melalui proses musyawarah antara perwakilan warga Desa Pamulihan dan Situsari, musyawarah pimpinan kecamatan, serta Balai Konservasi Sumber Daya Air yang berwenang mengelola cagar alam. (adh)***

Source : Kompas, Rabu, 24 Februari 2010 | 11:33 WIB

SUNGAI CIMANUK : Anugerah Sekaligus Malapetaka

SUNGAI CIMANUK

Anugerah Sekaligus Malapetaka

Seperti dua sisi mata uang, melimpahnya air yang mengalir di Sungai Cimanuk membawa keuntungan sekaligus malapetaka di daerah yang dilintasinya. Di satu sisi pasokan air irigasi lebih dari cukup untuk menanam padi, tetapi di sisi lain bahaya banjir menghantui setiap saat.

Waswas bercampur resah adalah perasaan yang kini sedang menyelimuti warga Desa Bangkaloa, Kecamatan Widasari, Kabupaten Indramayu, serta warga Kecamatan Kertajati dan Jatitujuh, Kabupaten Majalengka. Sebab, tanggul Sungai Cimanuk yang menjadi urat nadi kehidupan mereka longsor dan jebol.

"Tidur rasanya tidak nyenyak, apalagi kalau ada hujan deras. Khawatir kalau tiba-tiba air sungai meluap dan tanggulnya jebol," ujar seorang nenek, warga Desa Bangkaloa, yang rumahnya 50 meter dari tanggul Sungai Cimanuk yang longsor, Selasa (23/2).

Wartono (35), warga desa lain, merasakan hal serupa. Terlebih lagi, sampai hari ini tanggul terus-menerus longsor akibat terkikis air sungai yang meluap.

Wajar saja mereka khawatir karena tinggi muka air Sungai Cimanuk, di titik perhitungan tinggi muka air Majalengka, mencapai 2,9 meter. Bahkan tinggi muka air Bendung Karet Bangkir, Indramayu, daerah hilir, sudah 5,2 meter, yang artinya berstatus siaga dua. Curah hujan pun diperkirakan masih tetap tinggi sampai awal Maret.

Padahal, air yang berlimpah adalah anugerah bagi Wartono dan warga desa. "Saat (debit) air sungai naik, banyak ikan yang terbawa dan mudah sekali dijaring. Warga akan menjaringnya untuk dijual," katanya.

Bukan hanya warga Desa Bangkaloa yang senang. Sejumlah warga Desa Rambatan Kulon di sekitar Bendung Karet Bangkir juga ikut gembira. Kayu dan ranting yang terhanyut oleh aliran sungai merupakan berkah yang mereka nantikan setiap musim hujan.

Dengan menggunakan bangkol, sebilah bambu sepanjang 2-3 meter yang diberi besi pengait, mereka memunguti kayu dan ranting yang hanyut terbawa aliran sungai. Satin (55), warga Desa Rambatan Kulon, mengatakan, sehari dia bisa mendapat 4-5 kubik kayu yang bisa dipakai memasak selama dua pekan.

"Dengan kayu kami bisa menghemat. Pakai elpiji, seminggu habis satu tabung. Harganya (eceran) Rp 14.000 per tabung," kata Satin.

Gotong royong

Sebenarnya kegelisahan warga ketika air Sungai Cimanuk melimpah itu dipicu kondisi tanggul yang kritis dan rawan jebol. Jika jebolnya tanggul di Desa Kertajati, Kecamatan Kertajati, tidak segera diatasi, misalnya, dipastikan 500 hektar sawah akan terendam banjir, termasuk ribuan rumah penduduk.

"Untuk melindungi lingkungan sendiri, kenapa tidak mau sukarela? Makanya, kami gotong royong bangun tanggul darurat. Jangan sampai tanggul jebol karena yang jadi korban warga desa juga," ungkap Kasta (45), warga desa yang sehari-hari bekerja sebagai petani.

Dengan bergotong royong, pembangunan tanggul darurat sepanjang 30 meter dengan tinggi 2,5 meter itu dipastikan selesai kurang dari seminggu. Warga memahami, Sungai Cimanuk adalah sumber kehidupan mereka. Namun, jika mereka tak menjaganya, sungai itu akan berbalik menjadi biang kehancuran.(Timbuktu Harthana)***

Source : Kompas, Rabu, 24 Februari 2010 | 11:31 WIB

Tanggul Sungai Cimanuk Kritis

Tanggul Sungai Cimanuk Kritis

Puluhan Hektar Sawah di Balik Tanggul Teracam Kebanjiran

INDRAMAYU, Lingkungan Global - Tanggul Sungai Cimanuk yang membentang di Kabupaten Indramayu kritis. Sedikitnya 24 titik tanggul terkikis, ambles, dan jebol akibat minimnya perawatan serta derasnya debit air di sungai tersebut.

Sepekan lalu, berdasarkan pantauan Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air, Pertambangan, dan Energi Indramayu, kondisi kritis hanya terlihat di 18 titik tanggul sepanjang Sungai Cimanuk yang melintas di Indramayu. Namun, hasil pantauan terakhir menunjukkan, jumlahnya bertambah menjadi 24 titik, memanjang dari Desa Bodas, Kecamatan Tukdana, hingga Desa Rambatan Kulon, Kecamatan Sindang.

