YANG HOT KLIK DI SINI

Selasa, 31 Agustus 2010

Situ Prajagumiwang Indramayu Bersahabat dengan Sampah dan Limbah

JELAJAH CIMANUK-CISANGGARUNG 2010

Situ Prajagumiwang Indramayu

Bersahabat dengan Sampah dan Limbah

INDRAMAYU – Sebuah pemandangan kurang sedap masih terlihat dari Situ Prajagumiwang Kelurahan Paoman, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat hingga Selasa (31/8) sore. Situ Prajagumiwang terkesan tak seindah kisah legendanya pada masa silam. Konon, sekitar Abad XV kawasan tersebut merpakan daerah kekuasaan Raja Prajagumiwang. Sungai Cimanuk yang melintasinya sangat besar. Bahkan, kondisi Sungai Cimanuk Indramayu pada saat itu merupakan salah satu pelabuhan terbesar di Jawa Barat. Lalu Indramayu pun dikenal pula sebagai daerah agraris yang turut menopang stok pangan nasional.

Airnya yang bersih didukung dengan kondisi topografi yang masih memungkinkan untuk mengembangkan usaha di bidang jasa kepelabuhan, Sungai Cimanuk pada masa itu benar-benar dijadikan sandaran kehidupan yang paling dominan oleh mayoritas masyarakat di Bumi Wiralodra Indramayu.

Meski Buku Sejarah babad Dermayu yang dirilis H. A. Dasuki dan kawan-kawan pada tahun 1970 tak banyak mengungkap tentang Situ Prajagumiwang, namun ada beberapa penggalan kalimat yang mengisyaratkan bahwa pada masa lalu di sekitar kapung yang kini dijadikan kawasan Kelurahan Paoman, kawasan pusat batik Indramayu yang telah bercokol berabad-abad itu, memang mengisyaratkan adanya kerajaan Gumiwang dengan areal kawasan kerajaannya. Kendati demikian, untuk menggali sejarah yang ada di Prajagumiwang itu tampaknya tidak mudah. Kesaksian dan bukti-bukti peninggalan masa lalu, harus dikumpulkan untuk dijadikan salah satu media penelitian dan penggalian sejarah.

Ahmadi (75), boleh jadi salah satu tokoh sejarah dan seni budaya yang ada di sekitar Kampung Anjun Kelurahan Paoman patut untuk diminati keterangan dan kesaksiannya seputar Situ Prajagumiwang dan Sungai Cimanuk yang pernah berjaya pada masa silam. Ia juga tokoh seniman yang lahir dan sempat ngetop dari dunia pedalangan, karena Ahmadi memang dalang wayang golek cepak yang pernah berjaya pada era 70-an hingga tahun 1980-an.

“Kini saya hanya menikmati masa-masa suram dari dunia pedalangan wayang golek cepak Indramayu. Saya juga ikut sedih menyaksikan nasib teman-teman yang sesama dalang wayang golek cepak. Kalau tidak nyambil pekerjaan lain, keluarga mereka harus makan apa ? Namun begitulah jaman, bisa berubah dengan cepat dan menenggelamkan kesenian dan sejarah kejayaan masa silam. Entah kapan Prajagumiwang bisa bangkit kembali ?. Allahu’alam,” katanya.

Ahmadi mengharapkan, pemerintah mampu melindungi cagar budaya dan peninggalan-peninggalan sejarah yang ada di Kabupaten Indramayu, khususnya di kawasan Prajagumiwang yang terkenal dengan sentra pengrajin Batik Paoman hingga kini. Tapi jumlah penduduk dan Jika Situ Prajagumiwang bisa dijaga kelestariannya hingga kini, mungkin taka akan ada lagi warga yang membuang limbah cair dan sampah di Sungai Cimanuk Prajagumiwang.

“Kesadaran masyarakat terhadap kebersihan lingkungan masih rendah. Mereka dengan seenaknya membuang limbah cair dan sampah ke Sungai Prajagumiwang. Kini sungai itu kotor dan berbau,” ungkap Saprorudin (38), warga setempat yang juga turut dipusingkan oleh ulah beberapa warga yang diduga ikut mengotori Sungai Prajagumiwang tersebut.

