YANG HOT KLIK DI SINI

Sabtu, 29 Mei 2010

Jatigede Masih Diliputi Ketidakpastian

Jatigede Masih Diliputi Ketidakpastian

Warga Tak Keberatan asal Direlokasi

SUMEDANG - Warga di sekitar lokasi Waduk Jatigede, Kabupaten Sumedang, cenderung tak menanggapi rencana pengoperasian waduk itu dengan antusias. Ini disebabkan ketidakpastian jadwal rampungnya waduk yang akan mengairi sekitar 40.000 hektar sawah itu.

Yuyud (44), Kepala Desa Pakualam, Kecamatan Darmaraja, Minggu (2/5) di Sumedang, mengatakan, ia belum diberi tahu jadwal pasti pembangunan Waduk Jatigede. Pembangunan Waduk Jatigede setidaknya pernah disampaikan pada masa Gubernur Danny Setiawan.

Saat itu Jatigede sempat direncanakan mulai beroperasi tahun 2008, tetapi kemudian mundur menjadi tahun 2012. Pembangunan waduk untuk mengairi sawah di Majalengka, Sumedang, Cirebon, dan Indramayu itu juga dicetuskan dalam Jabar Infrastructure Summit tahun 2005.

Yuyud mengatakan, warga Desa Pakualam mendengar bahwa Jatigede akan beroperasi pada 2013. Namun, berdasarkan proses pembangunannya, jadwal itu diperkirakan sulit dipenuhi. Karena itu, warga melanjutkan aktivitas sehari-harinya seperti biasa jika mendengar kabar baru tentang pembangunan itu. Jatigede akan menenggelamkan sawah di Desa Pakualam seluas sekitar 150 hektar.

Jika Jatigede sudah selesai dibangun, semua rumah warga di Desa Pakualam seluas 473,1 hektar juga akan digenangi air waduk tersebut. Di desa itu terdapat sekitar 993 keluarga. Meski demikian, ia mengatakan, ia tetap mendukung pembangunan Waduk Jatigede karena bermanfaat untuk irigasi, pembangkit listrik, dan pariwisata.

Bila warga direlokasi, lanjutnya, perumahan untuk warga harus siap lebih dulu. Lahan sudah tersedia di Desa Pakualam yang tidak tergenang air Waduk Jatigede. Namun, pembangunan rumah yang baru belum dimulai sama sekali.

"Kalau kapan pastinya direlokasi, warga belum tahu. Kami sudah sering mendengar kabar pembangunan. Rencana pembangunannya mundur terus," ungkapnya.

Menurut Yuyud, warga di Desa Pakualam masih mengharapkan penuntasan persoalan lahan yang belum selesai. Pada tahun 1984-1986 lahan di Desa Pakualam dibebaskan, tetapi terjadi berbagai masalah, seperti keliru bayar, salah klasifikasi, terlewati, dan kurang dari ukuran sebenarnya.

Lebih dari 1.000 warga Desa Pakualam mengalami masalah itu, tetapi Yuyud tidak mengetahui luas total lahan yang dipersoalkan. Persoalan itu disebabkan Pemerintah Kabupaten Sumedang melakukan pendataan secara sepihak tanpa melibatkan pemilik lahan.

"Jadi, mereka yang punya lahan tidak tahu. Tapi, karena waktu itu masa pemerintah Orde Baru, ya diam saja," tuturnya.

Asal direlokasi

Persoalan itu juga dialami warga di Desa Cipaku, Karangpakuan, Tarunajaya, dan Jatibungur. Semua desa itu berada di Kecamatan Darmaraja.

Menurut Tasam Somantri (72), warga Karangpakuan, Kecamatan Darmaraja, ia tidak keberatan direlokasi. "Asalkan saya mendapatkan kejelasan mengenai tempat tinggal yang baru dan di mana atau mendapatkan ganti rugi yang sesuai," katanya.

Kepala Desa Cijeunjing, Kecamatan Cisitu, Atit Casmiati menyatakan mendukung pembangunan Waduk Jatigede. Waduk itu diharapkan bisa meningkatkan produktivitas pertanian, mendatangkan wisatawan, dan mengairi sawah.

Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan Jawa Barat Oo Sutisna mengatakan, pembangunan Waduk Jatigede diharapkan diselesaikan secepatnya. Bila Waduk Jatigede dengan biaya pembangunan yang ditaksir 600 juta dollar AS itu dibangun, lebih dari 40.000 hektar sawah akan mendapatkan irigasi teknis. Sawah yang biasanya hanya dipanen sekali dalam setahun bisa dipanen dua sampai tiga kali. (bay)***

Source : Kompas, Senin, 3 Mei 2010 | 13:38 WIB

Ada 1 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda

DADANG ROHMATULOH @ Selasa, 4 Mei 2010 | 20:08 WIB
TOLONG BAYAR DESA SUKAKERSA !!!! SUDAH PULUHAN TAHUN KAMI MENANTI KEKURANGAN PEMBAYARAN SELAMA PULUHAN TAHUN!!!! HARUSKAH KAMI MEMAMAH RANTAI KEMISKINAN???

WADUK JATIGEDE : Dari Sawah hingga Makam Keramat

WADUK JATIGEDE

Dari Sawah hingga Makam Keramat

Aktivitas di Desa Pakualam, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang, Minggu (2/5), tak banyak terlihat. Beberapa warga bercengkerama di tepi jalan. Sepeda motor pun tak banyak yang hilir mudik. Lima orang di pos ronda asyik berteduh sambil bermain kartu.

Demikian gambaran kehidupan sehari-hari pada suatu siang di Desa Pakualam. Seluruh permukiman di desa itu akan tergenang air jika pembangunan Waduk Jatigede sudah selesai. Namun, rencana pembangunan yang telah dicetuskan setidaknya sejak 40 tahun silam itu belum direalisasikan.

Ratriningsih (35), petani di Desa Pakualam, memiliki sekitar 1 hektar lahan. Ia mempertanyakan pembangunan Waduk Jatigede yang salah satunya bertujuan meningkatkan produktivitas sawah di Jawa Barat dengan irigasi teknis.

"Kalau untuk kemajuan di daerah-daerah lain Jabar, kenapa kami di Desa Pakualam yang dikorbankan," tutur Ratriningsih. Sawah di desa itu rata-rata panen dua kali dalam setahun dengan produktivitas lebih kurang 5 ton per hektar setiap panen.

Meski harus kehilangan sawah dan rumahnya, Ratriningsih mengaku tak keberatan jika mengingat kepentingan untuk masyarakat lain jauh lebih besar. Hanya, ganti rugi atau relokasi untuk warga yang rumahnya tergenang air harus benar-benar jelas. Selain rumah dan sawah, sejumlah makam keramat juga akan tenggelam jika Waduk Jatigede sudah dibangun.

