YANG HOT KLIK DI SINI

Rabu, 30 Desember 2009

SURVEI KELAUTAN

Perlu Laboratorium Kelautan di Setiap Provinsi

JAKARTA - Sebagai negara kelautan terbesar di dunia, Indonesia hingga kini kurang mengeksplorasi kawasan lautnya. Di bawah permukaan laut begitu banyak potensi dan fenomena yang perlu diketahui lebih dalam dengan pemetaan.

Karena itu, di setiap daerah, minimal di tingkat provinsi, perlu dibangun laboratorium kelautan, untuk mendukung kegiatan survei dan riset kelautan setempat.

Ini dikatakan Kepala Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) Rudolf W Matindas di Cibinong, Senin (28/12), terkait penyusunan buku Survei dan Pemetaan Nusantara. Buku itu ditulis dalam rangka 40 tahun berdirinya Bakosurtanal.

Menurut dia, saat ini hanya ada tiga laboratorium kelautan, yaitu di Parangtritis (Yogyakarta), Perancak (Bali), dan Ambon (Maluku). Wilayah perairan Indonesia meliputi 70 persen luas wilayah total.

Menurut Matindas, mestinya setiap daerah mendirikan laboratorium kelautan yang didukung pemerintah daerah dan perguruan tinggi setempat agar sumber daya manusianya dapat ditingkatkan untuk melakukan kegiatan penelitian.

Seperti Laboratorium Geospasial Parangtritis—yang dibangun Bakosurtanal, Pemerintah Kabupaten Bantul, Pemerintah Provinsi Yogyakarta, dan Universitas Gadjah Mada. Laboratorium itu melakukan penelitian, antara lain, fenomena gumuk pasir, kehidupan biota pesisir, pengembangan obyek wisata, dan pembuatan peta kawasan itu.

Dari laboratorim kelautan, diharapkan dapat dilakukan penelitian mengeksplorasi kondisi bawah laut. ”Indonesia belum punya peta gunung dan pegunungan di bawah laut,” ujarnya. Pemetaan itu bermanfaat untuk mencari batas landas kontinen yang baru. Survei kelautan juga perlu untuk langkah antisipasi kenaikan permukaan laut akibat perubahan iklim serta memantau potensi tsunami. (YUN)***

Source : Kompas, Rabu, 30 Desember 2009 | 03:33 WIB

Gerhana Bulan Sebagian Terjadi pada Malam Pergantian Tahun

Polisi dan petugas medik memberikan pertolongan kepada korban pingsan dalam simulasi pengamanan perayaan malam Tahun Baru di Pantai Carnaval, Ancol Taman Impian, Jakarta, Selasa (29/12). Simulasi ini diikuti polisi, satuan polisi air, Suku Dinas Kesehatan Jakarta Utara, dan petugas keamanan Ancol. Sekitar 2.000 personel keamanan akan dikerahkan untuk mengamankan kawasan Ancol. (Foto : Kompas/ Totok Wijayanto)***

Waspadai Hujan dan Banjir

Gerhana Bulan Sebagian Terjadi pada Malam Pergantian Tahun

JAKARTA - Gerhana bulan sebagian diperkirakan terjadi pada malam pergantian tahun 2009 ke tahun 2010. Peristiwa ini akan menyebabkan air laut pasang di beberapa wilayah, seperti Jakarta. Akibatnya, apabila malam itu turun hujan lebat, banjir akan terjadi.

Kepala Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim pada Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaludin, Selasa (29/12) di Jakarta, menyatakan, gerhana bulan sebagian di wilayah Indonesia bagian barat dapat dilihat pada 1 Januari 2010 mulai dari pukul 01.53 sampai 02.53.

Pada 15 Januari 2010 juga akan terjadi gerhana matahari cincin yang juga merupakan gerhana matahari sebagian.

