YANG HOT KLIK DI SINI

Jumat, 30 Juli 2010

Kemusnahan mangrove di pesisir utara Jawa dan Bali di ambang pintu

Mangrove Jawa dan Bali, 68 Persen Rusak

Barisan ajir (batang bambu untuk penopang bibit mangrove) dengan jarak tanam yang rapat terendam sepanjang puluhan kilometer di sepanjang garis pantai sebelah barat muara Kali Rambatan Baru, Desa Lamaran Tarung, Kecamatan Cantigi, Indramayu, Jawa Barat, Minggu (8/6). Tidak tampak satu pun bibit mangrove yang tertanam menempel pada ajir. Lokasi tersebut sebenarnya bukan habitat mangrove karena bukan lahan pasang surut. (KOMPAS/LASTI KURNIA)***

JAKARTA - Kemusnahan mangrove di pesisir utara Jawa dan Bali di ambang pintu. Data yang dirilis LSM lingkungan KIARA menyebutkan, kerusakan hutan mangrove mencapai 68 persen dari periode 1997-2003. Sebagai area pemijahan dan asuhan bagi ikan, udang, dan kerang-kerangan, mangrove memberi arti penting bagi nelayan dan masyarakat pesisir. Untuk itu, pemerintah perlu menyegerakan upaya pemulihan kawasan pesisir.

"Rusaknya ekosistem mangrove disebabkan oleh limbah antropogenik daratan di sekitar pantai, khususnya limbah industri. Juga akibat konversi lahan pantai untuk kepentingan industri, kawasan perniagaan, dan permukiman mewah," kata Abdul Halim, Koordinator Program Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) dalam siaran persnya, Rabu (28/7/2010).

Hingga 2014, Kementerian Kelautan dan Perikanan menargetkan pemulihan kawasan pesisir seluas 1.440 hektare (ha) dari kerusakan lingkungan di sepanjang pantai nasional. Dari target 2014 seluas 1.440 ha, diharapkan capaian per tahunnya mencapai 401,7 persen.

"Besaran target yang dipatok harus dibarengi dengan kesungguhan Menteri Kelautan dan Perikanan dalam melaksanakan program. Kesungguhan ini bisa diwujudkan jika program yang dijalankan tidak berpangku pada ketersediaan anggaran semata, melainkan pada tujuan mulia program, yakni mengembalikan fungsi-fungsi ekologis dan sosial ekosistem pesisir. Dalam kondisi inilah, partisipasi nelayan dan masyarakat pesisir penting untuk dilibatkan," papar Halim.

Pada prinsipnya, mangrove adalah daerah pemijahan dan asuhan bagi ikan, udang, dan kerang-kerangan. Daerah pesisir yang memiliki mangrove juga berfungsi sebagai daerah penyangga atau filter akibat pengaruh daratan, seperti penahan sedimen dan melindungi pantai dari erosi, serta gelombang dan angin kencang.

"Hilangnya mangrove akibat konversi dan proyek reklamasi juga turut memusnahkan hutan mangrove di wilayah pesisir. Bahkan, di Langkat, Sumatera Utara, kami menemui beralihnya hutan mangrove menjadi perkebunan sawit. Inilah bentuk penghancuran hutan mangrove," jelas Halim. (WAH) ***

Source : Kompas.com, Rabu, 28 Juli 2010 | 12:12 WIB

Ada 4 Komentar Untuk Artikel Ini. Kirim Komentar Anda

  • bejo sumringah

Jumat, 30 Juli 2010 | 09:44 WIB

lindungi alam merupakan salah satu cara melindungi diri sendiri, salam Budaya.