Tak keberatan

Kuncen makam keramat di Desa Cipaku, Iyat (58), mengatakan, lebih kurang 35 makam keramat akan tenggelam jika Waduk Jatigede selesai dibangun di tiga kecamatan. Ia menjaga enam makam, yakni makam Prabu Guru Aji Putih, Nyimas Ratu Ratna Inten Dewi Nawangwulan, Eyang Resi Agung, Mbah Dalem Prabu Lembu Agung, Nyimas Siti Lenggang Sari, dan Mbah Jalul. Mereka adalah keluarga Kerajaan Sumedanglarang yang diperkirakan berdiri pada abad ke-15 Masehi dan termasuk kerajaan penyebar Islam.

Peziarah memberikan sumbangan yang digunakan untuk merawat makam, membayar tukang sapu, dan membiayai pembenahan tempat istirahat peziarah jika diperlukan. Rata-rata, total pengeluaran untuk makam-makam itu sekitar Rp 100.000 per bulan, sementara jumlah sumbangan tak menentu.

"Kalau ramai, bisa dapat Rp 300.000 per bulan. Tapi, kalau sepi, hanya Rp 100.000 per bulan. Padahal, saya harus setor Rp 500.000 per bulan ke Pemerintah Kabupaten Sumedang," katanya.

Iyat tidak keberatan terhadap rencana pembangunan Waduk Jatigede. Faktor paling penting adalah masyarakat yang terkena dampak pembangunan itu. "Kalau nanti makam digenangi air atau dipindahkan, terserah pemerintah saja. Pikirkan dulu masyarakatnya," kata Iyat.

Mengenai kemungkinan timbulnya dampak jika makam dipindahkan, Iyat tidak menjawabnya secara langsung. Ia malah menuturkan kejadian tentang makam keramat di Desa Cisitu, Kecamatan Cisitu, Kabupaten Sumedang, yang dilalui jalur pembangunan jalan.

Peralatan berat sempat tidak berfungsi saat hendak mengerjakan jalan tersebut. Namun, aktivitas kembali normal ketika jalur dibelokkan sehingga tidak melintasi makam. Namun, Iyat tidak mengetahui tokoh yang dimakamkan itu. (dwi bayu radius)***

Source : Kompas, Senin, 3 Mei 2010 | 13:40 WIB

Petani, dari Raja Menjadi Sahaya

Forum

Petani, dari Raja Menjadi Sahaya

Oleh USEP ROMLI HM

Proses kelahiran Rencana Peraturan Menteri Pertanian tentang Pedoman Perizinan Usaha Budidaya Tanaman Pangan yang hanya melibatkan perusahaan nasional dan multinasional komoditas pertanian semakin memperjelas arah politik pertanian nasional yang amat kapitalistik.

Tidak satu pun institusi kelompok tani diajak serta, apalagi petani yang benar-benar bulu taneuh. Urusan pertanian sekarang, di negara yang mengaku agraris ini, betul-betul berada di tangan pemilik modal, bahkan mungkin mafia khusus pertanian yang menjadikan petani sebagai binatang perahan.

Petani yang bergulat lumpur hanya menjadi sasaran pemasaran produk pertanian buatan pabrik tertentu yang dilegitimiasi aparat birokrasi dari pusat hingga daerah. Mafia khusus sarana produksi pertanian benar-benar telah menguasai jaringan birokrasi untuk menjadikan produk-produk sindikasinya laku keras. Mereka menarik laba dari tetesan keringat petani yang semakin papa.

Petani yang dulu raja kini telah menjadi sahaya, "budak belian" yang segalanya tergantung pada kemurahan hati penentu kebijakan dan pialang-pialang bergelimang uang. Menteri Pertanian atau jajarannya tidak lagi memandang sosok petani pengolah tanah yang semakin merana akibat berbagai hal.

Apresiasi generasi muda telah amat merosot terhadap profesi petani. Sementara itu, terjadi penguasaan tanah garapan oleh "petani berdasi" serta alih fungsi lahan pertanian besar-besaran dan menyeluruh untuk kepentingan yang lebih menguntungkan dari aspek material-finansial. Karena itu, yang diajak bicara mengenai berbagai hal sekitar masalah pertanian hanyalah pengusaha sarana produksi pertanian, seperti pengusaha benih, pupuk, dan obat-obatan.

Petani asli, petani yang setia memegang cangkul, diabaikan. Justru petani yang masih setia mempertahankan usaha di bidang bercocok tanam untuk kesejahteraan pangan, bukan untuk mencari nilai tambah atau mengejar ekspor, dikenai kewajiban mendapatkan izin bertani dari pemerintah setempat (Kompas, 20/4).

Rekayasa genetik

Memang sejak era 1970-an petani tidak lagi menjadi raja. Petani tidak lagi punya kuasa atas tanah garapan sendiri, tidak lagi dapat menentukan tanaman apa yang diinginkan, pupuk dan antihama apa yang akan digunakan, serta ke mana menjual hasilnya kelak. Mereka tidak lagi menjadi raja yang dengan hasil buminya dapat menyejahterakan diri sendiri, keluarga, lingkungan masyarakat, bahkan bangsa dan negara dengan kearifan budaya penyediaan pangan yang spesifik, spiritualistik, bahkan ritualistik.

Tatkala menjadi raja, petani dapat memelihara tradisi masa lampau, masa kini, dan masa depan dengan aneka macam tatara, mulai dari istilah hingga pelaksanaan, yang serba rumit tetapi mudah dimengerti kedalaman maknanya. Semua mengacu pada prinsip hurip sugih mukti (hidup senang lahir batin tidak kekurangan, tetapi tidak berlebihan), dan neundeun miraweuy (menyiapkan bekal masa depan).

Mereka tidak awuntah (boros) walaupun bro di juru bro di panto ngalayah di tengah imah (berlebihan). Mereka tetap ngirit (hemat) menyimpan dan memelihara sesa seubeuh (merasa kenyang) untuk dimodalkeun pada musim tanam mendatang.

Siklus basajan (sederhana) terhapus begitu saja begitu muncul sistem pertanian "modern" yang bertujuan mengejar nilai tambah dari hasil bumi komoditas ekspor. Intensitas dan pengintensifan pertanian digalakkan dengan pengolahan tanah tanpa henti, penebaran benih hasil rekayasa genetik dan bioteknologi, serta penggunaan pupuk non-organik untuk menunjang produktivitas unsur hara tanah.