Secara terpisah, Kepala Subbidang Informasi Meteorologi pada Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Hary Tirto Jatmiko menyatakan, saat gerhana bulan sebagian terjadi, wilayah Jakarta dan sekitarnya diperkirakan akan diguyur hujan lebat mulai dari siang hingga malam atau dini hari.

Adapun wilayah Indonesia lainnya, berdasarkan prakiraan mingguan BMKG yang berlaku mulai dari 29 Desember 2009 hingga 4 Januari 2010, akan diguyur hujan ringan dan sedang.

Puncak

Menjelang libur malam pergantian tahun, di jalan raya Puncak, Bogor, diberlakukan sistem buka tutup untuk mengurai kemacetan panjang.

Sepanjang Selasa siang, kemacetan panjang terlihat selepas Gerbang Tol Ciawi menuju Puncak. Kemacetan parah terjadi di titik-titik tertentu, seperti di pintu masuk Taman Safari Indonesia dan di Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor.

Jumlah kendaraan yang melintas di Gerbang Tol Ciawi menuju Puncak juga terus meningkat sejak liburan Natal. Data dari PT Jasa Marga menunjukkan, pada Minggu (27/12) kendaraan yang melintas 47.686 unit. Pada Senin (28/12) jumlahnya menjadi 48.608 unit. Pada Selasa jumlahnya diperkirakan meningkat.

Kemacetan di jalur Puncak justru menjadi peluang bagi sejumlah tempat penginapan di daerah itu untuk menggaet pengunjung. Sebab, menurut Executive Assistant Manager Hotel Prioritas Helina Aviani, kendaraan yang terjebak macet dapat memutuskan menginap di tempat terdekat.

Marketing Manager Taman Safari Indonesia I Asep Firmansah menambahkan, kemacetan di Puncak menunjukkan bahwa kawasan tersebut masih diminati wisatawan. Buktinya, semua kamar penginapan di Taman Safari habis dipesan.

Ancol

Sementara itu, sekitar 2.000 polisi dan 325 petugas keamanan telah siap mengamankan malam Tahun Baru di kompleks Ancol Taman Impian. Sebanyak 312.000 orang diperkirakan akan memadati tempat wisata tersebut.

Wakil Kepala Kepolisian Resor Metro Jakarta Utara Ajun Komisaris Besar Suherman Febriyanto mengatakan, polisi yang bertugas mengamankan Ancol adalah gabungan dari Kepolisian Daerah Metro Jaya dan Kepolisian Resor Metro Jakarta Utara.

”Pengamanan akan diperkuat di pintu-pintu masuk,” ucap Suherman, kemarin, seusai acara simulasi pengamanan perayaan malam Tahun Baru di sekitar Pantai Carnaval, Ancol.

Polisi juga akan ditempatkan di pusat-pusat perayaan malam Tahun Baru, yakni Panggung Pantai Carnaval, Panggung Pantai Festival, Pasar Seni Ancol, Pantai Indah, dan beberapa mal.

Dari Bali diberitakan, pada malam pergantian tahun nanti jalan menuju Pantai Kuta akan ditutup untuk kendaraan. Penutupan dilakukan selama sembilan jam yang dimulai sekitar pukul 16.00 Wita.

Kepala Kepolisian Daerah Bali Inspektur Jenderal Sutisna menyatakan, penutupan dilakukan karena, seperti tahun-tahun sebelumnya, ribuan pengunjung akan memadati Pantai Kuta pada malam Tahun Baru hingga keesokan harinya. Tepat pada saat pergantian tahun, mereka akan beramai-ramai menyalakan kembang api sambil meniup terompet sebagai tanda datangnya tahun yang baru. (NAW/ELD/YOP/WIE/AYS)***

Source : Kompas, Rabu, 30 Desember 2009 | 03:10 WIB

Gara-gara Penyegelan Alat Berat, Anggota DPRD Bengkalis Dilaporkan ke Polisi

Alat Berat, Anggota DPRD Dilaporkan ke Polisi

PEKANBARU - Tak terima atas penyegelan tiga ekskavator milik PT Sumatera Riang Lestari atau SRL di lokasi hutan tanaman industri perusahaan itu, di Pulau Rangsang, Kabupaten Meranti, Riau, Minggu (27/12), Muhammad Adil, anggota DPRD Bengkalis, kemarin dilaporkan pihak perusahaan tersebut ke Polda Riau.

