NAYAU
Panglima Nayau, Pejuang Lingkungan
Oleh Agustinus Handoko
Usianya sudah 94 tahun, tetapi Panglima Nayau masih bepergian ke beberapa kabupaten di Kalimantan Barat dalam hitungan hari untuk menengahi sengketa tanah adat dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit. Dia tak berniat istirahat sebelum melihat tanah adat di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia bebas dari sengketa.
Tak sulit mendapatkan informasi dari tuturan lisan masyarakat Kalimantan Barat tentang Panglima Nayau. Mereka, terutama generasi tua, bisa menjelaskan dengan singkat ketokohan Nayau.
Hal yang sulit adalah menjumpai Nayau karena kesibukannya bepergian ke berbagai kabupaten di Kalbar. Suatu kebetulan dan boleh disebut keberuntungan ketika bisa menemuinya di sela-sela ritual Gawai Dayak (pesta adat syukuran sehabis panen padi) di Kampung Tapang Sebeluh, Desa Malenggang, Kecamatan Sekayam, Kabupaten Sanggau, Kalbar.
Tokoh-tokoh adat Dayak di Kabupaten Sanggau memang masih menganggap dia tetua, apalagi gelar panglima sudah disandangnya sejak tahun 1971.
”Awalnya saya diangkat menjadi polisi batas ketika terjadi konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia,” cerita Nayau.
Dia adalah salah satu tokoh masyarakat Dayak di perbatasan ketika konfrontasi terjadi. Ia memiliki pengalaman keluar-masuk wilayah Serawak sehingga mendapat kepercayaan menjaga perbatasan. Tugas utama Nayau saat itu menjadi intelijen.
”Tujuh kali saya tertangkap dan ditahan di Serawak, tetapi bisa bebas. Saya sebetulnya sudah beberapa kali dianggap mati oleh para pejuang, juga oleh kesatuan tentara yang menugaskan saya,” katanya.
Bagaimana Nayau bisa berkali-kali membebaskan diri dari tahanan pasukan Malaysia? ”Saya intel, tetapi mereka tak bisa membuktikan kalau saya intel. Saya ke Malaysia menyaru (menyamar) sebagai pedagang atau menemui kerabat,” ceritanya.
Setelah konfrontasi usai, Nayau kembali dipercaya menjadi intelijen saat tentara menumpas gerakan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku) dan Pasukan Gerakan Rakyat Sabah (PGRS) yang tidak bersedia menyerahkan diri.
”Ketika menumpas Paraku, saya yang memetakan pos-pos dan kekuatan musuh di hadapan para komandan dan jenderal yang datang ke perbatasan,” katanya.
Nayau bertugas di sepanjang perbatasan Indonesia-Malaysia antara Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Sintang. Walaupun wilayah tugasnya di kawasan itu, dia juga hafal seluk-beluk perbatasan Indonesia dengan Malaysia di Bengkayang, Sambas, dan Kapuas Hulu.
Pengabdian Nayau itu menghasilkan penghargaan dari Markas Besar Tentara Nasional Indonesia. Pada tahun 1971 ia mendapat gelar Panglima Perang Daerah Perbatasan berpangkat kehormatan pembantu letnan dua sebelum naik menjadi pembantu letnan satu pada tahun 1983.
Sipil
Nayau adalah contoh warga sipil yang nasionalis, mengabaikan rasa takut untuk mengabdi Indonesia. Nayau muda yang sama sekali tak mengenyam pendidikan formal itu pekerja keras. Beberapa tahun sebelum Jepang datang, ia bekerja di perkebunan milik Belanda.
Nayau dan warga di perbatasan tak begitu tahu kapan Soekarno dan Muhammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Pasalnya, Belanda dan Inggris masih menancapkan kekuasaannya di Kalimantan.
”Setelah Perang Dunia II selesai, saya bekerja di perkebunan di Malaysia. Kebanyakan dari kami, warga di perbatasan, tak tahu apakah sudah merdeka atau belum.”
”Saya belajar baca, tulis, dan berhitung ketika bekerja di perkebunan. Kami tak punya uang untuk belajar di sekolah umum,” katanya. Selama itu pula Nayau belajar memahami seluk-beluk hutan.