Akibat modernisasi tersebut, petani digenjot tanpa punya waktu istirahat kerja dan mengistirahatkan tanah dari eksploitasi sistem. Kehilangan unsur hara tanah yang begitu dahsyat setiap musim tanam tidak dapat diimbangi oleh pemulihan kembali daya tanah yang memadai. Petani juga tak dapat dan tak sempat memproduksi sendiri benih serta penangkal hama dan penyakit. Maka, muncul ketergantungan amat sangat kepada produsen benih, pupuk, dan obat-obatan non-organik.

Para produsen inilah yang kemudian memanipulasi diri menjadi petani, sahabat petani, pendorong kemajuan petani, dan lain-lain yang sangat berbau iklan. Sementara petani asli, petani bulu taneuh, semakin terbenam ke dalam lumpur kemiskinan karena tidak lagi memiliki kedaulatan terhadap lahan pertanian, bibit, pupuk, dan obat-obatan. Sebab, semua sudah berada di tangan kekuasaan produsen, distributor, dan pengecer yang rata-rata menjalankan praktik ijon.

Contoh nyata terjadi di Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut. Tahun 2000-an tanaman jambu batu (kulutuk) di atas ratusan hektar tanah produktif dibabat habis karena hendak digantikan dengan tanaman jagung bibit unggul produk sebuah merek terkenal.

Tahun-tahun pertama memang sukses. Panen perdana menjadi berita utama media massa. Tentu saja bupati dan kepala dinas pertanian setempat mendapatkan sanjungan tanpa seorang pun mempersoalkan berapa insentif yang mereka terima dari produsen benih atas keberhasilan menjual sekian ton bibit jagung kepada petani yang semula mengusahakan jambu kulutuk.

Namun, pada musim-musim selanjutnya petani mulai kecewa. Tanaman jagung hibrida tersebut, setelah dipanen dan laku dijual, ternyata memerlukan perlakuan khusus yang membutuhkan waktu dan tenaga sangat banyak. Jagung harus dikupas, bijinya dipereteli dari tongkol, dikeringkan, dan dimasukkan ke dalam wkonsumsi; adah (karung) sebelum mendapatkan harga yang cocok. Adapun harga jual/beli berada di tangan para tengkulak yang lebih dulu memasok benih, pupuk, dan obat-obatan, serta bekal hidup sehari-hari kepada petani.

Harga jual amat rendah tidak termasuk ongkos pemeliharaan pascapanen. Padahal, ketika menanam jambu kulutuk, petani merasa lebih ringan, tinggal petik saja. Bahkan mereka dapat memajang dagangan masing-masing di pinggir jalan yang kebetulan berada di jalur wisata Situ Bagendit. Buah jambu kulutuk juga diperlukan oleh pabrik pembuat obat antidiare dan antidemam berdarah.

Sementara itu, jenis jagung hibrida tidak dapat menjadi bahan konsumsi sebagai makanan pengganti. Jagung itu tidak dapat diolah langsung sebagai cadangan persediaan pangan pada musim paceklik, seperti halnya jagung lokal biasa yang dapat diolah menjadi eumping, boder, dan kejo jagong. Sebab, dari sananya jenis jagung itu sudah dirancang hanya untuk dijual, bukan dimakan. Jenis itu dimaksudkan sebagai komoditas perputaran keuntungan produsen, bukan untuk kesejahteraan petani.

Demikian pula untuk beras/padi, petani sekadar dititipi untuk menanamnya dan diam-diam dikorbankan dalam pusaran pertarungan kaum pemodal yang tidak punya rasrasan (simpati kemanusiaan).

Semua bersumber dari berubahnya prinsip mencari kesejahteraan yang sudah diwarisi turun-temurun oleh kalangan petani menjadi mencari keuntungan yang dimiliki para pemodal dengan mengorbankan kehidupan petani dan sistem pertanian.

Begitulah, di tengah ancaman kerawanan pangan global, petani yang semula raja kuasa menjadi sahaya, hina dina tak berdaya.

USEP ROMLI HM,

Pekerja Sosial; Tinggal di Singaparna, Tasikmalaya

Source : Kompas, Senin, 3 Mei 2010 | 16:32 WIB

Nadine Chandrawinata : Aktif Kampanye Pelestarian Lingkungan Hidup

NADINE CHANDRAWINATA. (KOMPAS/ARBAIN RAMBEY)***

Nadine Chandrawinata

"Menghukum" Diri Sendiri

Pengantar Redaksi

Namanya disorot ketika mewakili Indonesia pada ajang Miss Universe 2006 di Shrine Auditorium, Los Angeles, AS. Nadine Chandrawinata, Puteri Indonesia 2005 ini, belakangan aktif dalam kampanye pelestarian lingkungan hidup.

Sewaktu mengikuti kontes tersebut, dia sempat ”terseleo lidah”. Nadine lalu menjadi bulan-bulanan sebagian masyarakat. Tentang hal itu, ia mengatakan, ”Kita belajar dari kesalahan. Semua caci maki saya terima dengan terbuka. Saya berterima kasih dengan semua respons itu. Ini membuat saya menjadi tegar.”

Selain menjadi macam-macam duta, dia juga menjadi ”orangtua asuh” seekor gajah di Taman Safari Indonesia. Di samping bekerja untuk memengaruhi sebanyak mungkin orang agar peduli kepada kelestarian lingkungan, gadis campuran Jember-Jerman ini juga menjadi juru bicara untuk Badan Narkotika Nasional dan Turisme Indonesia.

Nadine juga menjadi bintang iklan dan bermain dalam sejumlah film, di antaranya Realita, Cinta dan Rock’n Roll dan Generasi Biru.

Nadine, lebih nyaman mana menjadi seorang Duta Lingkungan atau sebagai seorang selebriti?

(Ahmett Sobrie, Rawamangun)

Selebriti (figur publik) bukan status yang saya kejar, tetapi sesuatu yang saya dapatkan dari apa yang dilakukan. Ketika saya melakukan pekerjaan, bukan popularitas yang dicari. Namun, bagaimana bisa bekerja dan fokus dengan apa yang saya tekuni, baik itu dalam akting, modelling, maupun ketika saya mendapat kesempatan menjadi Duta Lingkungan.

Saya sadar, peran figur publik memudahkan saya berkomunikasi dengan masyarakat. Sebagai Duta Lingkungan, saya lebih leluasa mengampanyekan kelestarian lingkungan.

Menurut Nadine, bagaimana pendidikan di Indonesia kini? Sekarang, banyak generasi muda yang memilih budaya luar daripada lokal. Bagaimana mengatasinya?

(Andriani Dwi Hapsari Pertiwi Munaf, xxx@yahoo.com)

Pendidikan di Indonesia semakin maju dan mengalami perkembangan. Namun, sebaiknya kemajuan pendidikan tak hanya terpusat di kota, tetapi sampai pelosok negeri. Di sini, para pendidik yang berkualitas dan memiliki jiwa pendidik sangat dibutuhkan.