”Kami melaporkan Adil ke polisi karena kami merasa tindakannya tidak memiliki dasar hukum. Kalau perusahaan kami bersalah, silakan dilaporkan ke polisi. Kalau anggota DPRD mau bertanya tentang izin, kami bersedia menjelaskannya di gedung DPRD,” ujar Afrizon, juru bicara PT SRL.

Menurut Afrizon, hari Minggu itu Adil datang ke lokasi HTI PT SRL secara tiba-tiba. Saat di lokasi, dia mempertanyakan berbagai macam perizinan dan operasional perusahaan di lapangan.

Karyawan yang merupakan operator alat berat, lanjut Afrizon, menerangkan bahwa dokumen perizinan ada di kantor perusahaan di Pekanbaru. Namun, Adil tidak puas dengan jawaban itu. Dibantu sejumlah warga, ia pun kemudian mengambil kunci alat berat dan merantainya dengan gembok. ”Kunci alat berat itu dibawanya pulang sehingga alat kami tidak dapat digerakkan,” tutur Afrizon.

Hentikan kegiatan

Secara terpisah, Adil menyatakan siap menghadapi laporan PT SRL. Menurut dia, tindakannya murni aspirasi masyarakat yang menghendaki perusahaan tersebut menghentikan kegiatannya merusak hutan gambut di Pulau Rangsang.

Menurut Adil, pertimbangan merantai alat berat PT SRL itu karena ada kekhawatiran tentang kerusakan lingkungan, mengingat sebagian besar areal Pulau Rangsang terdiri dari hutan gambut. Apalagi, PT SRL membuka kawasan gambut sampai ke bibir pantai tanpa memedulikan konservasi lingkungan.

”Pantai Pulau Rangsang memiliki ombak yang besar. Pada musim angin timur seperti sekarang, ombak dapat mencapai ketinggian empat meter. Dengan dibukanya lahan sampai ke bibir pantai, otomatis, abrasi akan semakin besar,” ujar Adil.

Saat meninjau lokasi PT SRL, kata Adil lagi, perusahaan itu sudah membuka hutan gambut untuk membuat kanal selebar 12 meter. Kanal itu hanya berjarak sekitar 150 meter dari pantai.

”Tidak ada aktivitas PT SRL yang seperti itu saja, pantai tersebut sudah abrasi berat. Apalagi kalau pepohonannya ditebangi. Saya memperkirakan, kanal yang mereka bangun akan bersatu dengan laut dalam lima tahun mendatang. Saya akan meminta pemerintah untuk meninjau ulang izin PT SRL,” kata Adil.

Secara geografis, Pulau Rangsang merupakan pulau terluar Indonesia yang berbatasan langsung dengan Selat Malaka. Secara administratif, Pulau Rangsang berada di Kabupaten Meranti yang baru memisahkan diri dari induknya, Kabupaten Bengkalis. Sampai saat ini, Kabupaten Meranti belum memiliki DPRD dan urusan legislasi masih menyatu dengan DPRD Bengkalis. (SAH)***

Source : Kompas, Rabu, 30 Desember 2009 | 03:55 WIB

Kota Palembang Dipastikan Terancam Bencana Banjir

LINGKUNGAN

70 Persen Rawa Hilang di Palembang

PALEMBANG - Sekitar 70 persen dari 22.000 hektar rawa di Palembang beralih fungsi menjadi perumahan. Kota Palembang dipastikan terancam bencana banjir.

Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Palembang, luas rawa tinggal 7.500 hektar. Jika lingkungan tidak direhabilitasi dan pengurukan rawa tidak dihentikan, Walhi khawatir sebagian besar Kota Palembang akan tergenang air di musim hujan.

Dari pantauan, Selasa (29/12), sebagian besar rawa di sepanjang Jalan Soekarno-Hatta, Sukarame, Alang-alang Besar, Palembang, sudah menjadi perumahan, pertokoan, dan perkantoran. Kondisi serupa terjadi di kawasan rawa Jalan Abi Kusno, Kertapati, Palembang. Daerah itu menjadi langganan banjir dalam beberapa tahun terakhir.

Bahkan, banjir di lingkungan RT 33 di Jalan Abi Kusno, pekan lalu, baru surut dalam waktu empat hari. Semakin berkurangnya rawa yang berfungsi sebagai resapan air mengancam Palembang. Sejumlah wilayah di kota itu kini mudah kebanjiran.

”Fakta ini sangat ironis. Pemkot Palembang tidak mampu melestarikan potensinya,” kata Direktur Walhi Palembang Anwar Sadat. Dia menyatakan, Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2008 tentang Pembinaan dan Retribusi Pengendalian serta Pemanfaatan Rawa justru membuka celah konversi rawa.

Dalam perda, perusahaan berhak mengelola usaha di kawasan rawa hanya dengan membayar retribusi. Walhi mendesak Pemerintah Kota Palembang merevisi perda itu. Walhi meminta Pemkot memasukkan rawa sebagai kawasan konservasi.

Kepala Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga dan Pengelolaan Sumber Daya Air Kota Palembang Kira Tarigan mengatakan, usulan menjadikan rawa sebagai kawasan konservasi sudah diajukan sejak pertengahan tahun lalu. Saat ini, pembahasan sedang dilakukan oleh tim dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Palembang. Banjir juga makin parah setelah perkebunan kelapa sawit bermunculan setahun belakangan. (RIZ)***

Source : Kompas, Rabu, 30 Desember 2009 | 04:00 WIB

Top of Form

Bottom of Form

Kamis, 24 Desember 2009

Produksi Karbon Tanpa Pengendalian

JAKARTA - Produksi karbon dari kegiatan industri, transportasi, dan pembangkit tenaga listrik masih tanpa kendali. Karbon yang diproduksi dibuang begitu saja, padahal berpotensi dimanfaatkan untuk kepentingan lain, seperti diinjeksikan kembali ke perut Bumi untuk mengeluarkan minyak dan gas bumi.

”Indonesia belum memiliki sistem untuk mewajibkan pengendalian karbon itu,” kata Kepala Komite Nasional Indonesia World Energy Council Hardiv Situmeang dalam konferensi pers yang diprakarsai Kedutaan Besar Inggris, Rabu (23/12) di Jakarta.

Hadir narasumber-narasumber lainnya, yaitu peneliti pada Divisi Eksploitasi Lemigas, Utomo Pratama Iskandar, dan analis strategi karbon dioksida dari kantor pusat perusahaan Shell di Belanda, Michael Putra.

Menurut Hardiv, proyek pemerintah saat ini, seperti rencana pembangunan pembangkit tenaga listrik 10.000 megawatt (MW) tahap pertama dan kedua oleh PLN, belum memungkinkan dilengkapi dengan pengendalian karbon atau emisinya.

Saat ini merupakan momentum paling tepat bagi Indonesia memulai pembangunan pembangkit listrik dilengkapi dengan teknologi carbon capture and storage (CCS),” kata Michael.

Alasannya, menurut Michael, Indonesia saat ini masih membutuhkan banyak listrik yang dihasilkan dengan bahan bakar minyak dari fosil. Komposisi produksi listrik pada tahun 2008 adalah yang menggunakan batu bara mencapai 29,6 persen, bahan bakar diesel 47,9 persen, gas 18,7 persen, dan lain-lain.

