YANG HOT KLIK DI SINI

Rabu, 09 Juni 2010

Pawai Adipura 2010

Pawai Adipura 2010

Iring-iringan kendaraan hias dari lima kotamadya di Jakarta dan ribuan pengendara sepeda menyemarakkan Pawai Adipura 2010 di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa (8/6). Lima wilayah kota di DKI Jakarta mendapat penghargaan Adipura 2010. (KOMPAS/WISNU WIDIANTORO)***

Sumber : Kompas, Rabu, 9 Juni 2010

Penghargaan Kalpataru diberikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara, Jakarta, Selasa (8/6)

Penghargaan Kalpataru diberikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara, Jakarta, Selasa (8/6), kepada 12 orang atau kelompok yang berjasa dalam pembangunan lingkungan. Beberapa yang menerima (dari kiri ke kanan) untuk kategori Perintis Lingkungan Djohan Riduan Hasan, Mateus Bere Bau, Kholifah, Mahyiddin, dan Ujang Solikhin. Adapun penerima Kalpataru kategori Pengabdi Lingkungan adalah Yohanes Ebo dan Sumadi. (KOMPAS/ALIF ICHWAN)***

Adipura Bisa Dicabut

Penghargaan Kalpataru Diserahkan

JAKARTA - 140 kota dengan berbagai kategori mendapat penghargaan Adipura 2010 di Jakarta, Selasa (8/6). Namun, sejumlah kota yang kualitas lingkungan dan kebersihannya buruk juga mendapat penghargaan tersebut sehingga menimbulkan banyak pertanyaan dari masyarakat.

Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta mengatakan, penilaian untuk penghargaan Adipura hanya didasarkan pada aspek kebersihan lingkungan dari sampah.

Karena itu, penilaian bisa jadi berbeda dengan indeks kualitas lingkungan yang juga menilai aspek kualitas air, kualitas udara, tutupan lahan, dan sebagainya.

”Tadi dalam penyampaian anugerah lingkungan Kalpataru, Adipura, dan Adiwiyata oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dikemukakan, kalau tidak terbukti, penghargaan akan dicabut,” kata Hatta.

Adipura 2010 untuk kategori Kota Metropolitan diterima 9 kota meliputi Palembang, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Surabaya, Tangerang, Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Barat, dan Bekasi. Selebihnya, untuk kategori Kota Besar (4 kota), Kota Sedang (41 kota), dan Kota Kecil (86 kota).

Deputi Menteri Lingkungan Hidup Bidang Tata Lingkungan Hermien Roosita mengatakan, idealnya, penilaian Adipura untuk kota Jakarta melihat pula pengelolaan 13 sungai yang selama ini menampung limbah dan sampah.

Wajib beri bantuan

Secara terpisah, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara, Selasa pagi, memimpin peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Pada acara tersebut Presiden menyatakan, negara-negara maju yang memiliki sumber daya berupa uang, teknologi, dan pengalaman, berkewajiban memberi bantuan kepada negara-negara pemilik hutan tropis.

”Hutan hujan tropis adalah paru-paru dunia. Kawasan pertama adalah Indonesia, pusatnya Kalimantan. Kedua di Amazon, Brasil. Ketiga Kongo dan sekitarnya. Manusia sejagat menginginkan paru-paru sehat ketika udara di bumi mulai tidak sehat karena pencemaran, sebagian dimulai dari revolusi industri,” kata presiden.

Acara ditandai dengan penyerahan penghargaan dari Presiden kepada para pejuang di bidang lingkungan hidup, antara lain, berupa penghargaan Kalpataru, Adipura, dan Adiwiyata.