Menurut Kepala Dinas PSDA-Tamben Indramayu Firman Muntako, Selasa (23/2), lokasi tanggul yang kritis itu tersebar, tidak hanya di bagian hulu, tetapi juga di hilir sungai. "Jika dibiarkan, dampaknya akan membahayakan masyarakat dan lahan pertanian di sekitar tanggul yang kritis itu," kata Firman.

Sebagian besar dari 24 titik tanggul yang kritis itu terletak di sisi kiri Sungai Cimanuk (dilihat dari arah hulu ke hilir), terutama di bagian tikungan sungai. Ketika debit air sungai dari hulu meningkat, tanggul yang rapuh sangat mudah terkikis. Diperkirakan usia tanggul yang sudah lebih dari 20 tahun serta tidak adanya perawatan yang berkelanjutan mengakibatkan tanggul longsor dan jebol.

Pada tanggul yang kritis, lebar tanggul hanya tersisa 1,5-2 meter, padahal seharusnya 4-5 meter. Di beberapa titik, tinggi tanggul pun menurun karena tanahnya ambles. Penambangan pasir di sepanjang Sungai Cimanuk, kata Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah PSDA-Tamben Indramayu Lily Syamsi, merupakan faktor penyebab kritisnya tanggul.

Salah satu contohnya adalah pengambilan pasir tradisional secara ilegal oleh penduduk Blok Ningkong, Desa Rambatan Kulon, yang mengakibatkan kemiringan tanggul makin curam. Jika struktur tanggul itu tegak atau kemiringannya curam, tanggul relatif mudah jebol.

Di Kabupaten Majalengka, sejumlah tanggul Sungai Cimanuk juga dalam kondisi serupa. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Alam Majalengka Diki Ahmad mengatakan, ada 5 titik tanggul yang kritis, yaitu 3 titik di Kecamatan Kertajati (Blok Keman dan Bugel, Desa Sukawana, serta Blok Cambai, Desa Pakubeureum); 1 titik di Desa Pasir Melati, Kecamatan Dawuan; serta 1 titik di Desa Jatitujuh, Kecamatan Jatitujuh.

Tanggul bayangan

Sementara itu, berdasarkan data sementara Balai Besar Wilayah Sungai Cimanuk-Cisanggarung yang pernah dirilis tahun 2009, terdapat 257 titik tanggul yang kritis di sepanjang kedua sungai itu. Untuk mengurangi risiko tanggul jebol, pemerintah desa, kecamatan, dan kabupaten serta BBWS Cimanuk-Cisanggarung membuat tanggul sementara atau tanggul bayangan.

Tanggul itu dibuat dari timbunan tanah, karung berisi tanah, dan tiang-tiang pancang bambu di sisi luar tanggul yang jebol. Fungsinya hanya menahan sampai ada perbaikan permanen dari BBWS Cimanuk-Cisanggarung. Firman menjelaskan, hampir semua tanggul yang patah dan jebol dibuat tanggul bayangan, seperti tanggul di Desa Bangkaloa, Kecamatan Widasari, yang longsor mulai Kamis pekan lalu sampai sekarang.

Demikian pula di tanggul Blok Keman, Desa Kertajati, Majalengka, yang jebol dua kali selama Februari, tanggul bayangannya sudah hampir selesai. Tanggul bayangan diperkirakan selesai akhir pekan ini. "Jika tidak cepat selesai, dampaknya akan lebih parah. Puluhan hektar sawah di sekitar tanggul itu akan kebanjiran, padahal sebentar lagi panen," ujar Diki. (THT)***

Source : Kompas, Rabu, 24 Februari 2010 | 11:33 WIB

Biokilang Limbah Nol

Biokilang Limbah Nol

Oleh Yuni Ikawati

Konsep produksi bersih dan tanpa limbah kini menjadi tumpuan pengembangan teknologi di dunia. Untuk itu, kini tengah dikembangkan teknologi biokilang, yang mengolah berbagai limbah biomassa. Di bidang ini Indonesia yang memiliki sumber biomassa terbesar memiliki prospek yang cerah.

Negeri ini memang memiliki beragam sumber energi terbarukan yang melimpah dan pemanfaatan yang menjanjikan pada masa depan. Potensi pengembangan biomassanya pun paling besar. Hal ini ditunjang kondisi geologi dan iklim yang menguntungkan.

Iklim tropis basah dengan curah hujan tinggi memungkinkan produksi biomassa jauh lebih besar dibanding kawasan lain di subtropis. Produktivitas biomassa Indonesia masuk tertinggi di dunia, bersaing dengan potensi di Brasil dan Afrika barat daya.

Dengan energi matahari yang melimpah menyebabkan proses fotosintesis dua kali lipat banyaknya dan pertumbuhannya pun cepat. Kondisi ini berujung pada produksi biomassa yang produktif pula.

Sebagai sumber daya alam, biomassa bukan hanya memiliki prospek yang baik sebagai bioenergi yang ramah lingkungan, melainkan dapat menggantikan bahan yang berbasis petrokimia.

Hal inilah yang sekarang tengah dikejar oleh pakar bioteknologi dengan mengembangkan teknik proses atau teknologi biokilang untuk mengolah biomassa dengan cara yang bersih dan tanpa limbah.