Utomo menyatakan, peluang menerapkan CCS di Indonesia memungkinkan, di antaranya dengan dikombinasikan untuk kegiatan eksploitasi minyak dan gas. Banyaknya sumur eksploitasi minyak yang sudah tua dan belum mencapai titik optimal memberikan peluang penerapan CCS ini dengan cara menginjeksikan karbon ke dalam perut Bumi yang menjadi reservoir minyak dan gas.

Rekomendasi sumber karbon untuk diinjeksikan ke reservoir minyak dan gas bumi sudah dibuat,” kata Utomo.

Beberapa rekomendasi tersebut, antara lain, sumber karbon dari kegiatan pembangkit listrik 1.000 MW di Indramayu, Jawa Barat, agar diinjeksikan di wilayah Sumatera Selatan dengan perkiraan kebutuhan perpipaan saluran mencapai 655 kilometer. Kemudian untuk pembangkit listrik 750 MW Muara Tawar, Jawa Barat, agar diinjeksikan ke Laut Jawa dengan kebutuhan perpipaan 15 kilometer.

Menurut Hardiv, karbon itu sangat diperlukan. Sebagian besar karbon diproduksi dari kegiatan pembangkitan listrik sehingga PLN perlu merancang kebutuhan pengendalian karbon untuk masa-masa mendatang.

Untuk mendorong secara finansial, bisa melalui Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) pada Protokol Kyoto, tetapi juga bisa melalui mekanisme perdagangan karbon lainnya,” kata Hardiv.

Terkait dengan Kesepakatan Kopenhagen, menurut Michael, hal yang tidak terjadi adalah tidak adanya kesepakatan untuk memperbesar pengurangan karbon dari negara-negara maju. Namun, dukungan finansial untuk perdagangan karbon dari negara maju masih cukup besar dan Indonesia belum bisa memanfaatkan secara optimal.

Seperti untuk program perdagangan karbon melalui CDM Protokol Kyoto, India dan China yang menguasai. Mengapa Indonesia tidak bisa masuk satu pun?” kata Michael. (NAW)

Source : Kompas, Kamis, 24 Desember 2009 | 03:10 WIB

Kita Perlu "Koin" untuk Perubahan Iklim

Kita Perlu "Koin" untuk Perubahan Iklim

Oleh : M Riza Damanik

Negosiasi bermotif menang-kalah vulgar dipraktikkan selama berlangsungnya KTT Perubahan Iklim PBB di Kopenhagen, Denmark. Bahkan, persoalan iklim ditarik jauh dari lanskap kemanusiaan. Hasilnya, Indonesia kalah 0-2.

Kekalahan pertama akibat tak terpenuhinya kesepakatan iklim yang mengikat secara hukum (legally binding) merujuk pada capaian Bali Action Plan yang dihasilkan pada KTT Ke-13 di Bali, Desember 2007 silam. Seperti disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat menghadiri pertemuan puncak ke-17 Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di SingapuraKalau Kopenhagen gagal (tidak mengikat secara hukum), kita punya banyak pekerjaan rumah” (Antara, 17/11).

Berikutnya, Indonesia gagal mengawal dan memasukkan aspek penting kelautan ke dalam visi bersama naskah teks Kelompok Kerja Adhoc Kerja Sama Jangka Panjang (AWG-LCA). Padahal pada Mei 2009 Indonesia telah mengeluarkan berbagai sumber daya untuk menghasilkan Manado Ocean Declaration (MOD) sebagai kertas mandat untuk membawa Coral Triangle Initiative (Inisiatif Segitiga Terumbu Karang) ke dalam kesepakatan Kopenhagen. Dari Bali dan Manado, kualitas diplomasi Indonesia dipertanyakan.

Koreksi

”Pembangunan Indonesia harus berorientasi pada aspek kelautan dengan memerhatikan kehidupan rakyat yang tersebar di pelbagai pulau”.