Ia mempelajari wilayah perbatasan yang dikuasai Inggris (kini wilayah Malaysia) dan Belanda. Pengetahuan inilah yang tak dimiliki banyak orang hingga Nayau dipercaya menjadi intelijen saat konfrontasi dengan Malaysia dan penumpasan Paraku-PGRS.
Kerusuhan
Nama Nayau kembali diperbincangkan saat pecah kerusuhan antaretnis di Kalbar pada tahun 1997. Kerusuhan yang mengatasnamakan etnis Dayak dan Madura itu menjadi salah satu lembar kelam sejarah negeri ini.
”Saya orang Dayak, tetapi saya tidak setuju kekerasan semacam itu,” tuturnya. Ia berperan penting menyelamatkan ratusan warga Madura di Kabupaten Sanggau yang dikejar-kejar sebagian orang Dayak.
”Kita sesama warga Indonesia. Mereka juga saudara kita,” ujarnya. Ketika itu, ia membawa warga Madura yang berdiam di sekitar perbatasan untuk menyingkir ke hutan.
”Dari Sanggau, mereka saya ungsikan ke Sintang, dan saya menjamin keamanan mereka. Kalau ada apa-apa dengan mereka, saya bilang, saya yang akan bertanggung jawab,” katanya.
Selain melindungi warga Madura secara langsung, ia juga berperan penting dalam merangkul kelompok-kelompok Dayak untuk berdamai.
Lingkungan
Hampir dua dekade ini Nayau menjadi pilar penting perjuangan masyarakat Dayak mempertahankan hak atas tanah dan hutan adat mereka. ”Musuh yang sekarang kami hadapi adalah perusahaan perkebunan yang ingin mencaplok tanah adat,” katanya.
Sudah puluhan kali ia menjadi mediator sekaligus ”diplomat” masyarakat adat dalam bernegosiasi dengan perusahaan perkebunan, terutama di kawasan perbatasan, mulai dari Kabupaten Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sintang, hingga Kapuas Hulu.
Pengetahuannya tentang seluk-beluk hutan, tanah, dan batas di sepanjang wilayah Indonesia-Malaysia menjadi modal penting dalam setiap negosiasi.
”Saya panggil temenggung (tetua adat setempat) dan pihak perusahaan. Kami lihat hak masing-masing, setelah itu pasti ketemu akar persoalannya di mana,” tutur Nayau.
Ia berkeras menjaga hutan di kawasan perbatasan, dengan melestarikan hutan adat. ”Kekuasaan” sebagai tokoh dan tetua adat Dayak digunakan Nayau untuk memengaruhi warga agar tak mengusik hutan yang tersisa.
Dalam usianya yang renta dan semua pengabdian itu, Nayau tetap bersahaja walaupun hidup dalam keterbatasan. Rumahnya di Tapang Sebeluh berdinding papan. Jalan sepanjang 40 kilometer dari ibu kota kecamatan ke rumah itu berupa jalan tanah yang tak bisa dilalui kendaraan saat hujan.
Pangkat tituler pembantu letnan satu yang disandang, seperti yang tertempel dalam seragam hijaunya, adalah penghiburannya. Pensiun tak dia peroleh karena sebagian surat untuk mengurus pensiun terbakar. Dengan insentif Rp 400.000 dari pemerintah, Nayau menjalani tugasnya sebagai pengabdi bangsa dari satu rezim ke rezim lain.
NAYAU
• Lahir: Sanggau, Kalimantan Barat, tahun 1916
• Istri: Munaih (50)
• Anak: 5 orang
• Cucu: 30 orang
• Cicit: 14 orang
• Penghargaan: - Satyalancana Peristiwa Gerakan Operasi Militer VIII/Dharmapala - Panglima Perang Pembersihan Paraku-PGRS - Mediator dan Penggagas Perdamaian dalam Kerusuhan Sosial tahun 1997
Sumber : Kompas, Kamis, 3 Juni 2010 | 02:36 WIB
Panji @ Kamis, 3 Juni 2010 | 07:56 WIB
Terima kasih banyak keteladanannya!
0 komentar:
Posting Komentar