Selama ini biomassa berupa rumput-rumputan hingga tumbuhan kayu telah digunakan untuk berbagai keperluan, baik pakan, sandang, maupun papan. Namun, pengolahan dengan teknologi yang relatif konvensional masih menyisakan limbah.

Karena itu, biokilang terus dikembangkan untuk mengolah limbah hingga tak bersisa dan menghasilkan berbagai produk yang memiliki nilai ekonomis.

Biokilang terintegrasi

Teknologi biokilang digunakan untuk mengolah limbah biomassa kemudian diintegrasikan dengan teknik proses yang telah ada sebelumnya.

Penelitian yang dilakukan peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menunjukkan, limbah pabrik kelapa sawit berupa tandan kosong dapat diolah menjadi bioenergi. Limbah minyak sawit mentah (CPO) juga diproses menjadi biodiesel. Bahan lignin yang masih tersisa diolah lagi jadi adesif atau perekat dan serat.

Sementara itu, Bambang Prasetya, Kepala Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan peneliti lignoselulosa Samsuri meneliti pemanfaatan bagas atau limbah pabrik gula.

Dari bagas dapat dihasilkan bioetanol dan bahan biokimia. Untuk mengolah limbah ini dipakai cara biologis dengan menggunakan enzim yang berfungsi menguraikan selulosa. ”Proses ini tengah didaftarkan untuk memperoleh paten,” kata Samsuri, yang meraih doktor dari Jurusan Kimia FMIPA-UI.

Dengan potensi biomassa dan peneliti selulosa yang dimiliki, kata Bambang Prasetya, yang juga Ketua Konsorsium Bioteknologi Indonesia, kegiatan riset diarahkan bukan hanya menjadi bahan bakar, melainkan juga pengganti petrokimia.

”Dalam lima tahun mendatang riset ditargetkan masuk ke tahap komersial dengan mengintegrasikan industri gula dan kelapa sawit,” ujarnya.

Indonesia lebih memilih teknologi bioproses etanol generasi kedua dengan memanfaatkan bahan limbah selulosa, yang potensinya sangat tinggi. Upaya ini telah dirintis LIPI bekerja sama dengan Jurusan Kimia Universitas Indonesia.

Pembangunan pabrik skala laboratorium untuk proses pembuatan bioetanol dan biokimia dari limbah selulosa tahun ini akan dimulai di Puspiptek Serpong. Unit produksi ini akan menghasilkan 200 kilogram bioadesif per batch.

Pembuatan bahan bioadesif kini telah dipatenkan atas nama Bambang Prasetya. Bioadesif ini digunakan untuk memperkuat panel bangunan rumah suku Aborigin di Australia sehingga tahan terhadap terjangan topan.

Menurut Bambang, bahan bangunan dengan bioadesif itu memungkinkan untuk dikembangkan di Indonesia dengan bahan baku lokal, tetapi kualitas produknya sama. Teknologi biokilang yang dikembangkan diarahkan pada alternatif yang paling aman, produktif, tetapi murah.

Potensi Indonesia untuk bahan baku telah menarik minat negara Asia lainnya untuk menjalin kerja sama riset dengan menetapkan Indonesia sebagai pusat teknologi biokilang di kawasan Asia Tenggara, serta membentuk jejaring dengan Korea dan Jepang pada pekan lalu. ***

Source : Kompas, Selasa, 23 Februari 2010 | 03:32 WIB

Sabtu, 20 Februari 2010

Jakarta Langganan Banjir

Genangan Air di Jakarta

Pengguna kendaraan bermotor memperlambat laju saat melewati genangan air hujan bercampur tanah dari proyek Banjir Kanal Timur di Jalan Basuki Rachmat, Jakarta Timur, Kamis (7/1). Hujan deras disertai angin kencang di Jakarta dan sekitarnya mengakibatkan munculnya genangan air dan menimbulkan kemacetan di beberapa tempat. (Kompas/Agus Susanto)***

Jabar Punya Badan Khusus Bencana

BANJIR

Jabar Punya Badan Khusus Bencana

BANDUNG, Lingkungan Global - Setelah dibahas selama hampir setahun, akhirnya Jawa Barat memiliki Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Kepastian itu diperoleh setelah rapat paripurna DPRD menyetujui pembentukan badan itu, Senin (11/1) di Bandung.

Gubernur Jabar Ahmad Heryawan mengatakan akan menunjuk pejabat kepala badan BPBD dalam dua minggu ini. Selanjutnya, badan itu bertugas mengatasi segala persolan bencana yang terjadi di Jabar, meliputi pencegahan dan penanganan bencana. "Badan ini juga bisa berkoordinasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sehingga penanganan bencana di Jabar diharapkan lebih baik dan cepat," katanya yang ditemui seusai rapat paripurna.

Perdebatan yang muncul seputar pembentukan badan ini ialah adanya tanggung jawab badan setingkat dinas tersebut untuk mengatasi bencana sosial. Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Jabar Deny Juanda mengatakan, definisi bencana sosial itu masih akan dipertegas dalam rincian tugas pokok dan fungsi badan itu.