Demikian pesan diplomasi ala Perdana Menteri Djuanda saat pertama kali menggagas Indonesia sebagai negara kepulauan, 52 tahun silam (13 Desember 1957-13 Desember 2009). Pesan tersebut memberikan penekanan pada dua hal: (1) karakter kewilayahan Indonesia sebagai negara kelautan serta (2) karakter kebudayaan Indonesia sebagai masyarakat kepulauan.

Pada keduanya pula seluruh elemen bangsa dapat memahami kepentingan Indonesia atas laut.

Adapun di luar, disegani oleh bangsa-bangsa lain karena keteladanannya menegakkan keadilan dan kepentingan Indonesia atas laut sebagai ruang hidup dan ruang juang bangsa.

Berbeda halnya pilihan diplomasi ala Susilo Bambang Yudhoyono dalam menghadapi krisis iklim. Aspek fundrising membebani strategi diplomasi Indonesia, dengan menegosiasikan target pemotongan emisi, yakni 26 persen pada tahun 2020 secara sukarela dan 41 persen dengan bantuan asing (Kompas, 19/12).

Rasionalisasi target 26 persen seolah tidak relevan karena pertanggungjawaban sukarelanya ada pada tahun 2020, pada saat Susilo Bambang Yudhoyono tidak lagi menjadi presiden.

Adapun mendapatkan bantuan asing dengan target pemotongan 41 persen didesak untuk terealisasi sesegera mungkin.

Sebagai konsekuensi, Indonesia siap diaudit oleh asingtermasuk negara-negara boros emisimelalui prinsip pemantauan, pelaporan, dan verifikasi (MRV).

Pada porsi itu tidak berlebihan kiranya jika kegagalan Indonesia di Kopenhagen lebih disebabkan oleh dominasi diplomasirecehan”.

Reposisi

Persetujuan Kopenhagen atau Copenhagen Accord diyakini tidak membawa manfaat bagi Indonesia. Target diplomasi iklim berbasis kompensasibukan berbasis hak dan keadilanterbukti melemahkan posisi tawar Indonesia sebagai negara kepulauan.

Untuk itu, diperlukan reposisi Indonesia, dengan melakukan koreksi menyeluruh atas proses perdagangan barang mentah (row materials), baik hasil tambang, pertanian, perikanan, maupun perkebunan, yang selama ini dipergunakan untuk menghidupi mesin-mesin negara industri yang boros emisi.

Sejalan dengan itu, peran lumbung pangan, semisal perikanan dan pertanian harus dioptimalkan untuk memperkuat kemandirian bangsa, sekaligus mengamankan kebutuhan pangan nasional.

Hal ini mendesak dilakukan setelah krisis iklim dan krisis pangan seolah menjadi krisis kembar (twin crisis) dewasa ini. Ingat pesan the founding father Soekarno: ”Pangan merupakan soal mati-hidupnya suatu bangsa, apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi, malapetaka (akan terjadi).”

Setelah dua kebijakan dalam negeri tersebut diselenggarakan, model diplomasi luar negeri Indonesia harus dikoreksi total, dengan mengedepankan prinsip-prinsip negara yang berdaulat dan mandiri.

Kita patut belajar dari kasus Prita Mulyasari. Rakyat Indonesia, mulai dari tukang becak, artis, pedagang, ibu-ibu rumah tangga, pejabat, dan mantan pejabat negara, bahkan anak TK (taman kanak-kanak), turut berpartisipasi membangun solidaritas dan soliditasnya untuk menegakkan keadilan bagi Prita. Hasilnya, kurang dari dua minggu, sebanyak Rp 825 juta uang koin dapat dikumpulkan.