Balas tanggapan

  • Oki lukito indomaritim

Kamis, 29 Juli 2010 | 17:04 WIB

Ribuan mangrove mudah ditanam tetapi karena pemilihan lokasi tidak tepat dan jenisnya yang salah, hanya menghamburkan uang dan tenaga, salam bahari

Balas tanggapan

  • ali sarton

Rabu, 28 Juli 2010 | 16:50 WIB

tingkatkan pengawasan, memperhatikan masyarakt sekitarnya, ppemmberihan penyuluha, dan tindakan yang positif, mungkin bisa memperkecil perusakan mangrove

Balas tanggapan

  • ali sarton

Rabu, 28 Juli 2010 | 16:47 WIB

mari kita lindungi mangrove kita,,,saatnya kita bersinergi antara kehutanan dengan kelautan kearah yang lebih baik untuk hasil yang lebih maksimal........(fahutan IPB)

Balas tanggapan

Senin, 12 Juli 2010

Harimau Terancam Punah


Harimau Terancam Punah

Seekor harimau menyeberangi kali kecil di Sri Racha, kebun binatang khusus harimau di Provinsi Chonburi, Thailand, 18 November 2004. Pemerintah Thailand harus mengambil tindakan taktis untuk mempertahankan harimau di wilayah Mekong Besar, Asia Tenggara, dari kepunahan. Di wilayah tersebut jumlah harimau turun drastis lebih dari 70 persen selama 12 tahun terakhir. Demikian diutarakan pihak World Wildlife Fund (WWF) pada Selasa (26/1). Populasi harimau liar di Kamboja, Laos, Thailand, Vietnam, dan Myanmar kini tinggal 350, padahal pada 1998 masih berjumlah 1.200 ekor. (Foto:AFP/Saeed Khan)***

Source : Kompas, Rabu, 27 Januari 2010

Menhut Ancam Mencabut Izin


Danau bekas penggalian tambang batu bara di RT 25 Kelurahan Sempaja Selatan, Kecamatan Samarinda Utara, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, Selasa (12/1). Keberadaan danau tambang itu mengakibatkan permukiman warga lebih sering kebanjiran. (Foto:Kompas/Ambrosius Harto)***

Menhut Ancam Mencabut Izin

Tim Pengawas Pemerintah Langsung ke Lokasi

JAKARTA, Lingkungan Global - Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menegaskan, dalam waktu satu hingga dua minggu ke depan, paling lambat satu bulan, ia akan mendatangi penambang yang tidak melakukan reklamasi lahan bekas tambang mereka.

”Lihat saja di Bangka Belitung, di Kalimantan, di Papua, banyak sekali hutan yang rusak oleh mereka. Jika mereka tidak melakukan reklamasi, izin tambang mereka akan kami cabut,” ujar Zulkifli seusai meresmikan Taman Wisata Alam Angke Kapuk di Jakarta, Senin (25/1), menjawab pertanyaan pers tentang kerusakan lingkungan yang diakibatkan eksploitasi lahan tambang oleh pengusaha pertambangan batu bara di Kalimantan (Kompas, 25/1).

Zulkifli yang belum genap 100 hari menjabat menteri kehutanan (menhut) mengatakan, ada 169 pemegang izin tambang yang ditengarai nakal. Mereka menambang hingga ke wilayah hutan konservasi dan hutan lindung. ”Kami tidak main-main (mengenai) masalah ini. Setiap provinsi harus memiliki wilayah hutan seluas 30 persen. Jika wilayah hutan ini mereka rusak, maka mereka akan berhadapan dengan hukum,” kata Zulkifli.

Menyangkut sinyalemen bahwa kerusakan lingkungan di kawasan pertambangan dipicu oleh tumpang tindih perizinan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan dan pemerintah daerah setempat, Kepala Pusat Informasi Kehutanan Kementerian Kehutanan Masyhud MM, kemarin, menjelaskan tiga hal. Pertama, Menteri Kehutanan sesuai dengan ketentuan tidak pernah menerbitkan izin pinjam pakai kawasan hutan pada kawasan hutan konservasi. Kedua, izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan diberikan sepanjang memenuhi ketentuan yang berlaku. ”Dengan demikian, tidak setiap kuasa pertambangan yang diterbitkan oleh bupati akan memperoleh izin pinjam pakai. Ketiga, kegiatan pertambangan yang berada di luar kawasan hutan bukan kewenangan Menteri Kehutanan,” kata Masyhud.