Dalam kesempatan ini Presiden juga menyerukan kembali kepada para pemimpin di daerah agar terus menjaga lingkungan hidup. Dalam sambutannya, Presiden sempat bercerita tentang perjalanannya meninjau hutan bakau yang dihutankan kembali di wilayah Taman Wisata Alam di Muara Angke, Jakarta Utara, sehari sebelum acara di Istana Negara ini. Ia mengatakan, di Indonesia ada delapan juta hektar hutan bakau yang harus dijaga. (NAW/OSD/Kompas)***

Sumber : Kompas, Rabu, 9 Juni 2010 | 04:32 WIB

Senin, 07 Juni 2010

Presiden Minta Masyarakat Jaga Sungai dari Sampah

Presiden Minta Masyarakat

Jaga Sungai dari Sampah

Liputan6.com, Jakarta: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta masyarakat meningkatkan kesadarannya untuk tidak membuang sampah sembarangan, terutama di sungai. Sebab, bisa merusak hutan mangrove di pesisir pantai. "Saya minta sekali lagi kesadaran masyarakat jangan buang sampah sembarangan, tidak menjaga kesehatan, karena kalau lingkungan bau, kotor, tercemar, tidak bagus, mudah banjir, mudah sakit masyarakat kita," kata Presiden Yudhoyono di Taman Wisata Alam Angke Kapuk di Jakarta Utara, Senin (7/6).

Menurut Presiden, negara harus mengeluarkan biaya besar untuk menyehatkan masyarakat jika lingkungan rusak. Presiden menilai lebih baik sedini mungkin berinvestasi menggunakan anggaran yang cukup untuk berkontribusi dalam penyelamatan lingkungan, termasuk hutan mangrove agar kehidupan masyarakat tidak terancam di waktu yang akan datang. "Saya juga melihat sungai-sungai sekitar sini ada yang sudah bagus Pak Gubernur (Fauzi Bowo), ada yang masih kelihatan banyak sampahnya," ucap Presiden SBY.

Dalam kunjungan ini, Presiden Yudhoyono berkeliling melihat kondisi hutan mangrove di Tawan Wisata Alam Angke Kapuk dengan perahu karet. Di hadapan para wartawan, Presiden SBY memaparkan arti penting hutan mangrove bagi ekosistem.

"Itu merupakan ekosistem yang sangat penting di pinggir pantai, kalau ekosistem ini rusak maka akan terganggu kehidupan ikan, burung, penyediaan air bersih," ujar Presiden. "Kalau ada tsunami, tidak ada penahan yang memadai dan kerusakan-kerusakan lain yang tentunya sangat mempengaruhi kehidupan." Dalam kesempatan ini, Presiden meminta agar pemerintah daerah meningkatkan anggaran untuk lingkungan. (Ant/BOG)***

Sabtu, 05 Juni 2010

Komunitas Indonesia Goes Green membagikan beragam jenis tanaman produktif

Membagikan Tanaman Produktif

Komunitas Indonesia Goes Green membagikan beragam jenis tanaman produktif kepada pengguna jalan yang melintas di sekitar Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Jumat (4/6). Lebih dari 600 tanaman dibagikan untuk menularkan kepedulian masyarakat terhadap pemanasan global. (KOMPAS/LUCKY PRANSISKA)***

Source : Kompas, Sabtu, 5 Juni 2010

Pada tahun ini ada hibah 200 juta dollar AS yang sudah siap dicairkan Norwegia

DANA MORATORIUM

Lima Provinsi Penerima Dana dari Norwegia

JAKARTA - Lima provinsi menjadi kandidat kuat penerima dana hibah dari Norwegia dalam program moratorium penebangan hutan senilai 200 juta dollar AS dan kucuran dana penurunan emisi karbon dioksida yang total nilainya sekitar 1 miliar dollar AS.

Kelima provinsi itu adalah Kepulauan Riau, Jambi, Bengkulu, Kalimantan Tengah, dan Papua. Dana tersebut akan dicairkan mulai tahun ini hingga tahun 2016.

”Pada tahun ini ada hibah 200 juta dollar AS yang sudah siap dicairkan Norwegia. Dananya akan dikelola oleh sebuah trust fund yang sudah ada di Kementerian Keuangan. Dana ini juga akan digunakan untuk pembentukan tim khusus yang akan berada langsung di bawah Presiden,” ungkap Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa di Jakarta, Jumat (4/6).