Sangat mungkin hal serupa dijalankan untuk memperbesar kapasitas negara menghadapi dampak perubahan iklim secara mandiri. Jika demikian, Indonesia dapat meneguhkan kembali peran pentingnya di fora internasional, sekaligus menjadi teladan bagi bangsa-bangsa lain dalam menghadapi krisis iklim.

M Riza Damanik,

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) -Anggota Kelompok Kerja Perikanan pada Aliansi Desa Sejahtera (ADS).

Source : Kompas, Kamis, 24 Desember 2009 | 03:35 WIB

Cuaca Ekstrem di Lintang Utara

"Matahari Tenang"" Menyebabkan Cuaca Ekstrem

JAKARTA - Cuaca ekstrem di lintang utara, antara lain, Eropa dan Amerika bagian utara yang terjadi beberapa hari terakhir ini terkait dengan kondisiMatahari tenang” yang berkepanjangan. Selain itu, disebabkan oleh perubahan iklim global.

Hal ini dijelaskan Kepala Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaluddin, Rabu (23/12) di Jakarta.

Thomas mencatat beberapa musim dingin yang minim salju terkait dengan kondisi Matahari aktif dan sebaliknya musim dingin bersuhu ekstrem di Bumi terkait dengan Matahari tenang, yaitu sedikit hingga tanpa adanya bintik Matahari.

Menurut pemantauan Clara Yono Yatini, Kepala Bidang Matahari dan Antariksa Lapan, penurunan kejadian bintik Matahari mulai terlihat sejak 2000.

Bintik hitam yang tampak di permukaan Matahari melalui teropong dilihat dari sisi samping menyerupai tonggak-tonggak yang muncul dari permukaan Matahari. Tonggak itu terbentuk dari aktivitas massa magnet yang terpelintir atau berpusar di perut Matahari hingga menembus permukaan.

Bintik hitam Matahari itu berdiameter sekitar 32.000 kilometer atau 2,5 kali diameter rata-rata Bumi. Akibat munculnya bintik Matahari, suhu gas di fotosfer dan kromosfer di atasnya dapat naik sekitar 800 derajat celsius dari normal. Hal itu mengakibatkan gas ini memancarkan sinar lebih besar dibandingkan gas di sekelilingnya.

Di atas bintik Matahari, yaitu di daerah kromosfer dan korona juga dapat terjadi badai Matahari dan ledakan cahaya yang disebut flare.

Cuaca Bumi

Lonjakan massa gas bersuhu tinggi ini tidak hanya memengaruhi magnet Bumi, tetapi juga cuaca di atmosfer Bumi, lanjut Thomas, pakar astronomi dan astrofisik. Kondisi Matahari juga berefek pada intensitas curah hujan di Indonesia.

Data Lapan menunjukkan ada kecenderungan curah hujan berkurang saat Matahari tenang. Secara global, efek aktivitas Matahari mengemisikan gas rumah kaca, terutama CO. Akibatnya, iklim ekstrem dapat lebih sering terjadi dengan intensitas yang cenderung menguat. (YUN)

Source : Kompas, Kamis, 24 Desember 2009 | 03:50 WIB

Bencana Gunung Everest Menjadi Persoalan Serius

FAKTOR

Cari Kesepakatan Sepakatkan Global

Oleh : RENÉ L PATTIRADJAWANE

Ketika gletser di Gunung Everest, puncak tertinggi di dunia, mencair, pemanasan global menjadi kenyataan yang tidak terelakkan. Ini menjadi persoalan serius yang perlu dicarikan penyelesaian bersama.

Bagaimanapun juga, iklim memberikan dampak nyata pada sistem ekonomi regional. Berdasarkan pengalaman proses industrialisasi, iklim tidak pernah bisa diabaikan. Sumber air, pertanian, transportasi, kehutanan, wilayah pantai, energi, kesehatan manusia, turisme, asuransi, ataupun jasa keuangan teridentifikasi sangat rawan terhadap perubahan iklim.