Generasi muda dan budaya bangsa? Saya percaya, adanya pendidikan mengenai budaya bangsa sejak dini akan membuat kita lebih mencintai dan menghargai budaya sendiri. Tetapi, kehadiran budaya asing jangan dianggap ancaman. Jadikan itu sebagai acuan kita untuk lebih mengembangkan potensi budaya sendiri.

Saya yakin, jika kita mau menjadi bangsa yang besar, berarti harus berani berkompetisi di kancah dunia, dengan mengedepankan asas keterbukaan akan adanya perbedaan. Kekayaan budaya kita juga menjadi modal. Tinggal tergantung bagaimana kita menanamkan rasa bangga pada budaya sendiri.

Sebagai Duta Lingkungan, bagaimana Anda bereaksi dengan banyaknya produk tak ramah lingkungan, tetapi menguntungkan secara komersial?

(Satrio Riandriyoko, Jakarta, xxx@yahoo.com)

Kita tak bisa menghindari kerusakan lingkungan dalam semua aspek. Tetapi, kita bisa berusaha sedapat mungkin mengurangi kerusakan itu dan selalu melakukan aktivitas yang ramah lingkungan seperti rajin menanam pohon. Sesekali boleh juga kita ”menghukum” diri sendiri, misalnya dengan tak menggunakan listrik sehari dalam sebulan.

Bagaimana Nadine bisa terpilih menjadi orangtua asuh untuk gajah? Apa kriteria untuk menjadi Duta Lingkungan?

(Annisa Priyandita, Tanah Tinggi, Jakarta)

Tak ada kriteria khusus, tetapi saya diberi kepercayaan menjadi Duta Lingkungan dari penilaian masyarakat. Semua yang saya lakukan itu sesuai kepercayaan saya: dari alam untuk alam.

Gajah itu makhluk hidup tertua yang menjaga spesies lain. Dengan membantu menjaga habitatnya, secara otomatis makhluk hidup lain pun terjaga kehidupannya.

Tak ada kebahagiaan tanpa aksi. Inilah kebahagiaan saya, melihat makhluk hidup lain di Bumi mendapatkan hak yang layak untuk hidup.

Halo Nadine, waktu mengikuti kontes Miss Universe 2006 di AS, insiden ”lidah keseleo” sempat membuatmu menjadi bulan-bulanan sebagian masyarakat. Malah ada yang menganggap Nadine memalukan Indonesia. Secara pribadi, marah atau kecewakah Nadine dengan perlakuan itu? Adilkah perlakuan itu, saat Nadine membawa nama Indonesia, justru ditertawakan oleh masyarakat yang seharusnya mendukungmu?

(Arie Paskal Gunawan, xxx@yahoo.com)

Semua yang terjadi dalam hidup saya, baik itu kesalahan maupun prestasi, adalah proses pembelajaran menjadi manusia yang lebih baik. Saya sempat menyesal mengapa melakukan kesalahan. Namun, inilah cara Tuhan mengajar saya, lewat dukungan keluarga, teman, dan keluarga Mustika Ratu, saya bangkit dan tetap maju.

Semua orang melakukan kesalahan. Kita belajar dari kesalahan itu. Semua caci maki saya terima dengan terbuka. Saya justru berterima kasih dengan semua respons, baik positif maupun negatif. Ini membuat saya menjadi tegar.

Apa yang melatarbelakangi persepsi Nadine berhadapan dengan realitas pelestarian lingkungan di Indonesia? Bagaimana menyebar ”virus” pelestarian lingkungan, khususnya kepada perempuan, dengan tahapan berkelanjutan, tersistematis, tersistem, dan terlembaga, tanpa dana pemerintah?

(Azis Malik, Kompleks DPR RI)

Lingkungan hidup harus menjadi bagian dari kurikulum pendidikan. Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang luas dan baik tentang kelestarian alam. Perempuan itu identik dengan kesabaran dan kelembutan. Dengan memberi contoh dalam kehidupan sehari-hari, seperti membuang sampah di tempatnya dan penghijauan di halaman rumah, itu langkah nyata mengampanyekan lingkungan hidup. Saya yakin hasilnya akan signifikan.

Andai Kak Nadine tak merintis jalan lewat Puteri Indonesia, apakah akan berkecimpung di dunia hiburan atau memilih jalur sosial seperti menjadi Duta Lingkungan? Atau, punya pilihan lain? Terima kasih atas inspirasi Kak Nadine selama ini.

(Christiansimada Sembiring, Yogyakarta)

Saya tak merencanakan menjadi apa. Namun, ketika kesempatan terbuka dan ada jalan meraihnya, saya tak akan menyia-nyiakan kesempatan itu. Saya tak tahu menjadi apa jika tidak berkesempatan di dunia hiburan. Tetapi, satu hal pasti, apa pun karier yang dijalani, saya tetap berbicara tentang pelestarian lingkungan dan bertindak ramah lingkungan dalam kehidupan sehari-hari.

Sekarang banyak artis cantik ditawari menjadi anggota DPR atau wakil bupati. Jika ada partai yang menawari, Anda tertarik menduduki jabatan itu?

(Diah Marliati A Soeradiredja, Jalan Bukit Duri Selatan, Jakarta Selatan)

Untuk saat ini saya tidak berkompetensi di bidang itu. Saya merasa akan lebih bermanfaat jika memperjuangkan lingkungan di luar sistem pemerintahan. Namun, tak ada yang bisa memprediksi apa yang akan terjadi dalam hidup kita. Selama itu positif dan kita mampu, tak ada salahnya memperjuangkan dunia yang lebih baik dengan kapasitas masing-masing.

Hai Nadine, selamat atas semua aktivitas positif Anda. Anda bisa menjadi role-model untuk kaum muda Indonesia. Siapa sebenarnya role-model Anda? Mengapa? Kalau punya pilihan, bidang apa yang paling Anda inginkan? Apa yang paling ingin Anda katakan tentang negeri tercinta?

(Farid Badron, Rempoa, Tangerang, xxx@yahoo.com.sg)

Seperti yang dikatakan Ibu Theresa: ”We can do great things; only small things with great love.” Itulah yang saya lakukan untuk perairan kita. Perairan itu begitu luas, apa yang kita lakukan mungkin hanya setitik kecil. Tetapi, tanpa ”titik” itu, ada yang hilang dari perairan kita.

Nadine, sudah punya pacar? Kapan menikah?