Sejauh ini, pihak yang paling bertanggung jawab terhadap Sungai Cimanuk, yakni Dinas PSDA & Tamben (dulu Dinas PU Pengairan) setempat, belum berani menjamin kebersihan Sungai Prajagumiwang termasuk pemeliharaannya. Alasannya maacam-macam, termasuk berdalih tak punya anggaran yang cukup.

“Wilayah tanggung jawabnya Balai Besar Wilayah Cimanuk-Cisanggarung (BBWS) di Cirebon, Bandung, dan pemerintah pusat,” tutur Ir. Firman Muntako, Kepala Dinas PSDA & Tamben Kabupaten Indramayu, beberapa waktu lalu.

Dalam catatan redaksi Lingkungan Global, sejak tahun 2008 silam, pihak BBWS Cimanuk-Cisanggarung telah melelangkan sejumlah paket pekerjaan perbaikan saluran dan pengurasan Sungai Cimanuk Indramayu. Bahkan sampai 2010, lelang pekerjaan sejenis sudah dilakukan.

“Namun harap maklum, karena anggarannya tidak banyak, sehingga perbaikan saluran sepanjang Sungai Cimanuk dilakukan bertahap,” ujae sumber-sumber di kantor BBWS Cimanuk-Cisanggarung, belum lama ini. Namu yang pasti, Situ Prajagumiwang masih bersahabat dengan limbah dan sampah.....!!!!. (Satim)*** Data dan foto diolah dari Tim Jelajah Cimanuk-Cisanggarung 2010.

Minggu, 29 Agustus 2010

ADIPURA : Penilaian Belum Akan Menyeluruh

ADIPURA

Penilaian Belum Akan Menyeluruh

JAKARTA - Penilaian penanganan sampah sebagai bagian dari penilaian Adipura belum bisa dilakukan menyeluruh karena keterbatasan data dan tenaga penilai. Penilaian pencemaran udara di 26 kota metro dan kota besar akan bisa dimulai 2011, tetapi hasil penilaian sulit memberikan data untuk mengendalikan pencemaran udara itu.

Pelaksana Harian Kepala Bidang Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Ujang Solihin Sidik menjelaskan, proses Adipura 2010 telah menilai kemampuan setiap kota menangani sampah.

”Penilaian itu telah meliputi pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, proses akhir, tempat pembuangan akhir, dan kondisi tempat pembuangan sementara. Namun, yang dinilai baru 26 kota,” kata Ujang.

Dia menjelaskan, 26 kota yang dinilai itu adalah kota yang tergolong kota metro dan kota besar. ”Ternyata persentase sampah organik yang terolah menjadi kompos jauh lebih kecil daripada yang selama ini dilaporkan pemerintah daerah,” kata Ujang.

Dari 14 kota metro yang dinilai, rata-rata sampah organik terolah hanya mencapai 0,7 persen dari total volume sampah yang mencapai 5.364,07 meter kubik per hari. Sementara sampah organik terolah di 12 kota besar rata-rata 0,29 persen dari total volume sampah yang mencapai 1.843,5 meter kubik per hari.

”Itu menunjukkan rendahnya kapasitas pengolahan kompos berbasis komunitas perkotaan. Pengolahan kompos berbasis komunitas sangat baik untuk kampanye pengurangan sampah. Namun, itu bukan solusi untuk mengatasi sampah perkotaan. Untuk meningkatkan persentase sampah organik terolah, setiap kota metro dan kota besar harus memiliki tempat pengolahan sampah organik berskala besar,” kata Ujang.

Penanganan sampah non-organik perkotaan juga kian berat karena persentase sampah non-organik terus membesar. ”Pada tahun 1990-an, 70-80 persen sampah rumah tangga adalah sampah organik. Sekarang, sampah organik hanya 60 persen dari total sampah. Sisanya sampah non-organik yang pengolahannya masih tercampur dengan sampah organik,” ujarnya.

Terkait penambahan kriteria Adipura 2011, Ujang menyatakan, penilaian sampah terolah belum bisa dilakukan di semua kota di Indonesia. ”Karena keterbatasan kami, kemungkinan kami bisa menambah jumlah kota yang dinilai, yaitu dengan menghitung ibu kota provinsi yang berstatus kota sedang atau kota kecil,” kata Ujang.