Ketika iklim memburuk ke kondisi ekstrem, seperti kekeringan, keterkaitan alam terhadap sistem ekonomi juga membuat sektor-sektor sensitif yang tidak berhubungan dengan perubahan iklim juga memiliki dampak lingkaran lebih luas. Ini pernah terjadi pada perekonomian Australia selama kekeringan tahun 1982-1983.

Para ilmuwan percaya bahwa pemanasan global, yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim, merupakan ancaman serius. Politisi yang berkumpul di Kopenhagen, Denmark, sedang membahas perubahan iklim global. Mereka masih mencari-cari bentuk sesuai dengan kepentingan politik dan ekonomi masing-masing.

Protokol Kyoto 1997 menunjukkan sulitnya mencari kesepakatan diplomatik untuk diselaraskan dengan tesis ilmuwan tentang ancaman pemanasan global. Pengurangan gas emisi yang berdampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi dan perdagangan ternyata tidak mudah disepakati.

Kita harus percaya bahwa pemanasan global adalah ancaman serius dan solusinya harus dicari. Dalam konteks regionalisme yang tumbuh subur di Asia, tidak banyak negara yang memberi perhatian serius dan melihatnya dalam konteks regional.

China dan India sebagai kekuatan ekonomi dan perdagangan baru berskala global di Asia seharusnya cukup menyadarkan kita. Berbagai kerja sama regional harus memunculkan isu pemanasan global berskala regional lalu dicarikan pola negosiasi yang tidak melulu mengikuti pola negara maju. Ini perlu demi kepentingan kawasan.

Kita tidak ingin, misalnya, China sebagai negara penghasil emisi karbon terbesar di dunia, yang tumbuh sebagai kekuatan global, memiliki perilaku yang tidak menguntungkan kawasan. Peran China diperlukan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan global, seperti krisis ekonomi, proliferasi nuklir, dan perubahan iklim.

Ada dua faktor penting yang perlu dicermati melihat fenomena China sebagai kekuatan global. Pertama, persoalan keamanan energi China akan memaksa negara berpenduduk terbesar di dunia ini mencari alternatif, seperti mengembangkan energi bersih untuk menggantikan penggunaan batubara secara masif dan minyak yang tidak menentu harganya.

Kedua, secara ekonomi Protokol Kyoto telah memberi China insentif untuk membersihkan aktivitas perekonomiannya dan menerima aliran dana sebesar 2 miliar dollar AS untuk membersihkan proses industrialisasinya dan membangun kapasitas energi bersih melalui Clean Development Mechanism (CDM), dan jumlah aliran dana ini diperkirakan akan meningkat menjadi 8 miliar dollar AS pada tahun 2012.

Dengan kedua faktor ini dalam konteks regionalisme dan isu perubahan iklim, bisa diprediksi RRC akan menjadi pasaran besar bagi energi terbarukan, bioenergi, tenaga nuklir, teknologi lingkungan, dan sejenisnya. Hal ini secara bersamaan menghadirkan kemampuan menjalankan kegiatan ekonomi dengan karbon rendah serta merangsang inovator teknologi yang ramah lingkungan.

Bagi negara-negara kawasan Asia, perlu dipersiapkan pilihan kebijakan-kebijakan mitigasi berskala regional. Jangan sampai langkah-langkah skala global, untuk meredam dampak rumah kaca, mengakibatkan ketimpangan ekonomi dan perdagangan serta merugikan negara-negara kawasan yang berjuang menjaga pertumbuhan ekonomi dan perdagangan.

Source : Kompas, Rabu, 16 Desember 2009 | 04:17 WIB

Ada 1 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda

andy odank @ Rabu, 16 Desember 2009 | 14:07 WIB
menolak opsi nuklir sebagai solusi perubahan iklim

Top of Form

Bottom of Form

 

TRANSLATE/TERJEMAH BAHASA

My Blog List

Site Info

Followers

LINGKUNGAN GLOBAL Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template