Sebagai organisasi perangkat daerah baru, badan tersebut juga akan mendapat dana APBD. Selama ini anggaran bencana selalu dialokasikan dalam pos anggaran tak terduga. Pada 2009, besar pos anggaran tak terduga Rp 75 miliar. "Dengan adanya badan baru yang khusus bencana, anggaran bencana itu bisa dipindahkan ke badan tersebut," ujar Heryawan.

Terkait dengan penanganan bencana banjir tahunan yang melanda Kabupaten Bandung, Deny mengatakan, BPBD juga berwenang mengatasinya. "Namun, kewenangan itu hanya pada tahap penanganan dan pencegahan, sedangkan untuk persoalan Sungai Citarum, hal itu menjadi kewenangan Balai Besar Wilayah Sungai Citarum," katanya.

Pemerintah Provinsi Jabar melalui Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat telah membuat agenda penanganan banjir. "Saya juga berharap ada masukan dari ahli untuk menyelesaikan banjir pada 2012. Masukan itu bukan berupa relokasi karena persoalan itu menimbulkan pro dan kontra bagi warga," ujarnya.

Masalah koordinasi

Wakil Wali Kota Bandung Ayi Vivananda mengatakan, koordinasi di antara Pemerintah Kota Bandung, pemerintah pusat, dan Balai Besar Wilayah Sungai Citarum kurang sempurna. Ini, misalnya, tecermin dari kurang maksimalnya pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur sungai. Salah satu akibatnya adalah tanggul rapuh dan air sungai berubah menjadi banjir. "Harus ada peningkatan koordinasi," ujar Ayi di kantornya, Senin.

Ayi menjelaskan, sebenarnya tidak ada sungai di Kota Bandung yang menjadi tanggung jawab penuh Pemkot Bandung. Itu karena sungai-sungai tersebut berhulu di kawasan Bandung utara (Kabupaten Bandung Barat) dan bermuara di Kabupaten Bandung.

Sungai-sungai itu menjadi tanggung jawab Pemprov Jabar dan Balai Besar Wilayah Sungai Citarum. Namun, bila terjadi bencana, Pemkot Bandung lebih banyak menanggung risiko. Untuk meminimalisasi banjir, Ayi meminta warga tidak membuang sampah ke sungai.

Secara terpisah, anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPRD Kota Bandung, Tedy Rusmawan, mengatakan, 70 persen banjir di Kota Bandung berupa ciluencang. Sisanya berupa banjir karena luapan air sungai atau tanggul jebol. Salah satu penyebabnya, luas lahan tangkapan air berkurang. "Maka, sebaiknya tidak ada lagi pembangunan di kawasan Bandung utara agar daerah tangkapan air terpelihara," kata Tedy. (REK/MHF/Kompas)***

Source : Kompas, Selasa, 12 Januari 2010 | 16:06 WIB

Kawasan Poyek Banjir Kanal Timur Jakarta Rawan Longsor

KALI SUNTER JAKARTA

Warga melintasi Kali Sunter di Kawasan Cipinang Indah, Jakarta Timur, di pertemuan kali tersebut dengan proyek Banjir Kanal Timur, Selasa (5/1). Kali Sunter merupakan salah satu sungai yang akan ditampung oleh Kanal Timur tersebut. (Kompas/Wisnu Widiantoro)***

PROYEK BAJIR KANAL TIMUR

Empat Lokasi Belum Tembus

Sebagian Dinding di Kanal Timur Rawan Longsor

JAKARTA, Lingkungan Global - Empat lokasi di saluran Kanal Timur hingga Selasa (5/1) belum tembus. Wilayah itu belum terkeruk karena masih dipakai untuk lintasan kerja alat-alat berat.

Pengamatan Kompas, Selasa, saat ini kondisi sebagian dinding tanah Kanal Timur tampak masih curam, rawan longsor. Keempat lokasi yang belum dibuka menjadi saluran itu berada di Cipinang Besar Selatan, mulai dari bagian Kanal Timur paling hulu. Salah satu lokasi ada yang berada di depan SMA Negeri 100 di Jalan Persatuan Nomor 2.

Lokasi pertama di hulu Kanal Timur belum dibuka karena Kali Cipinang yang ada di ujung Kanal Timur masih keruh, hitam. Menurut Ketua Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane Pitoyo Subandrio, tanggul yang menutup saluran Kanal Timur akan dibuka setelah air Kali Cipinang tak keruh. Untuk membersihkan air kali, pengelola mengandalkan hujan lebat pada Februari.

Meski demikian, pejabat pembuat komitmen Banjir Kanal Timur, Parno, tetap mengimbau Pemerintah Provinsi DKI agar melakukan pengawasan ketat menyangkut kebersihan Kali Cipinang dan empat kali lainnya yang arus airnya mengalir ke Kanal Timur. Keempat kali tersebut adalah Kali Jati Kramat, Buaran, Sunter, dan Ciliwung.

Rawan longsor

Mengenai dinding tanah Kanal Timur yang masih curam di Malaka Jaya dan Pondok Kopi, Parno mengatakan, kondisi itu terjadi karena tanah di tepian dinding tanah belum dibebaskan.

”Kami sudah merancang semua dinding tanah Kanal Timur dengan kemiringan tertentu. Tetapi, karena masalah pembebasan tanah belum selesai, kami tidak bisa membuat dinding tanah lebih landai,” ungkapnya.