Sebagian kota metro dan kota besar juga belum memenuhi standar tempat pembuangan akhir (TPA) sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Kondisi TPA dan tempat penimbunan sementara sampah di setiap kota juga akan dinilai dalam penganugerahan Adipura 2011.

Asisten Deputi Pengendalian Pencemaran Emisi Sumber Bergerak Ade Palguna Ruteka menyatakan, penilaian pencemaran udara pada 26 kota metro dan kota besar bisa diterapkan dalam penilaian Adipura 2011.

”Namun, itu penilaian evaluatif, hanya dilakukan selama tiga hari di setiap kota. Data hasil penilaian belum bisa dijadikan basis data untuk merencanakan pengendalian pencemaran udara,” kata Ade.

Kebanyakan kota metro dan kota besar belum memiliki air quality monitoring system (AQMS). ”Perencanaan pengendalian pencemaran udara bisa dilakukan jika ada data harian yang lengkap di sejumlah lokasi jalan utama kota. Tanpa penambahan AQMS di kota metro dan kota besar, penilaian pencemaran udara hanya akan menjadi penilaian semata,” kata Ade.

Ade menyatakan, pemerintah pusat belum berencana menambah AQMS di kota metro dan kota besar pada 2011. ”Sejumlah AQMS yang dibuat KLH juga rusak karena KLH tidak punya anggaran perawatan. Sedangkan pemerintah daerah tidak bisa merawat karena aset AQMS itu belum diserahterimakan kepada pemerintah daerah,” katanya. (ROW)***

Source : Kompas, Sabtu, 28 Agustus 2010 | 02:57 WIB

Sabtu, 28 Agustus 2010

Penetapan Kawasan Lindung Bingungkan Pemda

Penetapan Kawasan Lindung Bingungkan Pemda

GARUT - Penetapan proporsi luas kawasan lindung dalam tata ruang wilayah membuat bingung sejumlah pemerintah daerah, terutama mereka yang harus memiliki kawasan lindung lebih luas dari kawasan budidaya. Dengan penduduk yang terus bertambah dan kawasan budidaya yang sempit, daerah akan kesulitan membangun wilayahnya.

Oleh karena itu, daerah-daerah itu memandang perlu dikembangkannya insentif kawasan lindung sebagai kompensasi bagi daerah dengan kawasan lindung yang luas, atau setidaknya ada pola pemanfaatan kawasan lindung oleh masyarakat tanpa mengurangi fungsi lindungnya.

Demikian benang merah yang disampaikan Kepala Bidang Prasarana Daerah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Garut Hazafrial dan Kepala Bidang Fisik dan Prasarana Bappeda Kabupaten Tasikmalaya Dadang Sudrajat secara terpisah Kamis (26/8).

Menurut Hazafrial, proporsi luas kawasan lindung memang dibuat berdasarkan kondisi alam. Tujuannya, agar kelestarian alam tetap terjaga. Garut menjadi daerah dengan kawasan lindung yang terluas di Jawa Barat, yakni 82,1 persen dari total luas wilayah 306.519 hektar.

Namun, di saat bersamaan jumlah penduduk Garut yang mencapai 2,5 juta jiwa memiliki banyak konsekuensi. Semakin banyak penduduk otomatis akan memerlukan permukiman dan kawasan budidaya yang mencukupi.

"Kalau kawasan budidaya sempit dan kawasan lindung tidak bisa diganggu gugat, warga mau makan dari mana. Memang kawasan lindung ada juga yang dimanfaatkan warga, tetapi harus dipikirkan pola pemanfaatannya agar kawasan lindung tetap terjaga," tutur Hazafrial.

Alternatif lain, menurut dia, ada baiknya provinsi mengembangkan pola insentif bagi kabupaten yang memiliki kawasan lindung luas. Insentif tersebut bisa berupa pengucuran dana pada APBD kabupaten untuk program-program kelestarian hutan.