Menurut Hatta, pemerintah hanya akan menetapkan satu provinsi sebagai proyek percontohan pertama dalam moratorium konversi hutan alam primer dan gambut.

Kemudian, mulai Januari 2011, pemerintah akan menghitung tingkat penurunan emisi karbon dioksida (CO) dengan adanya moratorium konversi hutan tersebut.

Semakin banyak hutan alam primer dan gambut akan, semakin besar CO yang diserap. Saat ini, harga penurunan emisi CO di dunia berada di kisaran 5-6 dollar AS per ton CO. Jika Indonesia sanggup menurunkan emisi CO sebesar 5 gigaton, dana yang bisa diperoleh 5 miliar dollar AS. (OIN) ***

Source : Kompas, Sabtu, 5 Juni 2010 | 04:09 WIB

Arianto Sangaji : Lingkungan dan Kapitalisme

Lingkungan dan Kapitalisme

Oleh Arianto Sangaji

Ada dua hal yang saling berhubungan secara global yang memerlukan perhatian khusus, yakni lingkungan hidup dan kapitalisme. Isu perubahan iklim jelas-jelas menunjukkan itu.

Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC, 2007) memberikan indikasi bahwa aktivitas manusia—terutama yang berhubungan dengan penggunaan bahan bakar fosil dan kegiatan di bidang pertanian— menyebabkan peningkatan konsentrasi gas rumah kaca dan berakibat pada pemanasan global.

Namun, IPCC tidak (mau) menyebut kapitalisme, sistem yang mewadahi aktivitas-aktivitas itu, sebagai akar masalah. Padahal, sangat mudah memahami soal lingkungan global ini dari proses produksi dan sirkulasi komoditas yang sarat beban lingkungan sejak skala paling lokal.

Sosiolog John Bellamy Foster menyatakan, problem planet ini bukan berakar pada alam, melainkan pada struktur relasi masyarakat, khususnya bagaimana masyarakat diorganisasikan dalam hubungan dengan alam. Dalam kritiknya terhadap kapitalisme, dia menyatakan krisis ekologi adalah buah dari penghambaan terhadap akumulasi.

Dua karakter

Sekurangnya ada dua argumentasi melandasi anggapan tentang masalah lingkungan hidup tertanam di dalam kapitalisme. Pertama, dengan berbasis kompetisi, karakter utama sistem ini adalah perlombaan produksi komoditas semurah mungkin, di mana sumber daya alam disubordinasikan ke dalam logika ini. Tidak heran eksploitasi dan karenanya destruksi terhadap alam (dan juga buruh) menjadi keharusan.

Karakter kedua sistem ini adalah keharusan akumulasi tanpa batas melalui ekspansi spasial yang progresif. Korporasi-korporasi transnasional bergerak leluasa melintasi tembok-tembok negara untuk mengonversi permukaan bumi untuk industri ekstraktif. Pada masa lalu, praktiknya melalui kolonialisme, dan dalam 40 tahun terakhir, berlangsung di bawah rubrik neoliberalisme. Bukan saja sebagai class project’, tetapi juga sebagai ecology project , seperti disebut ahli geografi Jasson W Moore (Ecology & the Accumulation of Capital), neoliberalisme mempercepat perusakan lingkungan dengan dampak multi-skalar, dari lokal ke global.

China merupakan contoh terang. Pertumbuhan luar biasa setelah menerapkan ekonomi pasar, dicapai berkat ongkos produksi rendah, melalui eksploitasi buruh murah yang melimpah ruah dan mengabaikan lingkungan hidup. Sejumlah pengamat memprediksi, dengan terus mempertahankan model pertumbuhan ekonomi tidak berkelanjutan seperti sekarang, dalam waktu tidak lama China bakal terperangkap krisis energi, kemerosotan drastis produksi bahan pangan, dan bencana alam dahsyat.