Siapa yang bertanggung jawab jika dinding itu longsor, secara diplomatis Parno mengatakan, yang jelas, kalau Pemprov DKI membebaskan tanah, pihaknya akan bekerja. Menurut Parno, Kanal Timur dilengkapi tiga pintu air utama, masing-masing berlokasi di Buaran, Ujung Menteng, dan Marunda.

Petugas lapangan PT Pembangunan Perumahan (Persero), Bambang Kristianto Bambang, mengatakan, pintu air di Buaran sudah siap pakai. ”Pembangunan Kanal Timur sepanjang 2,7 kilometer dari kawasan Duren Sawit sampai Jembatan Haji Miran juga sudah tembus,” ujarnya.

Kini BUMN itu tinggal melebarkan Kanal Timur. ”Saat ini dari target 29 meter lebar dasar saluran Kanal Timur, kami telah membangun dasar saluran selebar 22 meter,” ujarnya.

Selasa kemarin, saluran air di Jalan Swadaya IX, Pulo Gebang, Cakung, Jakarta Timur, diperbaiki. Di kedua dinding saluran diberi tanggul bronjong (keranjang kawat yang dibuat seperti di dinding berisi batu).

Minggu pukul 20.40, satu dari dua rumah Wagito (55) di tepi saluran air roboh karena tanahnya longsor dihantam derasnya arus air. Ini adalah peristiwa kedua setelah sebagian rumah Rohimin mengalami nasib serupa, Jumat pukul 17.00.

Rumah Rohimin berseberangan dengan rumah Wagito, yaitu di lingkungan RT 8 RW 1. Adapun rumah Wagito yang masih utuh dan berada di sebelahnya retak. Dinding satu dengan yang lain terpisah.

Wisata

Di bagian lain, Parno menjelaskan, Kanal Timur bisa dikembangkan sebagai kawasan wisata, tetapi mungkin tidak bisa dikembangkan menjadi prasarana transportasi air. Sebab, tidak semua bagian Kanal Timur memiliki ruang bebas halangan dari permukaan air setinggi 2,75 meter dengan lebar yang bisa dilalui 30 meter. Karena itu, kurang layak dilewati kapal.

”Contohnya, jembatan rel kereta api di ujung Jalan Ngurah Rai, Jakarta Timur. Tinggi jembatan dari permukaan air kali sampai atap jembatan cuma 2,25 meter. Selain itu, lebar gorong- gorongnya masing-masing cuma 16 meter,” ujar Parno.

Ia menambahkan, pihaknya dan perusahaan air minum sepakat semua jaringan pipa air yang melintasi Kanal Timur akan dibangun di bawah permukaan air sehingga tidak mengganggu lalu lintas perahu.

”Kawasan tangkapan endapan Kanal Timur di Medan Satria, Bekasi, kemungkinan akan dijadikan kawasan wisata karena sangat layak,” ujar Parno.

Pitoyo mengatakan, pagi ini, Wakil Presiden Boediono menurut rencana akan menyusur Kanal Barat, Kanal Timur, dan Situ Gintung. ”Beliau akan melihat sendiri perkembangan kondisi dan pembangunan BKB, BKT, dan Situ Gintung,” kata Pitoyo. (WIN)***

Source : Kompas, Rabu, 6 Januari 2010 | 02:59 WIB

Banjir "Menghantam" Warga Langgam

BANJIR KELURAHAN LANGGAM

Suasana banjir di Kelurahan Langgam, Kecamatan Langgam, Kabupaten Pelalawan, Riau, Selasa (5/1). Luapan Sungai Kampar membuat 17.000 warga kecamatan menjadi terisolasi. Kini, satu-satunya alat transportasi adalah perahu. Sayangnya, tarif angkutan perahu sangat mahal. (Kompas/Syahnan Rangkuti)***

BANJIR

Warga Keluhkan Ongkos Transportasi

PELALAWAN, Lingkungan Global - Ribuan warga Kecamatan Langgam, Kabupaten Pelalawan, Riau, mengeluhkan ongkos transportasi darat. Akibat banjir yang memutuskan jalur transportasi darat, biaya transportasi air meningkat tajam, bahkan dirasa mencekik leher.

Untuk satu kali jalan dari Desa Rantau Baru menuju Kelurahan Langgam (perjalanan sekitar 15 kilometer), ongkos sampan bermesin tempel yang disebut pompong Rp 40.000 per orang, sedangkan pengangkutan sepeda motor Rp 120.000 per unit. Biasanya penyewaan pompong Rp 80.000 untuk sehari penuh, sedangkan sepeda motor jarang digunakan warga.

”Kalau setiap hari begini, habislah seluruh gajiku untuk ongkos pulang ke desa,” ujar Dedi Manullang, pekerja di salah satu perkebunan sawit di Kelurahan Langgam, Selasa (5/1).

Sebagaimana diberitakan, lima wilayah kabupaten dan kota di Provinsi Riau terkena musibah banjir. Berdasarkan data Dinas Sosial Riau, banjir merendam 15.000 rumah di Kabupaten Indragiri Hulu, Pelalawan, Kampar, Rokan Hulu, dan Pekanbaru.