Tim pengawas

Pada hari yang sama, Senin kemarin, Deputi Menteri Lingkungan Hidup Bidang Tata Lingkungan Hermien Rosita di Jakarta menyatakan, tim pengawas dari Kementerian Lingkungan Hidup, Senin, langsung dikirim ke wilayah Kalimantan Selatan (Kalsel) untuk menyelesaikan masalah kerusakan lahan akibat kegiatan tambang batu bara. Meskipun sebagian besar perizinan kuasa penambangan diberikan pemerintah daerah (pemda), pemerintah pusat tetap berhak memberikan sanksi.

Selain tim pengawas dari pemerintah pusat, menurut Hermien, tim pengawas regional juga diturunkan untuk klarifikasi persoalan kerusakan lingkungan akibat tambang di wilayah Kalimantan Timur (Kaltim).

Hermien mengatakan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Pasal 77, Menteri Lingkungan Hidup dapat menjatuhkan sanksi administratif jika pemda secara sengaja tidak menerapkan sanksi bagi pelanggaran serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan.

Tidak mau mereklamasi

Operasi penambangan batu bara di Kalsel dan Kaltim kini meninggalkan lubang-lubang raksasa. Lubang-lubang itu tak hanya ditinggalkan oleh para penambang yang memiliki izin kuasa pertambangan, tetapi juga perusahaan pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B).

Data yang dihimpun Kompas dari Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kalsel menyebutkan, kegiatan reklamasi tambang di Kalsel hingga Oktober 2009 mencapai 3.132 hektar (ha) dari 20.000 ha areal bukaan tambang. Reklamasi itu dilakukan 16 perusahaan pemegang PKP2B. Artinya, masih ada 16.868 ha yang belum direklamasi.

Kepala BLHD Kalsel Rachmadi Kurdi, pekan lalu, mengungkapkan, ada dua perusahaan pemegangan izin PKP2B yang menyatakan tidak sanggup menutup sejumlah lubang tambang. Keduanya adalah PT Adaro Indonesia dan PT Arutmin Indonesia.

”Kami tetap menahan pemberian amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) untuk peningkatan produksi batu bara perusahaan bersangkutan apabila tidak ada upaya yang serius untuk menutup lubang-lubang tambang tersebut. Kami sudah minta perusahaan-perusahaan mengurangi jumlah lubang yang ditinggalkan,” kata Rachmadi.

Zainuddin Jr Lubis, anggota staf humas PT Arutmin Indonesia, yang dihubungi secara terpisah, mengatakan, dirinya belum mendapat penjelasan dari pimpinan terkait dengan tidak bisa direklamasinya 17 lubang tambang itu. Namun, pihak Arutmin sebagai mitra pemerintah tetap akan memerhatikan arahan dari BLHD Kalsel untuk menangani lubang-lubang itu.

Tidak lapor

Khusus menyangkut pemegang izin kuasa pertambangan, Rachmadi mengakui, BLHD Kalsel kesulitan mendapatkan data pasti berapa besar tambang yang ditinggal. Hal ini terjadi karena pemerintah kabupaten yang mengeluarkan izin tersebut tidak melaporkannya ke provinsi. Di satu sisi, jumlah tenaga pengawasan terhadap kegiatan tambang di daerah terbatas.

Alasan yang sama juga dikemukakan Kepala Bidang Pertambangan Umum pada Dinas Pertambangan Kaltim Frediansyah. Ia menjelaskan, pihaknya belum memiliki laporan data bekas tambang yang belum dan yang sudah direklamasi.

Sambudi, pengusaha batu bara di Kutai Kartanegara, Kaltim, menyatakan, pihaknya kini tidak memberikan dana jaminan reklamasi dalam kegiatan penambangan kepada pemda. Namun, perusahaannya tetap wajib mereklamasi lubang tambang yang telah selesai digali.