(John Travolta, xxx@yahoo.co.id)

Ha-ha-ha, saya berhubungan serius dengan seseorang. Tetapi menikah? Saya tak pernah menargetkannya, biarkanlah semua mengalir. Bila waktunya tiba, itu akan menjadi proses hidup. ”Love lasts when the good relationship comes first”.

Kak Nadine, apa yang dilakukan untuk memulihkan nama Indonesia di mata internasional?

(Kenny Liantogunawan, Bogor, xxx@rocketmail.com)

Semua berawal dari hal paling kecil, membenahi diri sendiri dan menghasilkan karya dalam bidang pekerjaan kita. Saya membuat Pantaskah Aku Mengeluh? dan Nadine, Labour of Love yang dirilis di 24 negara. Buku fotografi itu menunjukkan indahnya alam bawah laut dan memperkenalkan desain perancang busana anak bangsa.

Saya yakin, jika semua warga Indonesia sadar dengan mengubah dirinya lebih dulu, kita akan menjadi bangsa besar dan dihargai dunia internasional. Stop menyalahkan orang lain, mulailah mengoreksi diri kita.

Dari semua tempat di Indonesia yang pernah dikunjungi, mana yang berkesan dan menurut Nadine, ”wajib” dikunjungi?

(Kristanto, Banjarmasin, xxx@gmail.com)

Setiap daerah itu unik dan beda. Keindahan itu berbeda, tergantung persepsi manusianya. Sulit bagi saya untuk menentukan mana yang terfavorit. Indonesia memiliki keindahan alam luar biasa, baik di darat maupun di laut. Apalagi ini pun didukung kerajinan, kesenian, dan tradisi masyarakat lokal.

Apa pendapat Mbak Nadine tentang eksploitasi hutan di Kalimantan? Bagaimana langkah konkretnya? Kalau sudah berkeluarga kelak, ada pengaruhnyakah pada kontribusi Mbak terhadap lingkungan?

(Werdi Agung Suwargono, Cilacap)

Kita perlu hukum yang ramah lingkungan. Untuk mengatasinya, perlu penerapan hukum (yang tegas), pengawasan ketat dari aparat terkait, dan kontrol sosial masyarakat serta media massa. Kelak, saya akan tetap mengajarkan ”hukum alam”, apa yang kita lakukan akan berbalik lagi pada kita.

Nadine, Patih Laman, pemimpin Suku Talang Mamak, Indragiri, Riau, menyerahkan kembali Kalpataru 2003 kepada pemerintah karena jerih payahnya musnah oleh illegal logging dan perkebunan sawit. Adakah program khusus menyikapi tragedi itu?

(Winardi, Kuansing, Riau)

Penghargaan Kalpataru itu hasil jerih payahnya memperjuangkan alam kita. Sayang, penghargaan itu dikembalikan, sebab sekecil apa pun usaha kita, haruslah dihargai. Ini amat berarti untuk keseimbangan alam.

”Semakin tinggi pohon, semakin kuat embusan anginnya”. Kita tak bisa menutup mata, masih banyak masyarakat yang melakukan illegal logging. Untuk itulah kita sebaiknya menyadari, manusia itu bisa menjadi penghancur atau penyelamat dunia. Pilihan ada pada diri sendiri.

Source : Kompas, Jumat, 7 Mei 2010 | 05:11 WIB

KEANEKARAGAMAN HAYATI : Spesies Baru di Mamberamo-Foja

Spesies Baru di Mamberamo-Foja

Katak berhidung panjang (Litoria sp. nov.)

KEANEKARAGAMAN HAYATI

Spesies Baru di Mamberamo-Foja

JAKARTA - Ekspedisi Conservation International, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, the National Geographic Society, dan Smithsonian Institution di Papua pada akhir 2008 menemukan sejumlah spesies baru. Penemuan spesies, seperti kupu-kupu hitam dan putih atau Ideopsis fojona, katak berhidung panjang atau Litoria sp. nov., dan pergam kaisar atau Dacula sp. nov., membuktikan tingginya keanekaragaman hayati Papua.

Penelitian bertajuk ”Conservation International’s Rapid Assessment Program (RAP)” itu berlangsung di salah satu lokasi paling terpencil di Suaka Margasatwa Mamberamo-Foja. Suaka margasatwa seluas 2 juta hektar di Kabupaten Mamberamo Raya dan Kabupaten Sarmi, Papua, itu disebut-sebut sebagai generator spesies karena lingkungannya yang terisolasi.

Penelitian RAP dilakukan di kawasan Desa Kwerba hingga ke lereng pegunungan yang sulit dijangkau di ketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut dalam hutan tropis yang lebat.

Selain menemukan kupu-kupu hitam-putih, katak berhidung panjang, dan pergam (merpati) kaisar, RAP juga menemukan bukti foto dan spesimen kelelawar kembang baru (Syconycteris sp. nov.), tikus pohon kecil (Pogonomys sp. nov.), semak belukar berbunga (Ardisia hymenandroides), dan walabi kecil (Dorcopsulus sp. nov.)

Ketua Tim Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Hari Sutrisno menjelaskan, penemuan berbagai spesies itu menjadi prestasi tersendiri bagi para peneliti Indonesia.

”Salah satu peneliti kupu-kupu dari LIPI, Peggie Djunijanti, berperan penting dalam mendeskripsikan kupu-kupu hitam-putih (Ideopsis fojona) yang ditemukannya bersama peneliti D Vane Wright dan Henk van Mastrigt. Peggie dan kedua peneliti itu bersama-sama menjadi pendeskripsi resmi kupu-kupu itu. Berkat kontribusi peneliti Indonesia, spesimen spesies baru lainnya juga akan menjadi tambahan koleksi spesimen Herbarium Bogor dan Museum Zoology Bogor,” kata Hari.

Ornitologis Neville Kemp yang berhasil mendeskripsikan pergam kaisar (Dacula sp. nov.) menjelaskan penemuan itu melalui proses panjang yang direncanakan sejak awal 1990. Kemp menyatakan, beberapa spesies yang diumumkan kali ini sudah diketahui keberadaannya sejak RAP 2005.

”Namun, spesimen beberapa spesies, baru ditemukan pada RAP 2008. Ada juga spesies yang keberadaannya terdokumentasi pada RAP 2008 dan spesimennya langsung didapatkan. Tim harus memeriksa semua spesimen koleksi berbagai herbarium dan museum zoologi di dunia. Setelah dipastikan tidak ada spesimen yang sama, barulah bisa disimpulkan spesies yang ditemukan itu spesies baru,” kata Kemp. (ROW/Kompas)***

Sumber : Kompas, Selasa, 18 Mei 2010 | 04:06 WIB

Es Carstensz Simpan Jejak Sejarah Iklim


Apakah Gurun Sahara Dhulunya Kawasan Hijau ?