Dalam berbagai kesempatan, Bupati Garut Aceng Fikri pun kerap menyampaikan bahwa mayoritas warga Garut di 42 kecamatan dan 424 desa bermukim di sekitar hutan. Langsung ataupun tidak, hal ini turut menyumbang angka kemiskinan masyarakat.

Kesulitan

Kepala Bidang Fisik dan Prasarana Bappeda Kabupaten Tasikmalaya Dadang Sudrajat berpendapat, sulit untuk mencapai luas kawasan lindung sebagaimana ditetapkan provinsi, yakni seluas 64,9 persen dari total luas wilayah yang sekitar 270.000 hektar.

Kesulitan mencapai kawasan lindung yang ditetapkan semakin bertambah sebab Kecamatan Singaparna dan sekitarnya akan menjadi ibu kota kabupaten. Tentunya, kawasan ibu kota ini akan berkembang dan semakin mendesak kawasan fungsi lindung yang ada.

Menurut Dadang, luas kawasan lindung Kabupaten Tasikmalaya baru sekitar 31 persen. Seandainya dipaksakan pun, luas kawasan lindung maksimal hanya 42 persen. Untuk mencapai luas 64,9 persen, harus ada kawasan budidaya yang dialihfungsikan menjadi kawasan lindung. Alih fungsi budidaya ke lindung ini akan terhambat kepemilikan lahan.

"Kami lebih baik mencantumkan kawasan lindung Kabupaten Tasikmalaya 42 persen saja karena memang adanya segitu. Kami nanti mau negosiasi soal luas kawasan lindung ini kepada provinsi," tuturnya. (adh)***

Source : Kompas, Jumat, 27 Agustus 2010 | 17:14 WIB

Pilihannya, Jadi Orang Hutan atau Mati Berdiri

PENETAPAN KAWASAN LINDUNG

Pilihannya, Jadi Orang Hutan atau Mati Berdiri

Kabupaten Garut menjadi daerah dengan kawasan yang berfungsi lindung terluas se-Jawa Barat, yakni 82,1 persen dari total wilayah Garut yang mencapai 306.519 hektar. Tercapai atau tidak, demikianlah adanya ketentuan dari Provinsi Jawa Barat.

Diharapkan, luas kawasan lindung itu bisa menyumbang pencapaian 45 persen kawasan lindung Jabar. Tanpa pengaturan yang jelas, persoalan tata ruang ini berpotensi menimbulkan masalah.

Kawasan lindung yang memang hutan konservasi atau hutan lindung atau bahkan perkebunan milik negara atau swasta bisa saja dengan mudah ditetapkan menjadi kawasan lindung. Pengawasannya, agar tidak beralih fungsi, pun jauh lebih mudah dibandingkan dengan hutan dan perkebunan rakyat yang menjadi milik rakyat.

Dengan hitung-hitungan kasar, seandainya saja ketentuan 82,1 persen kawasan lindung di Garut tercapai, itu hanya menyisakan sekitar 54.867 hektar untuk kawasan budidaya. Dari luas itu, sektor pertanian menuntut lahan pertanian abadi seluas 50.000 hektar.

Nah, dengan demikian, lahan yang tersisa untuk permukiman hanya kurang dari 5.000 hektar. Dengan luas wilayah seperti ini, kata Kepala Prasarana Daerah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Garut Hazafrial, bisa-bisa 2,5 juta penduduk Garut menjadi orang hutan atau mati saja harus berdiri.

Apakah warga Garut yang mayoritas hidup di tepi hutan akan dibiarkan miskin, sedangkan mereka tidak merasakan manfaat ekonomi dari lingkungan sekitar mereka? Adapun warga di kabupaten lain justru merasakan manfaat dari hutan yang terjaga di Garut.

Pertumbuhan penduduk

Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Citanduy-Ciwulan Agus Rahardjo mengemukakan, agar lingkungan terjaga, idealnya diperlukan kawasan konservasi seluas 40 persen dari luas wilayah. Namun, kondisi itu di Pulau Jawa kemungkinan akan menghadapi hambatan pertumbuhan penduduk.

Penegakan aturan tata ruang yang tegas dan disertai pola pemanfaatan kawasan lindung yang bisa dirasakan masyarakat sepertinya akan menjadi jalan tengah di antara tuntutan proporsi kawasan lindung dan desakan perut masyarakat.