Pejabat Pelaksana Bupati Kutai Kartanegara Sulaiman Gafur mengatakan, para pemilik izin kuasa pertambangan yang melakukan kegiatan dari tahap eksplorasi ke eksploitasi, wajib menyerahkan dana jaminan reklamasi yang langsung disetorkan ke kas negara. ”Setahu saya, paling kecil jaminan reklamasi tersebut mencapai Rp 500 juta,” katanya.

Di Kalimantan, izin kuasa pertambangan yang dikeluarkan para bupati mencapai 2.047 buah. Kalsel memiliki 400-578 buah atau menempati urutan kedua setelah Kaltim yang memiliki 1.180 kuasa pertambangan. Produksi batu bara per tahun di Kalsel 80-100 juta ton dan Kaltim 100,91 juta ton (Kompas, Senin, 25/1).

Sejumlah lembaga swadaya masyarakat bidang lingkungan, baik di Kalsel maupun di Kaltim, membenarkan keengganan perusahaan mereklamasi tambang karena pengawasan yang minim. (bro/ful/why/wer/naw/ har/ong/hrd/ARN/AHA)***

Source : Kompas, Selasa, 26 Januari 2010 | 03:25 WIB

Ada 2 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda

suraryo @ Selasa, 26 Januari 2010 | 07:23 WIB
Kepada Kompas, tolong issue kerusakan lingkungan oleh penambang terus dimuat, biar Presiden dan DPR tergerak untuk kerja serius.

Max @ Selasa, 26 Januari 2010 | 05:36 WIB
Tolong Kompas bikin foto udara utk semua tambang terbuka dr barat ke timur dan muat fotonya di Kompas. Tdk ada yg reklamasi bekas galian.

Kawasan Konservasi Pun Dikeruk

Penambangan Memprihatinkan

Kawasan Konservasi Pun Dikeruk

SAMARINDA - Praktik penambangan batu bara di Kalimantan saat ini sudah sangat memprihatinkan. Tak hanya hutan produksi yang habis digarap secara membabi buta, tetapi juga kawasan konservasi dan lahan pertanian masyarakat.

Pantauan Kompas selama sepekan terakhir di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan menunjukkan, penambangan di kedua provinsi itu semrawut dan tidak terkontrol. Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Soeharto di Kaltim dan Hutan Lindung Pegunungan Meratus di Kalsel, yang mestinya dilindungi, pun tak luput dari operasi penambangan batu bara.

Di Tahura, lahan yang digarap penambang justru yang masuk kawasan hutan Pusat Penelitian Hutan Tropis Universitas Mulawarman (PPHT Unmul), Samarinda, seluas 40 hektar. Pengelola PPHT mengatakan, pihaknya tak berdaya karena izin penambangan dikeluarkan Kementerian Kehutanan, dengan alasan sebelum Menteri Kehutanan menetapkan batas Tahura dengan Surat Keputusan Nomor 577 Tahun 2009, lokasi itu berada di luar kawasan hutan konservasi tersebut.

Yang lebih menyedihkan, lanjut Chandradewana Boer, Direktur PPHT Unmul, lahan Unmul lainnya seluas 51.000 hektar, yang dirancang untuk pembangunan Kompleks Laboratorium Rumah Kaca di Telukdalam, Kecamatan Tenggarong Seberang, Kabupaten Kutai Kartanegara, pun tak lepas dari ketamakan penambang. Pelakunya, kontraktor yang dipercaya untuk membangun proyek tersebut dan tak memiliki kuasa pertambangan.

”Kami memercayakan proyek itu kepada dua kontraktor. Ternyata, ketika mereka mengetahui kandungan batu bara di lahan itu cukup banyak dan bagus, mereka menggarap tambangnya lebih dulu,” kata Boer, Sabtu (23/1).

Pengamat ekonomi lingkungan dari Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Udiansyah, mengungkapkan, kondisi Hutan Lindung Pegunungan Meratus lebih mengkhawatirkan lagi. Di hutan lindung tersebut tak cuma ada banyak pemilik kuasa pertambangan, tetapi juga bertebaran lubang besar yang batu baranya sudah habis dikeruk.