Sumber : Kompas, Minggu, 2 Mei 2010






KILAS IPTEK

Es Carstensz Simpan Jejak Sejarah Iklim

Enam peneliti Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika; dua peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia; serta sejumlah peneliti dari Byrd Polar Research Center Universitas Negara Bagian Ohio, AS, dan Lamont Doherty Observatory Universitas Columbia, AS, bekerja sama meneliti inti es Puncak Jaya, Papua. Inti es itu menyimpan data sejarah perubahan iklim dan cuaca selama 5.000-6.000 tahun terakhir.

Kepala Bidang Litbang Klimatologi dan Kualitas Udara BMKG Dodo Gunawan mengatakan, ”Kami akan naik ke Carstensz pada 24 Mei. Kami akan mengebor enam lokasi, mengambil silinder inti es berdiameter 10 cm, dengan kedalaman 10–30 meter,” kata Dodo di sela peluncuran tim peneliti itu di Jakarta, Selasa (18/5). Peneliti Lamont Doherty Observatory Universitas Columbia, Dwi Susanto, menyatakan, ”Inti es itu seperti kue lapis legit, selama ribuan tahun menyimpan berbagai informasi tentang kondisi iklim dan cuaca di Papua,” kata Dwi.

Pengambilan inti es itu merupakan yang pertama kali dilakukan. ”Penelitian itu penting untuk dunia karena Indonesia merupakan bagian dari sabuk sirkulasi udara global sehingga inti es Puncak Jaya menyimpan berbagai debu yang terbawa udara global,” kata Dwi. Menurut peneliti Byrd Polar Research Center Universitas Negara Bagian Ohio, Lonnie G Thompson, timnya telah meneliti inti es pegunungan Andes, Peru, Amerika Selatan. ”Kami akan bisa merekonstruksi sejarah fenomena El Nino dan El Nina dengan membandingkan data inti es dari Andes dengan inti es Puncak Jaya,” katanya. (ROW/Kompas) ***

Sumber : Kompas, Kamis, 20 Mei 2010 | 03:18 WIB

Selasa, 18 Mei 2010

Segenggam Pasir Timah, Segunung Risiko...

Segenggam Pasir Timah, Segunung Risiko...

Oleh Yulvianus Harjono dan Wisnu Aji Dewabrata

Hanya sunyi yang terlihat di Pantai Pala, wilayah terujung barat di Kecamatan Jebus, Kabupaten Bangka Barat, pagi itu. Keindahan hamparan pasir putih, laut jernih, dan batu-batu besar di pantai tidak mampu menyembunyikan suasana mencekam saat itu.

Sudah beberapa hari terakhir ini mayoritas masyarakat di Teluk Limau tidak melaut. Kapal-kapal bersandar di tepi pantai, begitu pula ponton-ponton rakit yang biasa digunakan warga menambang timah secara ilegal di lepas pantai. ”Kami dengar akan ada razia polisi. Kami tak maulah ditangkap,” ujar Lakibu (40), seraya mengisap keretek di atas ponton rakitnya yang tengah menganggur. Pria asal Buton, Sulawesi Tenggara, ini adalah operator buruh penambang timah ilegal. Sudah dua hari ini ia tak melaut.

Lakibu dulu juga nelayan. Seiring maraknya penambangan timah ilegal di laut sejak 2006, ia banting setir menjadi penambang timah. Dalam seminggu ia bisa mendapat Rp 400.000-Rp 1 juta. Ini bedanya dengan melaut. Dalam seminggu melaut, belum tentu nelayan dapat uang Rp 300.000. Tak ayal, pasir timah mengundang banyak pendatang dari daerah asal Lakibu.

Namun, ini bukan pekerjaan mudah. Selain harus kucing-kucingan dengan polisi, risiko keselamatan tidak kalah besar. Mayoritas anak muda asal Buton yang merantau di Bangka Belitung adalah penyelam-penyelam tangguh pencari pasir timah. Postur tubuh mereka mayoritas ramping, tapi berotot. Di dalam tim, posisi mereka adalah ”jangkar”. Mereka menyelam dengan peralatan seadanya, yaitu masker dengan udara dari kompresor dan alat pengisap pasir merek Dongfeng. Menyelam hingga kedalaman 40-50 meter bukan hal mustahil bagi mereka. ”Bagi yang baru belajar, biasanya hidung atau telinga keluar darah. Beberapa, gendang telinganya pecah,” ungkap Lakibu.

Sudah tidak terhitung lagi korban yang jatuh, di darat, khususnya di laut, akibat menambang timah secara ilegal.

Simpul Wahana Lingkungan Hidup Bangka Belitung mencatat tiap minggu rata-rata 4-5 jiwa melayang akibat tambang timah inkonvensional. Sedikit yang tercatat di kepolisian. Periode Oktober-November 2004, 145 penambang ilegal tewas, sebagian di antaranya di laut.

Istri para penyelam tiap hari cemas, menanti nasib suaminya. Perasaan ini dialami Dewi (33). Perempuan asal Buton ini tidak bisa berbuat banyak untuk mencegah suaminya memilih pekerjaan berisiko tinggi ini.

”Buat cari modal dulu. Kalau sudah cukup, baru nanti pulang kampung buat usaha,” ujarnya menjelaskan alasan suaminya memilih pekerjaan itu.

Namun, nyatanya, tiga tahun menekuni profesi itu, belum terlihat tanda-tanda sejahtera. Hingga kini keluarganya masih tinggal di gubuk 4 meter x 8 meter beratap daun kelapa. Tak ada apa-apa di gubuk itu kecuali radio usang.

Menurut Joni (32), pekerja tambang inkonvensional lain, hasil mencari timah yang tak seberapa sering kali sebagian harus disetorkan kepada oknum ”aparat” TNI dan polisi. ”Sudah capek-capek, berisiko tinggi, hasil kami juga masih harus dibagi. Untuk bisa dapat tempat di laut saja, ya, masih harus bayar ’beli bendera’ Rp 500.000,” kata Joni.

Pasir timah di Bangka kini menjadi yang paling dicari. Tidak jarang menjadi ”pemantik” perselisihan. Gesekan sosial akibat tambang timah di Bangka akhir-akhir ini makin sering terjadi. Karena itu, suasana pantai Teluk Limau dalam beberapa pekan terakhir pun mencekam.

Di lain pihak, sebagian warga menolak penambangan. Dengan perahu motor, warga terus berpatroli untuk mengantisipasi masuknya kapal isap di wilayah pantai. Pekan lalu, warga beramai-ramai mengusir sebuah kapal isap yang beroperasi hanya 200 meter dari garis pantai.