Indonesia

Ekonomi politik krisis lingkungan global menempatkan Indonesia pada isu deforestasi, isu yang multi-tafsir dalam penanganannya. Menurut PBB, deforestasi dan perusakan hutan setiap tahun menyumbang sekitar 20 persen emisi karbon secara global, dan Indonesia, salah satu pemilik hutan tropik terbesar di dunia, adalah penyumbang utama. Kementerian Kehutanan menyebut setiap tahun Indonesia kehilangan 1,17 juta hektar hutan (Kompas, 8/4/2010). Itulah kenapa pada akhir bulan lalu Presiden SBY membawa pulang 1 miliar dollar AS dari Norwegia setelah Konferensi Iklim dan Hutan untuk membenahi soal hutan di negeri ini.

Sementara pengkambinghitaman terhadap petani-petani subsisten pra-kapitalis sebagai perusak hutan akan menjadi sasaran program-program antideforestasi, perhatian sebaiknya diarahkan kepada konversi hutan dalam industrialisasi di sektor perkebunan (terutama kelapa sawit) untuk pasar global. Sektor ini tumbuh fantastis, justru setelah penerapan neoliberalisme sejak krisis kapitalisme Asia 1997, yang memberi jalan terinkorporasinya sektor ini ke dalam rezim industri pertanian dan makanan global yang terkonsentrasi dan monopolistik. Deforestasi dan degradasi alam yang meluas justru tertanam dalam struktur ini.

Termasuk ongkos lingkungan hidup yang kurang diperhatikan dari struktur ini adalah apa yang sekarang dipercakapkan sebagai food miles, yakni energi yang dikeluarkan untuk jarak tempuh bahan (baku) makanan yang ditransportasikan dari lokasi produksi paling hulu hingga ke mulut konsumen. Padahal, transportasi bahan baku dari negeri- negeri Selatan ke Utara yang meningkat tajam setelah industrialisasi pertanian/perkebunan melipatgandakan konsumsi bahan bakar fosil, salah satu sumber emisi gas rumah kaca.

Ledakan minyak sawit secara global dan sangat kompetitif terhadap minyak nabati lain, juga karena biaya produksinya 100 dollar AS per ton lebih murah. Dan faktor paling menentukan di baliknya adalah buruh murah dan kemudahan akses terhadap tanah dan hutan. Dengan kata lain, sukses industrialisasi dalam perkebunan kelapa sawit di Indonesia beralas eksploitasi alam dan buruh secara bersamaan, serta ditunjang atau didahului dengan salah satu bentuk akumulasi primitif, yakni perampasan tanah-tanah petani yang kerap berdarah-darah.

Bukan jalan keluar

Jalan keluar krisis lingkungan hidup global juga terkerangkeng dalam skema geopolitik kapitalisme. Protokol Kyoto jadi contoh terang bagaimana proses-proses negosiasi antarnegara berjalan alot dan mencapai kompromi- kompromi yang lunak karena kepentingan memajukan kapital. Jalan keluar yang ditawarkan lantas terintegrasi ke dalam logika pasar, seperti pada ide carbon trade, carbon offsets, dan carbon tax. Di Indonesia, program Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD), program kerja sama antara UNDP, FAO, dan UNEP untuk mengerem laju kerusakan hutan secara global menggambarkan itu.

Tanpa menyentuh akar masalah, yakni kontradiksi antara kapital dan alam, inisiatif-inisiatif di atas tidak lebih sebagai siasat para baron karbon saja. Apa pun programnya, tidak menyelesaikan krisis, kecuali mengakui proses-proses perusakan lingkungan hidup sebagai problem yang tertanam dalam kapitalisme. Dengan kata lain, mengabaikan aspek ekonomi politik ini dalam rencana aksi adalah bukan jalan keluar. Oleh karena itu, ikhtiar memajukan lingkungan hidup global yang sehat harus dimulai bersamaan dengan memajukan sebuah tatanan masyarakat global yang adil, tanpa eksploitasi.