Kesulitan transportasi juga berdampak pada harga kebutuhan bahan pokok. Menurut Rahmawati (34), warga Langgam, harga beras yang biasanya Rp 7.000-Rp 8.000 sudah mencapai Rp 9.000-Rp 10.000 per kilogram. Harga minyak tanah dari Rp 7.000 menjadi Rp 10.000 per liter dan harga gula dari Rp 9.000-Rp 10.000 menjadi Rp 15.000 per kilogram.

Sodikin, salah seorang pekerja kebun lain yang merupakan pendatang di Langgam, menyebutkan, kelakuan pemuda setempat menerapkan tarif mahal transportasi air menuju Kecamatan Langgam dirasakan sangat keterlaluan.

”Tindakan itu bahkan boleh dikatakan mencari kesempatan dalam kesempitan. Orang lagi susah karena kebanjiran, pemuda desa malah membuat warga lebih susah lagi. Semestinya Pemerintah Kabupaten Pelalawan menyediakan transportasi gratis buat warganya, bukan malah membiarkan warganya menjadi semakin sulit seperti ini,” kata Sodikin.

Terputus

Camat Langgam Emir Effendi yang dijumpai di lokasi banjir menyebutkan, satu-satunya jalan darat menuju wilayahnya terputus akibat luapan Sungai Kampar. Di kecamatannya, sedikitnya ada 400 rumah yang terendam.

”Banjir terparah berada di Kelurahan Langgam. Sebanyak 337 rumah terendam karena wilayahnya persis di pinggiran Sungai Kampar. Desa Tambak dan Desa Pangkalan Gondai juga mengalami banjir, tetapi lebih dangkal (dibandingkan dengan Langgam) karena lokasinya berada di jalur anak sungai. Namun, yang pasti, semua jalur transportasi darat sudah terputus total. Kami tidak membuat posko pengungsi karena warga memilih untuk pindah sementara ke rumah keluarga,” ujar Emir.

I Gede Sumarda, Manajer Perusahaan Kelapa Sawit PT Langgam Inti Hiberindo, menyebutkan, banjir kali ini menyebabkan semua kegiatan di kebunnya seluas hampir 10.000 hektar terhenti total. ”Sebanyak 200 pekerja terpaksa diungsikan ke gudang pupuk perusahaan karena perumahan mereka terendam air setinggi 266 cm,” ujarnya.

”Banjir sudah mulai terasa sejak awal Desember 2009. Sejak 23 Desember, lokasi perkebunan kami sudah terendam dengan ketinggian lebih dari 2,5 meter. Banjir tahun ini lebih parah dibandingkan dengan tahun lalu. Pada 2008, ketinggian air hanya 2,48 meter, sementara sekarang 2,66 meter,” kata Gede Sumarda. (SAH/Kompas)***

Source : Kompas, Rabu, 6 Januari 2010 | 02:33 WIB

Senin, 15 Februari 2010

Sichuan Kembali Diguncang Gempa

Seorang wanita berdiri di depan reruntuhan rumahnya di Suining di provinsi barat daya China, Sichuan, Minggu (31/1). Gempa berkekuatan sedang, 5,0 skala Richter, mengguncang wilayah yang tahun lalu diruntuhkan gempa dahsyat 8,0 skala Richter itu. Kali ini tercatat satu orang tewas.(AFP)***

Sichuan Kembali Diguncang Gempa

BEIJING, Minggu - Belum lekang dari ingatan, setelah dilanda gempa dahsyat pada Mei 2008, Sichuan di barat daya China, Minggu (31/1), kembali diguncang gempa. Meski gempa kali ini hanya berkekuatan sedang, 5,0 skala Richter, dan hanya merenggut nyawa satu orang, gempa ini sudah cukup membuat sejumlah rumah porak poranda.

Lebih dari 100 rumah runtuh akibat gempa dengan titik episentrum di pertengahan antara Chongqing dan Chengdu. Kerusakan terparah terjadi di tiga desa di Moxi, dekat kota Suining di timur Sichuan, menurut Administrasi Gempa Provinsi Sichuan, Minggu.

Di pedesaan Tongnan, tetangga Suining, dilaporkan, sekitar 4.700 rumah rusak. Otoritas Chongqing di provinsi barat China telah menyediakan sekitar 40 tenda untuk para pengungsi.

Wilayah Suining, yang berpenduduk sekitar 3,8 juta, memang rawan gempa dan terekam sudah mengalami tiga kali gempa ringan dalam 20 tahun terakhir.

Memang gempa kali ini tak sedahsyat tahun lalu ketika sekitar 150 km di timur Chengdu, ibu kota Sichuan, dilanda gempa berkekuatan 8,0 skala Richter pada 12 Mei 2008. Tercatat lebih dari 87.000 jiwa dinyatakan tewas atau hilang. Dan, sekurang-kurangnya 5 juta orang lainnya kehilangan tempat tinggal akibat gempa dahsyat tahun lalu itu.

Bahkan, saat ini, Sichuan sebenarnya tengah bebenah, membangun kembali wilayahnya dari keruntuhan akibat gempa dahsyat tahun lalu.