Selain merusak terumbu karang, keberadaan kapal isap ini dikhawatirkan menghabiskan cadangan pasir timah yang banyak diburu warga. Menurut nelayan bernama Ratno Budi, tambang timah telah mengubah kultur dan ekonomi warga Bangka Belitung. Separuh populasi nelayan di Batu Belubang, Bangka Tengah, berubah profesi, jadi penambang ilegal.

”Para penambang timah di sini sebenarnya nelayan juga. Kalau tangkapan ikan sedang turun, kami jadi penambang timah,” kata Salimin, seorang penambang.

Modal untuk membuat ponton tambang inkonvensional (TI), atau tambang ilegal apung, bisa dari kantong nelayan sendiri, atau biaya cukong, yang berhak membeli perolehan pasir timah. Satu ponton TI apung bersama mesin penyedot dan mesin penyemprot bernilai Rp 35 juta.

Di Batu Belubang, penambang tak lagi menyelam, sebab sedimentasi lumpur sangat parah. Mereka menggunakan rajuk,

pipa plastik sepanjang empat meter, sebagai penyedot pasir timah. Untuk menanam dan mencabut rajuk dari dasar laut, harus dilakukan empat orang sekaligus.

Suasana di atas TI apung sangat tidak nyaman. Deru mesin penyedot pasir dan mesin penyemprot air memekakkan telinga, sedangkan asap yang ditimbulkan oleh mesin penyedot dan penyemprot mengganggu pernapasan. Belum lagi sengat panas matahari dan ombak yang mengguncang ponton.

Indra Ambalika, dosen Fakultas Pertanian Perikanan dan Biologi Universitas Bangka Belitung, memprediksi, jika dasar laut Bangka Belitung terus dieksploitasi, cadangan timah di sana diperkirakan akan habis pada 2027.

Ketika air mata habis akibat banyaknya nyawa melayang, yang akan tersisa nanti hanyalah laut yang rusak dan tercemar, kelangkaan ikan, dan anak-anak yang terbelakang akibat kurang protein.

Wisata pantai, dan nelayan yang mencari ikan pun, kelak tinggal cerita. ***

Source : Kompas, Senin, 17 Mei 2010 | 05:23 WIB

Emil Salim : Membangun Babel Tanpa Timah

Membangun Babel Tanpa Timah

Oleh Emil Salim

Usaha pertambangan sering menimbulkan kesan ganda, di satu pihak usaha ini penting bagi pembangunan menaikkan pendapatan negara, di lain pihak merusak lingkungan sosial dan alam.

Bahan tambang adalah sumber daya alam tak terbarukan dan punya batas waktu tertentu bisa terkuras sampai susut habis. Pertambangan jaya selama masih ada bahan tambangnya, tetapi jadi petaka begitu bahan tambang habis dan kegiatan ekonomi pindah ke tempat lain dengan meninggalkan ”kolong kosong”.

Teknik penambangan merusak adalah pola ”penambangan terbuka” mengupas kulit Bumi untuk disedot bahan tambangnya. Hutan dan tumbuhan dicukur habis termasuk untuk jaringan jalan dan perkampungan karyawannya. Pola penambangan terbuka ini juga menghasilkan limbah sisa galian yang menjadi incaran penambang rakyat. Hasil akhir penambangan terbuka adalah lubang galian menjadi kolam air di bentangan kawasan tanah liat bercampur pasir.

Harga bahan tambang berada di tangan pengolah yang memprosesnya menjadi barang jadi di negara maju. Keuntungan utama dalam pertambangan terletak pada nilai tambah hasil processing bahan mentah tambang. Pemerintahan negara maju sering menetapkan tarif bea masuk untuk barang jadi tambang lebih tinggi daripada tarif bahan mentahnya. Karena itu, bagi pengusaha tambang negara berkembang lebih menguntungkan mengekspor bahan mentah ke luar negeri ketimbang memprosesnya di dalam negeri. Maka kecil perkembangan industri processing bahan tambang di negara berkembang sehingga rendah dampak kegiatan pertambangan pada penciptaan lapangan kerja.

Dengan penekanan usaha pada produksi bahan mentah dan ekspor, maka ”kaitan ekonomi ke dalam negeri” tidak besar. Hasil manfaat usaha pertambangan lebih besar terletak pada nilai devisa hasil ekspor yang berkaitan ”ke luar negeri”. Apabila harga bahan tambang di pasar internasional naik tinggi, maka hasrat mengekspor terpacu lebih besar dan semakin intensif penggalian pertambangan.

Menggeser pertanian

Pulau Bangka Belitung (Babel) adalah unik karena terletak di ”lidah tambang timah” yang terbentang dari Thailand- Malaysia-Singapura dan berhenti di Babel. Timah tidak hanya terdapat di daratan, tetapi juga di lautan kawasan ini.

Yang menarik bahwa Thailand dan Singapura mengalihkan titik berat ekonominya dari pertambangan timah ke sektor ekonomi jasa, seperti pertanian, pariwisata, dan perbankan yang dipandang lebih menyejahterakan rakyatnya. Hanya Pulau Bangka selama puluhan tahun tetap mengandalkan pembangunannya pada pertambangan timah. Bahkan, akibat kenaikan harga timah akhir-akhir ini, ekonomi masyarakat tergeser dari pertanian ke penggalian tambang inkonvensional. Dulu Pulau Babel dikenal dengan lada putihnya, tetapi kini tanaman ini terdesak leyap oleh penambangan timah.

Kalangan ahli memperkirakan sumber alam tambang Pulau Babel akan susut habis di tahun 2030. Jangka waktu 20 tahun, 2010-2030, mencakup satu generasi yang perlu diajak mengubah paradigma menjadi ”Membangun Babel Tanpa Timah” menjelang tahun 2030. Babel punya sumber daya alam tanah daratan, pantai dan laut yang berpotensi luas menopang pola pembangunan Babel secara berkelanjutan.

Ada kegiatan menarik dipelopori tokoh-tokoh terkemuka Babel untuk menghijaukan dan merehabilitasi lahan tambang di sekitar Bandara Depati Amir Pangkal Pinang dengan tanaman ketapang, jambu mente, cemara angina, dan sengon. Lahan milik masyarakat dikelola bersama, tetapi status lahan tetap milik masyarakat. Tanah areal bekas penambangan disuburkan dengan kotoran dan urine sapi yang diolah jadi kompos dan disebar ke tanah areal bekas penambangan.