”Di kawasan tersebut terdapat 299 kuasa pertambangan. Artinya, ada 299 pihak yang diberi izin menambang batu bara di Hutan Lindung Pegunungan Meratus. Ironisnya, hanya beberapa kuasa pertambangan saja yang meminta izin pinjam pakai kawasan hutan dari Menteri Kehutanan,” kata Udiansyah.

Izin lainnya, lanjut Udiansyah, dikeluarkan bupati setempat karena yang bersangkutan tidak tahu bahwa lokasi yang diizinkan untuk ditambang itu berada di kawasan hutan lindung.

Menurut catatan Kompas, selama enam tahun terakhir (sampai 2009), di empat provinsi di Kalimantan saat ini ada 2.047 kuasa pertambangan. Kaltim berada di peringkat pertama yang mengeluarkan kuasa pertambangan, yakni 1.180 kuasa pertambangan, disusul Kalsel (400- 578), Kalimantan Tengah (427), dan Kalimantan Barat (40).

Jika luas wilayah satu kuasa pertambangan sekitar 2.000 hektar, lahan yang sudah dikapling untuk pertambangan itu berarti mencapai 4,09 juta hektar, lebih luas dari daratan Provinsi Kalsel yang 3,75 hektar.

Tentang banyaknya kuasa pertambangan di Kaltim, Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak mengatakan, pihaknya tak bisa berbuat banyak mengingat Menteri Kehutanan dan kepala daerah tingkat dua (bupati/wali kota) memiliki kewenangan mengeluarkan kuasa pertambangan.

Pernyataan Awang setidaknya diperkuat oleh fakta penambangan batu bara di Samarinda. Saat ini sekitar 70 persen luas wilayah kota itu (71.823 hektar) habis dikapling sebagai kawasan pertambangan. Sebagian sudah jadi kolam raksasa yang ditinggalkan pengeruknya. Jika hujan turun, air pun memenuhi kolam tersebut, bahkan melimpah dan menggenangi permukiman.

Warga di Sempaja Selatan, Kecamatan Samarinda Utara, Samarinda, merupakan salah satu korban pertambangan tak bertanggung jawab itu. ”Kami sudah sangat terganggu dengan penambangan batu bara di sekitar ini.

Permukiman kami hanya sekitar 25 meter dari lubang bekas tambang. Akibat lubang itu, perumahan kami sering diterjang banjir,” kata Karnain, Ketua RT 25, Kelurahan Sempaja Selatan.

Petani Desa Separi dan Bangunrejo, di Kecamatan Tenggarong Seberang, Kutai Kartanegara, pun mengaku pertanian mereka terganggu oleh aktivitas pertambangan. ”Kami sering gagal panen karena air limbah tambang (batu bara) masuk ke sawah kami. Karena itu, tidak sedikit petani di sini yang akhirnya menjual sawah mereka ke pemegang kuasa pertambangan. Tapi, harga jualnya lumayan tinggi,” papar beberapa petani Desa Separi yang ditemui Kompas pekan lalu.

Mereka juga mengatakan, tak sedikit lahan sawah yang dibeli pemegang kuasa pertambangan itu kini sudah berubah jadi kawasan pertambangan batu bara.

Di Kalsel, selain Hutan Lindung Pegunungan Meratus, kerusakan parah akibat penambangan batu bara ditemukan di sejumlah desa. Sebagian jalan di beberapa desa, misalnya, hilang ”tertelan” kawasan tambang. Bahkan, ada jalan yang sudah diaspal terpotong akibat jalan itu digarap pemegang kuasa pertambangan (dijadikan lahan galian tambang).

Warga yang tinggal di Kecamatan Lok Paikat (antara Desa Parandakan menuju ke Miawa) dan Kecamatan Siani, Kabupaten Tapin, merupakan contoh korban ”jalan hilang”. Kini mereka tak lagi bebas berlalu lalang di jalan desa akibat sebagian jalan terkait sudah masuk kawasan tambang.