Menurut media China, pekan lalu, otoritas setempat diharapkan menyelesaikan 90 persen upaya rekonstruksi akibat gempa. Dan, toh belum rampung, kini sudah dilanda gempa lagi walau tak sedahsyat tahun lalu. (AP/AFP/Reuters/sha)***

Source : Kompas, Senin, 1 Februari 2010 | 04:18 WIB

Opini tentang Pemahaman Hasil dari Kopenhagen

Memahami Hasil dari Kopenhagen

Oleh AMANDA KATILI NIODE

Telah banyak ditulis oleh para wartawan dan analis mengenai hasil pertemuan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim ke-15 , 7-19 Desember 2009 di Kopenhagen, Denmark.

Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) sebagai penanggung jawab kegiatan (focal point) perundingan internasional terkait perubahan iklim juga telah melakukan sosialisasi kepada berbagai pihak mengenai hasil-hasil pertemuan Kopenhagen tersebut. Tulisan ini dibuat untuk memperjelas beberapa hal yang dirasakan masih menimbulkan kebingungan dan—bagi sebagian pihak—ketidakpuasan.

Sidang konvensi yang dilaksanakan secara tahunan kali ini memfokuskan perundingan pada upaya-upaya memenuhi mandat Peta Jalan Bali (Bali Road Map) yang dihasilkan oleh pertemuan serupa dua tahun lalu di Bali. Pertemuan Kopenhagen seharusnya menghasilkan kesepakatan-kesepakatan penting untuk penanganan perubahan iklim secara global. Karena alasan ini dan juga berkat kampanye besar-besaran dari lembaga-lembaga terkait, didukung oleh media massa, perhatian dunia terhadap isu perubahan iklim dan pertemuan Kopenhagen luar biasa besar.

Selama dua minggu, Kopenhagen disesaki oleh tidak kurang dari 9.000 delegasi dari 192 negara dengan jumlah delegasi setingkat kepala negara/kepala pemerintahan dan menteri sebanyak 129 orang. Konvensi ini juga dihadiri lebih dari 33.000 perwakilan organisasi/badan regional dan internasional terkait, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan sektor swasta.

Delegasi RI diketuai oleh Presiden Republik Indonesia dengan Alternate Ketua Delegasi, yaitu Menteri Luar Negeri, Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta, dan Ketua Harian DNPI Rachmat Witoelar. Delegasi RI terdiri dari anggota DPR, anggota DPD, menteri, gubernur, pejabat tinggi kementerian/lembaga, serta perwakilan perguruan tinggi, LSM, dan perusahaan. Juga hadir puluhan lainnya dari Indonesia sebagai pengamat dan wartawan.

Perundingan multilateral

Pada intinya, Kerangka Kerja Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) merupakan proses perundingan multilateral yang bertujuan menyepakati kerangka kerja negara-negara dalam upaya menghindari terjadinya perubahan iklim yang mengancam bumi dan umat manusia.

Sebagai satu proses multilateral, pengambilan keputusan harus dilakukan secara konsensus, dalam arti semua negara harus menyetujuinya (nothing is agreed until everything is agreed). Dengan demikian, kesepakatan yang akan dicapai tentunya harus dapat mengakomodasi kepentingan semua negara. Apabila ada satu negara yang masih belum sepakat, umumnya perundingan dilanjutkan pada tahun berikutnya.

Karena tingginya kepentingan ekonomi dan politik dalam isu perubahan iklim, perundingan Kopenhagen berjalan alot dan panjang. Di pengujung persidangan, sebanyak 29 kepala negara/pemerintahan, termasuk Presiden RI, diundang oleh Perdana Menteri Denmark selaku Presiden Conference of Parties (COP) ke-15 untuk membahas rancangan Copenhagen Accord yang dimaksudkan sebagai hasil utama nantinya.

Pembahasan dilakukan secara intensif sehingga kepala negara/pemerintahan langsung ikut melakukan penyusunan draf keputusan. Pertemuan yang dilakukan secara tertutup menghadirkan negara-negara kunci mewakili kelompok negosiasi ataupun kelompok regional, negara-negara dengan catatan emisi tertinggi, dan negara-negara yang jumlah penduduknya besar. Di dalamnya termasuk, antara lain, Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Australia, Indonesia, China, India, Brasil, Afrika Selatan, Grenada, dan Maladewa.

Pertemuan terbatas itu akhirnya menyepakati draf Copenhagen Accord. Namun, pada saat dibawa ke dalam pleno untuk diadopsi, draf tersebut mendapat tentangan kuat dari negara-negara, seperti Venezuela, Nikaragua, Tuvalu, Sudan, Kuba, dan Bolivia, yang tidak mengakui adanya Copenhagen Accord dalam proses UNFCCC karena proses pembuatannya dianggap tidak melewati proses yang biasa dilakukan dalam Konvensi PBB, yaitu sidang pleno dan pertemuan contact groups.

Negara-negara pendukung Copenhagen Accord mencakup negara maju dan negara berkembang, termasuk perwakilan Aliansi Negara-negara Kepulauan Kecil atau AOSIS (Grenada, Maladewa) dan Afrika (Etiopia). Umumnya mereka bisa menerima Copenhagen Accord karena memuat banyak prinsip dasar mengenai kerangka kerja perubahan iklim pada masa depan, seperti pembatasan kenaikan temperatur global (2 derajat celsius).