Para tokoh pengusaha terkemuka Babel juga membangun Bangka Botanical Garden (BBG) seluas 300 hektar di Ketapang, Pangkal Pinang, menjadi lokasi pembibitan tanaman dan juga pemeliharaan jenis sapi FH perah, sapi Limousine, sapi Brangus, sapi Simental, dan sapi Bali berjumlah 300 ekor. Hasil susu sebanyak 300 liter sehari disumbangkan kepada murid-murid taman kanak-kanak dan sekolah dasar. Dengan mengindahkan udara panas Pulau Bangka, maka BBG mengembangkan buah bernilai tinggi, seperti buah naga merah yang mulai banyak digemari di luar negeri.

Usaha BBG membuktikan bahwa areal lahan bekas penambangan timah bisa ”dihidupkan” kembali dengan pemupukan, pembibitan buah yang sesuai dengan suhu udara. Juga bisa dikembangkan pembibitan ikan hias yang bernilai tinggi.

Pantai pasir putih Babel, seperti tergambarkan dalam film Laskar Pelangi, lebih indah dalam wujud aslinya dan memiliki potensi pariwisata tinggi apabila ditopang prasarana jalan, listrik, air minum, dan lain-lain. Belum lagi diangkat potensi wisata sejarah dengan hadirnya tempat-tempat pengasingan para pemimpin kemerdekaan kita, Bung Karno, Bung Hatta, Haji Agus Salim, Mohammad Roem, dan lain lain. Yang diperlukan adalah penuangan tempat bersejarah bangsa dalam kisah menarik.

Maka, terpampang di hadapan kita ”Babel tanpa Timah” yang didasarkan pada pengembangan multisektor mencakup sumber daya terbarukan pertanian, perikanan, perkebunan, peternakan, pariwisata, dan sebagai pusat pengembangan sumber daya manusia.

Banyak putra-putri Babel meraih posisi intelektual tinggi di luar Babel. Jika di masa lalu perspektif masa depan hanya terbatas pada sektor tunggal penambangan timah, kini tiba saatnya mengembangkan multisektor ekonomi Babel menggantikan peranan pertambangan timah pasca-2030. Untuk ini diperlukan pengembangan sumber daya manusia andal.

PT Timah merencanakan pembangunan Menara Timah yang menjulang tinggi sebagai ikon Pulau Babel. PT Timah bisa berjasa besar apabila Menara Timah dijadikan sentra pendidikan pascasarjana S-3, doktor, dan ilmuwan ulung dengan pusat laboratorium, pusat perpustakaan, serta pusat sains dan teknologi yang mampu menanggapi tantangan pembangunan membangun Babel tanpa timah dan menjadikannya pusat Indonesia unggul umumnya abad ke-21 ini. ***

Emil Salim,

Dosen Pascasarjana UI

Source : Kompas, Senin, 17 Mei 2010 | 03:19 WIB

Perizinan Tambang Seharusnya Selektif

TAMBANG TIMAH

Perizinan Tambang Seharusnya Selektif

PANGKAL PINANG - Kerusakan lingkungan hidup yang tidak terkendali di Bangka Belitung terjadi karena tidak memperhitungkan prinsip tambang yang berkelanjutan. Tambang berkelanjutan adalah proses penambangan selektif yang meminimalkan kerusakan lingkungan di sekitarnya, ditengarai pula oleh tidak adanya ”obral” perizinan dari pemerintah daerah setempat.

Demikian penilaian pemerhati masalah lingkungan Emil Salim di Jakarta, Senin (17/5), ketika dimintai tanggapannya menyangkut kerusakan parah lingkungan perairan dan daratan Provinsi Bangka Belitung akibat aktivitas penambangan timah. ”Tambang itu sumber daya tidak terbarukan. Tambang timah Bangka Belitung akan habis pada tahun 2030. Jangan sampai habis timah, habis pula riwayat Bangka Belitung,” kata Emil.

Tambang berkelanjutan merupakan eksploitasi yang tidak berlebihan, mengenal zonasi agar tidak mengancam sumber daya lainnya. Seperti di laut, penambangan harus diupayakan tidak merusak sumber daya lain seperti biota kelautan.

Mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup itu melihat keberadaan penambang timah inkonvensional di Bangka Belitung sebagai wujud kegagalan pemerintah daerah setempat, atau perusahaan tambang sekaliber PT Timah, dalam menjamin kelangsungan hidup masyarakat di sekitar tambang.

Emil mencontohkan, ada perusahaan Bangka Botanical Garden yang terbukti berhasil membudidayakan buah naga di Bangka. ”Perusahaan seperti PT Timah dan pemerintah daerah harus mengenalkan gaya ekonomi baru, gaya ekonomi berotak, yang mengoptimalkan sumber terbarukan meliputi pertanian, perkebunan, perikanan, pariwisata, dan sebagainya,” kata Emil.

Sebagai perusahaan paling besar, menurut Emil, PT Timah memiliki tanggung jawab menjamin kelangsungan hidup masyarakat di sekitar lokasi tambang. Caranya, dengan menciptakan pendapatan dengan sumber terbarukan.

Tidak berdaya

Sikap tidak berdaya ditunjukkan Gubernur Bangka Belitung Eko Maulana Ali dengan menyatakan aktivitas penambangan di laut sulit dihentikan dan ditertibkan.

Alasannya, sekitar 80 persen masyarakat Bangka dan Belitung kini telanjur menggantungkan hidup pada timah secara langsung maupun tidak langsung. ”Sepanjang belum ada lapangan kerja pengganti, penambangan timah harus terus dilakukan, tetapi dengan cara legal dan mematuhi tata ruang,” kata Gubernur.

Gubernur Bangka Belitung menambahkan, izin tambang timah di laut berasal dari pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi. Pemerintah kabupaten menerbitkan izin untuk lokasi tambang yang terletak 0-4 mil (0-6,4 kilometer) dari pantai, sedangkan pemerintah provinsi menerbitkan izin untuk lokasi 4-12 mil (6,4-19,3 kilometer).

Sementara itu, Bupati Belitung Darmansyah Husein menyatakan telah melarang penambangan timah di laut, terutama di wilayah barat, selatan, utara, dan sebagian wilayah tengah Pulau Belitung. Kawasan tersebut dikhususkan untuk pariwisata dan budidaya perikanan.

Sejumlah nelayan Bangka kini juga menolak kehadiran kapal penyedot timah di laut yang dioperasikan PT Timah (Persero) Tbk dan kalangan swasta lainnya. Alasannya, penyedotan bahan tambang itu dari dasar laut selama ini telah merusak ekosistem laut sekaligus memperparah kemiskinan yang diderita para nelayan. (WAD/JON/JAN/NAW/KOMPAS) ***

Source : Kompas, Selasa, 18 Mei 2010 | 04:57 WIB

 

TRANSLATE/TERJEMAH BAHASA

My Blog List

Site Info

Followers

LINGKUNGAN GLOBAL Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template