Di jalan-jalan seperti itu warga selain harus berhati-hati terhadap kendaraan proyek yang lewat, tak jarang pula mereka mesti minta izin untuk lewat. Hal serupa terjadi di Kecamatan Pengaron dan Sungai Pinang di Kabupaten Banjar.

Suria Dharma dari Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Unmul, mengatakan, selain lingkungan rusak, pertambangan terbuka (open pit) seperti yang banyak ditemukan di Kaltim, juga mengubah fungsi kawasan. ”Pembabatan hutan memusnahkan 7-12 ton karbon organik setiap tahun. Karbon itu amat diperlukan mikroorganisme untuk keberlangsungan suatu ekosistem,” katanya mengingatkan.

Pernyataan senada dikemukakan Udiansyah. Menurut dia, penambangan batu bara yang berlangsung selama ini tak banyak memajukan daerah. ”Dari nilai produksi batu bara Kalsel yang mencapai 22 triliun (untuk produksi 80-100 ton per tahun), yang menjadi pendapatan asli daerah tidak mencapai Rp 1 triliun,” ujarnya.

Meski demikian, kalangan pengusaha tetap berpendapat bahwa yang mereka kerjakan memberi efek positif. ”Tambang menyerap tenaga kerja dan menggerakkan ekonomi warga, seperti munculnya warung dan jasa sewa tempat tinggal,” kata Maskur Achmad, Manajer Proyek PT Satria Bahana Sarana, kontraktor pertambangan batu bara di Kecamatan Sangasanga, Kabupaten Kutai Kartanegara. (BRO/AHA/WER/FUL)***

Source : Kompas, Senin, 25 Januari 2010 | 03:59 WIB

Hutan Mangrove Jadi Kebun Kelapa Sawit

KONVERSI LAHAN

Hutan Mangrove Jadi Kebun Kelapa Sawit

BANDA ACEH - Belasan ribu hektar hutan mangrove di Kabupaten Aceh Tamiang, Nanggroe Aceh Darussalam, berubah menjadi perkebunan kelapa sawit, termasuk yang berada di kawasan lindung.

Koordinator Koalisi untuk Laut Aceh (Kuala) M Arifsyah Nasution, di Banda Aceh, Minggu (24/1), mengatakan, konversi tanaman bakau sudah berlangsung beberapa tahun terakhir.

”Sebagian dilakukan perusahaan kelapa sawit. Ada juga yang dilakukan masyarakat,” katanya.

Nasution mengatakan, dari 20.000 hektar kawasan mangrove di Kabupaten Aceh Tamiang, sekitar 85 persen (17.000 hektar) sudah ditanami kelapa sawit. Masyarakat di sekitar kawasan tersebut rata-rata mengelola 2 hektar kebun kelapa sawit.

Arifsyah mengatakan, perusakan kawasan mangrove di Kabupaten Aceh Tamiang, yang merupakan aset ekosistem khas pesisir di Aceh, baik yang berstatus hutan lindung seluas 5.700 hektar maupun hutan produksi tetap seluas 15.900 hektar, masih berlangsung tanpa penanganan yang berarti.

Menurut dia, kawasan mangrove yang masuk dalam hutan lindung tidak boleh dikonversi ke dalam bentuk lain.

Pemetaan ulang

Masalah tapal batas kawasan, menurut Arifsyah, menjadi penting dan perlu dikaji oleh pemerintah provinsi maupun kabupaten. Harus segera ada pemetaan ulang kawasan lindung dan kawasan produksi.

”Bila tidak, kawasan mangrove di Aceh Tamiang akan jadi sejarah,” katanya.

Masalah tapal batas antarkawasan, menurut Kepala Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) Fauzan Azima, menjadi masalah pelik saat ini. Saat ini puluhan ribu hektar lahan KEL berubah menjadi perkebunan kelapa sawit, seperti halnya kawasan mangrove di Aceh Tamiang.