ARIAnto Sangaji,

Kandidat PhD Department of Geography York University Toronto,

Kanada

Source : Kompas, Sabtu, 5 Juni 2010 | 03:03 WIB

Ada 10 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda

aden wijdan sz @ Sabtu, 5 Juni 2010 | 13:21 WIB
Tulisan kritis yang mencerahkan, moga aja tidak sekadar kesadaran, tapi butuh aksi

aden wijdan sz @ Sabtu, 5 Juni 2010 | 13:12 WIB
Kritis dan mencerahkan, mari beraksi..

Reza @ Sabtu, 5 Juni 2010 | 09:24 WIB
teori-teori ekologi rupanya juga berakar pada cita-cita Marxis, yakni pembebasan. Kita sedang menunggu kapitalisme mengalami kontradiksi pada dirinya sendiri.

frans lamber @ Sabtu, 5 Juni 2010 | 06:31 WIB
Tajam sampai ke akar-akarnya. Lapindo bukti di depan mata

frans lamber @ Sabtu, 5 Juni 2010 | 06:30 WIB
Tajam sampai ke akar-akarnya. Lapindo bukti di depan mata

Yansen : Menghadang Krisis Biodiversitas

Menghadang Krisis Biodiversitas

Oleh Yansen

Banyak Spesies. Satu Planet. Satu Masa Depan”. Demikian tema Hari Lingkungan Hidup 5 Juni tahun ini. Tahun 2010 memang dijadikan sebagai tahun kampanye pentingnya biodiversitas. Selain ditetapkan sebagai Tahun Biodiversitas Internasional, pada Oktober mendatang juga akan dilangsungkan pertemuan para pihak Konvensi Keragaman Biologi di Jepang.

Mengapa isu keanekaragaman jenis makin penting? Meningkatnya laju kerusakan lingkungan dan habitat dipercayai sebagai faktor utama menurunnya biodiversitas dunia. Kerusakan habitat yang makin cepat menyebabkan dunia berada pada krisis biodiversitas. Jika lingkungan, terutama ekosistem tropis, terus-menerus dihancurkan, dalam seabad bumi akan kehilangan setengah spesies penghuninya.

”Kita sedang menuju kepunahan keenam!” ujar Richard Leakey (1996). Dalam sejarah, bumi telah melewati lima kejadian kepunahan. Semuanya disebabkan faktor fisik, yakni kejadian bencana dan perubahan iklim. Kepunahan terakhir pada Zaman Cretaceous ditandai dengan hilangnya fauna superbesar, seperti dinosaurus. Saat itu bumi juga kehilangan hampir dua per tiga spesies yang ada. Namun, kepunahan keenam tak disebabkan faktor fisik, tetapi biologis.

Manusia sebagai anasir hayati memiliki kemampuan menghancurkan banyak entitas biologis lainnya, yang bisa memicu kepunahan biodiversitas.

Simalakama

Myers et al (2000) mengidentifikasi 25 ”titik panas” biodiversitas di muka bumi. Gugusan Sundaland dan Wallacea di Indonesia menjadi dua di antaranya. Dua gugusan ini sama saja dengan bentangan hutan dari Sabang sampai Merauke. ”Titik-titik panas” biodiversitas dunia ini secara total hanya mencakup 12 persen muka bumi, tetapi menjadi rumah bagi 44 persen jenis tumbuhan dan 35 persen vertebrata daratan.

Sayangnya, ”titik-titik panas” ini memang ”panas”. Di samping menjadi habitat utama keragaman hayati dunia, daerah-daerah ini juga berada di garda terdepan tingkat kerusakan lingkungan. Sebagai contoh, Indonesia diperkirakan kehilangan 2 juta hektar hutan tropis setiap tahun. Belum lagi laju kerusakan ekosistem terumbu karang. Padahal, kehancuran hutan tropis dan terumbu karang adalah dua elemen utama penyebab krisis biodiversitas dunia.