Berhubung tidak mencapai konsensus, PM Denmark, sebagai pemimpin sidang, mengambil keputusan mencatat (takes note) Copenhagen Accord sehingga memiliki sifat legal serupa dengan submisi dari negara yang mendukungnya. Hingga saat ini belum disepakati mekanisme dan prosedur untuk melakukan submisi bersama ini.

Bagi Indonesia, Kopenhagen bukanlah akhir perundingan multilateral perubahan iklim, melainkan merupakan hasil antara. Pertemuan Kopenhagen memang tidak menghasilkan kesepakatan baru yang mengikat secara hukum (legally-binding new agreement) yang dinanti-nanti dunia, tetapi bila dicermati secara obyektif, elemen-elemen keputusannya dapat dijadikan naskah perundingan pada konvensi berikutnya di Meksiko, akhir tahun ini.

Selama proses perundingan UNFCCC—di Kopenhagen dan rangkaian pertemuan sebelumnya, delegasi Indonesia telah memainkan peranan aktif, baik di ruang sidang maupun melalui penyampaian tertulis. Indonesia memandang, Copenhagen Accord memuat prinsip-prinsip pokok atas dasar pemahaman bersama (common understanding) negara-negara, sebagai landasan bagi proses perundingan berikutnya guna menghasilkan kerangka kerja perubahan iklim pasca-2012 yang mengikat secara hukum.

Substansi Copenhagen Accord menggarisbawahi prinsip-prinsip pokok sebagai berikut:

Pertama, Accord menetapkan pembatasan peningkatan suhu global 2 derajat celsius dibanding tingkat praindustri pada 2050. Pada COP-13 di Bali, tujuan ini tidak berhasil disepakati dan hanya keluar sebagai referensi berupa catatan kaki. Pada COP-14 di Poznan, Polandia, perundingan untuk memasukkan tujuan tersebut mengalami kebuntuan. Terkait target ini, Indonesia telah menyampaikan usulan untuk memasukkan target penurunan emisi sebesar 40 persen pada 2020 dan 85 persen pada 2050 secara kumulatif oleh negara maju—yang tidak dapat diterima oleh banyak negara maju.

Kedua, Accord memuat komitmen negara maju untuk menyediakan pendanaan US30 miliar selama 2010-2012 bagi adaptasi (penyesuaian pola pembangunan) dan mitigasi (penurunan emisi) di negara berkembang. Untuk mengelola dana perubahan iklim global, akan dibentuk mekanisme pendanaan Copenhagen Green Climate Fund yang berada di bawah pengawasan COP.

Ketiga, Accord menyepakati satu format penyampaian informasi tentang upaya mitigasi melalui target pembatasan dan penurunan emisi yang harus dapat dikuantifikasi bagi negara maju dan indikasi aksi mitigasi yang sejalan dengan pembangunan berkelanjutan oleh negara berkembang. Informasi ini dapat dijadikan tolok ukur dalam mencermati keseriusan mereka melaksanakan kontribusi terhadap upaya stabilisasi gas rumah kaca di atmosfer.

Keempat, Accord mengenali Proses Mid-Review, yaitu bahwa Accord akan dikaji ulang pada tahun 2015 termasuk kemungkinan mengubah target stabilisasi menjadi 1,5 derajat celsius.

Selain Accord, konvensi ini menyetujui beberapa keputusan terpisah, seperti pelaksanaan Adaptation Fund, bantuan terhadap negara berkembang dalam menyusun laporan nasional tentang pelaksanaan konvensi yang biasa disebut National Communication, pengesahan hasil kerja Expert Group on Technology Transfer dan tindak lanjut Program Kerja Nairobi (Nairobi Work Programme on Impacts, Vulnerability, and Adaptation to Climate Change).

Isu kelautan

Dalam salah satu perundingan terkait adaptasi, Indonesia berhasil mengedepankan isu kelautan dan perubahan iklim sebagaimana tecermin dalam beberapa paragraf draf teks negosiasi, antara lain: pentingnya aksi adaptasi terkait laut dan pesisir serta kebutuhan memperbaiki sistem observasi dan penelitian dari data-data perubahan iklim yang juga memerhatikan kenaikan air laut, kenaikan temperatur air laut, asidifikasi laut, serta penanganan terhadap salinisasi dan gletsyer. Perubahan iklim menimbulkan kerentanan tinggi bagi Indonesia yang merupakan negara kepulauan. Karena itu, sudah selayaknya Indonesia sangat aktif terkait isu-isu kelautan dan adaptasi.

Saat ini, Pemerintah Indonesia tengah melakukan kajian terkait peluang Pembangunan Rendah Karbon untuk mengevaluasi dan mengembangkan opsi-opsi strategis dalam rangka mengurangi intensitas emisi gas rumah kaca tanpa mengorbankan tujuan-tujuan pembangunan.

Salah satu kebijakan pemerintah adalah mengurangi emisi gas rumah kaca dari kegiatan pembangunannya antara 26 persen sampai 41 persen pada tahun 2020, bergantung pada tingkat dukungan internasional.

AMANDA KATILI NIODE,

Koordinator Divisi Komunikasi, Informasi dan Edukasi

Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim

Source : Kompas, Senin, 1 Februari 2010 | 03:25 WIB

 

TRANSLATE/TERJEMAH BAHASA

My Blog List

Site Info

Followers

LINGKUNGAN GLOBAL Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template