T Yacob Ishadamy, Ketua Pusat Data Aceh, dalam beberapa kali pertemuan mengatakan, pihaknya sedang melakukan pendataan ulang mengenai lahan hak guna usaha serta lahan lainnya yang dinilai memiliki potensi ekonomi.

Hal itu untuk mengatur kembali tata guna lahan perkebunan untuk menunjang program Aceh Hijau yang dicanangkan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf. (MHD)***

Source : Kompas, Senin, 25 Januari 2010 | 03:55 WIB

Liana Bratasida : Tantangan Menuju Kesepakatan

Warga Nepal ambil bagian dalam rapat kabinet di Dataran Kalapattar di dekat Mount Everest, 4 Desember 2009, pada ketinggian 5.262 meter di atas permukaan laut. Rapat ini untuk menegaskan, dampak pemanasan global di Himalaya di mana lapisan es semakin menipis. (AFP/PRAKASH MATHEMA)***

PERUBAHAN IKLIM

Tantangan Menuju Kesepakatan

Oleh Liana Bratasida

Banyak negara ingin melihat kesuksesan di Kopenhagen, Denmark, tetapi ternyata pertemuan yang dikenal dengan COP 15 itu belum berhasil mencapai kesepakatan untuk menetapkan aksi bersama yang mengikat secara hukum.

Harapan itu dilatari kondisi ancaman dampak perubahan iklim yang jauh dari terhindarkan.

Meskipun demikian, ada sisi positif, yaitu keterlibatan banyak kepala negara/pemerintahan, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang ikut menyusun Copenhagen Accord sebagai suatu upaya melakukan terobosan terhadap kebuntuan proses negosiasi.

Hasil yang sangat mengecewakan adalah tidak tercapainya kesepakatan mengenai periode komitmen Protokol Kyoto pasca-2012 sebagai satu-satunya instrumen yang mengikat negara maju secara hukum untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK).

Copenhagen Accord juga tidak menghasilkan suatu kesepakatan komprehensif terkait aksi kerja sama jangka panjang. Dipimpin Amerika Serikat yang bergabung dengan negara-negara berkembang besar, seperti Brasil, Afrika Selatan, India, dan China, akhirnya berhasil disepakati Copenhagen Accord yang di dalamnya memuat, antara lain, komitmen penurunan emisi GRK berdasarkan kesanggupan setiap negara maju serta referensi terhadap pendanaan sebesar 30 miliar dollar AS untuk aksi mitigasi dan adaptasi di negara berkembang selama periode 2010-2012 dan komitmen memobilisasi 100 miliar dollar AS per tahun mulai tahun 2020.

Negara berkembang diminta menunjukkan transparansi atas aksi mitigasinya melalui National Communication yang dilaporkan setiap dua tahun sekali. Adapun aksi mitigasi dengan dukungan pendanaan, teknologi, dan peningkatan kapasitas dari negara maju dilaporkan melalui ”Registry” di mana akan dilakukan secara measurable, reportable, verifiable (MRV) berdasarkan panduan internasional.

Copenhagen Accord dijadikan catatan pertemuan sehingga sifatnya hanya sebagai suatu keinginan politis yang tidak mengikat secara hukum. Status resmi dan program tindak lanjutnya dipertanyakan banyak negara pihak karena ketidakjelasan prosedural pada saat-saat terakhir konferensi ditutup. Beberapa negara berkembang lainnya menganggap Copenhagen Accord merupakan suatu proses di luar Kerangka Kerja Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC).

Sejauh ini baru 29 negara yang menandatangani Copenhagen Accord. Negara pihak lainnya, yang belum menandatangani tetapi berminat mengasosiasikan diri, perlu mengirimkan surat secara resmi kepada Sekretariat UNFCCC.