Hidup di ekosistem tropis memang seperti menghadapi buah simalakama. Kita membutuhkan area-area baru untuk pembangunan dan menampung jumlah penduduk yang terus bertambah. Biro Pusat Statistik memproyeksikan jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 270 juta pada tahun 2025. Ini berarti ada tambahan 40 juta jiwa dalam 15 tahun ke depan setelah hasil sensus penduduk sementara memproyeksikan jumlah penduduk Indonesia saat ini adalah 230 juta jiwa. Sudah dapat dibayangkan laju alih fungsi lahan untuk permukiman dan lahan pertanian satu dekade ke depan. Sebagai konsekuensinya, habitat yang menampung mega biodiversitas semakin berku- rang. Ujungnya, kita akan bersumbangsih besar pada laju kepunahan spesies bumi.

Sayangnya, banyak kerusakan dan pembukaan habitat malah disebabkan oleh aktivitas ilegal. Lemahnya penegakan hukum telah menjadikan aktivitas pembalakan liar di hutan alam menjadi musuh utama konservasi. Aktivitas ekonomi yang memanjakan korporasi besar juga membuat eksploitasi berlebihan sumber daya alam tak terbendung.

Konsesi pertambangan meninggalkan lubang-lubang menganga di muka bumi. Perkebunan pun melahap hutan-hutan alam. Ironinya, keuntungan eksploitasi sumber daya alam tersebut sebagian besar tak melekat di bumi pertiwi. Sebagian besar terbang ke pusat-pusat ekonomi dunia, meninggalkan kemiskinan di sepanjang zamrud khatulistiwa. Seiring dengan pertumbuhan penduduk, pembukaan wilayah untuk pemukiman dan pertanian adalah keniscayaan. Itulah sebabnya aktivitas pembukaan hutan ilegal harus ditertibkan untuk kepentingan ketersediaan lahan pada masa depan.

Menyelamatkan konservasi

Di sisi lain konservasi alam menjadi produk gagal. Meski kegiatan konservasi alam di Indonesia sudah jadi bisnis jutaan dollar dan melibatkan dunia internasional, laju deforestasi tak berkurang.

Presiden Yudhoyono baru saja menandatangani perjanjian hibah 1 miliar dollar AS dengan Pemerintah Norwegia sebagai bagian dari itikad implementasi skema pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD) (Kompas, 29/5). Akankah dana ini menguap tak berbekas atau menjadi titik awal yang lebih baik untuk konservasi hutan alam?

Sebagai langkah awal, kesepakatan moratorium pembukaan lahan gambut dan hutan alam sebagai bagian dari paket kerja sama harus diapresiasi. Menguatkan aktivitas konservasi untuk menjaga keutuhan area-area konservasi juga harus dilakukan. Namun, apakah usaha ini akan berkelanjutan? Di sinilah tantangannya. Kegiatan konservasi yang berkelanjutan dapat menghadang laju kehilangan kekayaan jenis.

Laju kehilangan habitat yang tinggi telah menyebabkan banyak komponen biodiversitas punah. Padahal, konservasi biodiversitas bisa bermakna spiritual dan estetika. Keanekaragaman jenis dapat jadi jembatan transenden spiritualitas manusia. Pengembangan ilmu dan intelektual juga bisa terpenuhi dengan tersedianya ruang-ruang penelitian terhadap kekayaan spesies yang ada. Konservasi biodiversitas juga beralasan praktis. Spesies-spesies liar bisa saja menjadi sumber genetik rekayasa tanaman, sumber pangan, dan obat-obatan. Mengonservasi biodiversitas berarti berinvestasi untuk keselamatan kemanusiaan pada masa depan.

Yansen,

Dosen Kehutanan Universitas Bengkulu;

Australian Leadership Awards Fellow

Source : Kompas, Sabtu, 5 Juni 2010 | 03:05 WIB

Kamis, 03 Juni 2010

Panglima Nayau, Pejuang Lingkungan

NAYAU. (KOMPAS/A HANDOKO)***

NAYAU

Panglima Nayau, Pejuang Lingkungan

Oleh Agustinus Handoko

Usianya sudah 94 tahun, tetapi Panglima Nayau masih bepergian ke beberapa kabupaten di Kalimantan Barat dalam hitungan hari untuk menengahi sengketa tanah adat dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit. Dia tak berniat istirahat sebelum melihat tanah adat di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia bebas dari sengketa.

Tak sulit mendapatkan informasi dari tuturan lisan masyarakat Kalimantan Barat tentang Panglima Nayau. Mereka, terutama generasi tua, bisa menjelaskan dengan singkat ketokohan Nayau.

Hal yang sulit adalah menjumpai Nayau karena kesibukannya bepergian ke berbagai kabupaten di Kalbar. Suatu kebetulan dan boleh disebut keberuntungan ketika bisa menemuinya di sela-sela ritual Gawai Dayak (pesta adat syukuran sehabis panen padi) di Kampung Tapang Sebeluh, Desa Malenggang, Kecamatan Sekayam, Kabupaten Sanggau, Kalbar.

Tokoh-tokoh adat Dayak di Kabupaten Sanggau memang masih menganggap dia tetua, apalagi gelar panglima sudah disandangnya sejak tahun 1971.

”Awalnya saya diangkat menjadi polisi batas ketika terjadi konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia,” cerita Nayau.

Dia adalah salah satu tokoh masyarakat Dayak di perbatasan ketika konfrontasi terjadi. Ia memiliki pengalaman keluar-masuk wilayah Serawak sehingga mendapat kepercayaan menjaga perbatasan. Tugas utama Nayau saat itu menjadi intelijen.

”Tujuh kali saya tertangkap dan ditahan di Serawak, tetapi bisa bebas. Saya sebetulnya sudah beberapa kali dianggap mati oleh para pejuang, juga oleh kesatuan tentara yang menugaskan saya,” katanya.

Bagaimana Nayau bisa berkali-kali membebaskan diri dari tahanan pasukan Malaysia? ”Saya intel, tetapi mereka tak bisa membuktikan kalau saya intel. Saya ke Malaysia menyaru (menyamar) sebagai pedagang atau menemui kerabat,” ceritanya.

Setelah konfrontasi usai, Nayau kembali dipercaya menjadi intelijen saat tentara menumpas gerakan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku) dan Pasukan Gerakan Rakyat Sabah (PGRS) yang tidak bersedia menyerahkan diri.

”Ketika menumpas Paraku, saya yang memetakan pos-pos dan kekuatan musuh di hadapan para komandan dan jenderal yang datang ke perbatasan,” katanya.

Nayau bertugas di sepanjang perbatasan Indonesia-Malaysia antara Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Sintang. Walaupun wilayah tugasnya di kawasan itu, dia juga hafal seluk-beluk perbatasan Indonesia dengan Malaysia di Bengkayang, Sambas, dan Kapuas Hulu.

Pengabdian Nayau itu menghasilkan penghargaan dari Markas Besar Tentara Nasional Indonesia. Pada tahun 1971 ia mendapat gelar Panglima Perang Daerah Perbatasan berpangkat kehormatan pembantu letnan dua sebelum naik menjadi pembantu letnan satu pada tahun 1983.

Sipil

Nayau adalah contoh warga sipil yang nasionalis, mengabaikan rasa takut untuk mengabdi Indonesia. Nayau muda yang sama sekali tak mengenyam pendidikan formal itu pekerja keras. Beberapa tahun sebelum Jepang datang, ia bekerja di perkebunan milik Belanda.

Nayau dan warga di perbatasan tak begitu tahu kapan Soekarno dan Muhammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Pasalnya, Belanda dan Inggris masih menancapkan kekuasaannya di Kalimantan.

”Setelah Perang Dunia II selesai, saya bekerja di perkebunan di Malaysia. Kebanyakan dari kami, warga di perbatasan, tak tahu apakah sudah merdeka atau belum.”

”Saya belajar baca, tulis, dan berhitung ketika bekerja di perkebunan. Kami tak punya uang untuk belajar di sekolah umum,” katanya. Selama itu pula Nayau belajar memahami seluk-beluk hutan.

Ia mempelajari wilayah perbatasan yang dikuasai Inggris (kini wilayah Malaysia) dan Belanda. Pengetahuan inilah yang tak dimiliki banyak orang hingga Nayau dipercaya menjadi intelijen saat konfrontasi dengan Malaysia dan penumpasan Paraku-PGRS.