Jalan terjal

Tidak penting lagi pendapat ”melihat gelas setengah kosong” atau ”melihat gelas setengah isi”. Tidak ada jaminan bahwa dalam enam bulan ke depan, saat pertemuan di Bonn, Jerman, akan ada kesepakatan. Diperkirakan, justru akan pertemuan memicu debat berkepanjangan. Padahal, periode pertama Protokol Kyoto akan berakhir 2012. Banyak hal masih harus diklarifikasi dan disepakati sebelum Copenhagen Accord dapat dioperasionalkan dan dijadikan rujukan sebagai suatu terobosan mempercepat proses negosiasi selanjutnya.

Beberapa elemen penting yang merefleksikan harapan dan keinginan semua negara sudah ada di Copenhagen Accord walaupun belum lengkap. Contohnya adalah menjaga agar kenaikan temperatur global tidak melebihi 2 derajat celsius, bahkan ada kajian yang direncanakan pada 2015 agar kenaikan temperatur dijaga sekitar 1,5 derajat celsius. Prinsip common but differentiated responsibilities and respective capabilities masih tercantum di dalamnya walaupun dipersempit cara perbedaannya.

Selain itu, juga aksi adaptasi menjadi prioritas yang seimbang dengan aksi mitigasi.

Pendanaan jalur cepat, seperti yang disebutkan sebelumnya, memberikan sedikit harapan bagi negara berkembang. Namun, pengaturan institusi pengelolanya di Copenhagen Green Climate Fund, prosedur untuk mengakses maupun cara pendistribusiannya masih harus dibahas dan disepakati. Selain itu, pentingnya peran REDD+ berikut mekanisme untuk memobilisasi pendanaannya serta pemberian insentif juga diakui.

Hasil positif lainnya adalah pencantuman perlunya pembentukan mekanisme teknologi untuk mengakselerasi pengembangan dan transfer teknologi agar dapat memfasilitasi aksi mitigasi dan adaptasi.

Copenhagen Accord tidak mencantumkan kesepakatan penurunan emisi GRK dalam jangka menengah 25-40 persen pada 2020 dan jangka panjang sebesar 80-90 persen pada 2050. Selain itu, landasan tahun untuk target penurunan emisi GRK juga berbeda-beda sehingga sukar dilakukan perbandingan, seperti tercantum di Bali Action Plan. Mengingat status Copenhagen Accord tidak mengikat, maka bagaimana ketentuan penaatan (compliance) dapat dipenuhi negara maju, seperti yang ada di Protokol Kyoto?

Ada beberapa pilihan. Pertama, dengan langsung mengasosiasikan diri tanpa syarat. Kedua, mengasosiasikan diri dengan beberapa klarifikasi soal kewajiban yang harus ditaati di kemudian hari dan jaminan bantuan untuk peningkatan kapasitas SDM, teknologi dan bantuan pendanaan.

Ketiga, menunggu dan melihat perkembangan lebih dahulu karena batas waktu submisi tanggal 31 Januari 2010 adalah soft deadline. Keempat, tidak mengasosiasikan diri sama sekali atau menolaknya. Pilihan terbaik bagi Indonesia adalah menyikapi secara arif dan bijaksana dengan mempertimbangkan strategi ke depan terkait tindak lanjut Copenhagen Accord demi pembangunan yang pro-poor, pro-job, dan pro-environment”.

Pertemuan COP 16 di Meksiko pada Desember 2010 akan menentukan keberlanjutan dari Protokol Kyoto dan status Copenhagen Accord.

Walaupun sulit untuk berpikiran positif dan optimistis, tetapi masih ada secercah harapan untuk melangkah maju jika ada kemauan politis dari semua negara untuk mengatasi masalah perubahan iklim global.

Liana Bratasida,

Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup

Bidang Lingkungan Global dan Kerja Sama Internasional/

Ketua SBI-UNFCCC 2008-2009

Source : Kompas, Senin, 25 Januari 2010 | 03:32 WIB

 

TRANSLATE/TERJEMAH BAHASA

My Blog List

Site Info

Followers

LINGKUNGAN GLOBAL Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template