Kerusuhan

Nama Nayau kembali diperbincangkan saat pecah kerusuhan antaretnis di Kalbar pada tahun 1997. Kerusuhan yang mengatasnamakan etnis Dayak dan Madura itu menjadi salah satu lembar kelam sejarah negeri ini.

”Saya orang Dayak, tetapi saya tidak setuju kekerasan semacam itu,” tuturnya. Ia berperan penting menyelamatkan ratusan warga Madura di Kabupaten Sanggau yang dikejar-kejar sebagian orang Dayak.

”Kita sesama warga Indonesia. Mereka juga saudara kita,” ujarnya. Ketika itu, ia membawa warga Madura yang berdiam di sekitar perbatasan untuk menyingkir ke hutan.

”Dari Sanggau, mereka saya ungsikan ke Sintang, dan saya menjamin keamanan mereka. Kalau ada apa-apa dengan mereka, saya bilang, saya yang akan bertanggung jawab,” katanya.

Selain melindungi warga Madura secara langsung, ia juga berperan penting dalam merangkul kelompok-kelompok Dayak untuk berdamai.

Lingkungan

Hampir dua dekade ini Nayau menjadi pilar penting perjuangan masyarakat Dayak mempertahankan hak atas tanah dan hutan adat mereka. ”Musuh yang sekarang kami hadapi adalah perusahaan perkebunan yang ingin mencaplok tanah adat,” katanya.

Sudah puluhan kali ia menjadi mediator sekaligus ”diplomat” masyarakat adat dalam bernegosiasi dengan perusahaan perkebunan, terutama di kawasan perbatasan, mulai dari Kabupaten Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sintang, hingga Kapuas Hulu.

Pengetahuannya tentang seluk-beluk hutan, tanah, dan batas di sepanjang wilayah Indonesia-Malaysia menjadi modal penting dalam setiap negosiasi.

”Saya panggil temenggung (tetua adat setempat) dan pihak perusahaan. Kami lihat hak masing-masing, setelah itu pasti ketemu akar persoalannya di mana,” tutur Nayau.

Ia berkeras menjaga hutan di kawasan perbatasan, dengan melestarikan hutan adat. ”Kekuasaan” sebagai tokoh dan tetua adat Dayak digunakan Nayau untuk memengaruhi warga agar tak mengusik hutan yang tersisa.

Dalam usianya yang renta dan semua pengabdian itu, Nayau tetap bersahaja walaupun hidup dalam keterbatasan. Rumahnya di Tapang Sebeluh berdinding papan. Jalan sepanjang 40 kilometer dari ibu kota kecamatan ke rumah itu berupa jalan tanah yang tak bisa dilalui kendaraan saat hujan.

Pangkat tituler pembantu letnan satu yang disandang, seperti yang tertempel dalam seragam hijaunya, adalah penghiburannya. Pensiun tak dia peroleh karena sebagian surat untuk mengurus pensiun terbakar. Dengan insentif Rp 400.000 dari pemerintah, Nayau menjalani tugasnya sebagai pengabdi bangsa dari satu rezim ke rezim lain.

NAYAU

• Lahir: Sanggau, Kalimantan Barat, tahun 1916
• Istri: Munaih (50)
• Anak: 5 orang
• Cucu: 30 orang
• Cicit: 14 orang
• Penghargaan: - Satyalancana Peristiwa Gerakan Operasi Militer VIII/Dharmapala - Panglima Perang Pembersihan Paraku-PGRS - Mediator dan Penggagas Perdamaian dalam Kerusuhan Sosial tahun 1997

Sumber : Kompas, Kamis, 3 Juni 2010 | 02:36 WIB

Ada 1 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda

Panji @ Kamis, 3 Juni 2010 | 07:56 WIB
Terima kasih banyak keteladanannya!

 

TRANSLATE/TERJEMAH BAHASA

My Blog List

Site Info

Followers

LINGKUNGAN GLOBAL Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template