Anggota Forum Terbuka Kerusakan Hutan (FTKH) Kabupaten Garut Franz Limiart berpendapat, sebelum mengejar target kawasan lindung 64 persen, pemerintah seharusnya memerhatikan sejauh mana kualitas kawasan lindung yang sudah ada. Survei FTKH di tahun 2007 menemukan 30 mata air di sekitar Gunung Papandayan. Ketika pada Juni 2009 lokasi yang sama ditinjau ulang, 10 mata air lenyap.

Menurut Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Garut Eddy Muharam, saat ini ada 31.553 hektar lahan kritis yang merupakan bagian dari 37.000 hektar hutan rakyat di Garut.

Dengan demikian, persoalan tata ruang tidak berakhir hanya pada luas wilayah berdasarkan perutukannya, tetapi juga sejauh mana kawasan itu memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. (Adhitya Ramadhan)***

Source : Kompas, Jumat, 27 Agustus 2010 | 17:14 WIB

Kabupaten Garut Paling Rawan Longsor

KERUSAKAN ALAM

Kabupaten Garut Paling Rawan Longsor

BANDUNG - Sebanyak 269 kecamatan di seluruh kota dan kabupaten di Jawa Barat berpotensi longsor pada Agustus ini. Kabupaten Garut menjadi daerah paling rawan longsor karena 31 kecamatannya berpotensi longsor menengah dan menengah tinggi.

"Masyarakat yang berada di wilayah rawan longsor harus mewaspadai lingkungannya dan mengikuti arahan pemerintah daerah setempat," ujar Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Badan Geologi Surono di Bandung, Kamis (25/8).

Surono mengatakan, 269 daerah rawan longsor itu merata di seluruh kota dan kabupaten di Jabar. Sebanyak 148 kecamatan berpotensi menengah tinggi dan 47 menghadapi kemungkinan terjadi banjir bandang. Kecamatan Plered di Purwakarta berpotensi longsor tinggi.

Pada bulan ini Kabupaten Garut dikatakan berpotensi longsor terbanyak dengan 31 kecamatan dengan 14 daerah di antaranya rawan banjir bandang. Daerah itu antara lain Kecamatan Leles, Kecamatan Tarogong, Kecamatan Samarang, Kecamatan Cilawu, dan Kecamatan Pamulihan. Selain itu, daerah lain yang juga rawan longsor adalah Kabupaten Ciamis dengan 28 kecamatan, Kabupaten Tasikmalaya dengan 25 kecamatan, dan Kabupaten Bogor dengan 21 kecamatan.

Batuan gunung api

Surono mengatakan, banyak hal bisa memicu longsor, seperti batuan di daerah itu didominasi batuan gunung api yang terdiri dari breksi tufaan, lava, batu pasir, dan konglomerat. Selain itu, ada juga formasi beser breksi andesit, breksi tuf, tuf kristal, dan batu lempung yang mudah bergerak.

Pengaruh lain adalah sistem drainase di lereng daerah itu tidak memadai karena minimnya tanaman yang berakar kuat dan dalam yang berfungsi sebagai pengikat tanah. Selain itu, ada juga bidang lemah antara batuan dasar dan tanah pelapukan yang menyusun batuan serta hujan yang masih mengguyur Jabar beberapa waktu ke depan.

Prakirawan Badan Klimatologi, Meteorologi, dan Geofisika Bandung Ani Hanafiah mengatakan, musim pancaroba akan berlangsung hingga akhir September. Kondisi cuaca ekstrem saat ini dipengaruhi gejala La Nina moderat. Meskipun masuk dalam fase musim kemarau, gejala ini menyebabkan suhu permukaan laut naik sehingga memicu hujan lebat dan angin kencang. (CHE)***

Source : Kompas, Jumat, 27 Agustus 2010 | 17:13 WIB

Hidup Harmonis Bersama Alam di Kampung Naga

KHAZANAH SUNDA

Hidup Harmonis Bersama Alam di Kampung Naga

Hamparan hijau tanaman padi, gemercik air sungai, dan deretan rumah panggung beratap ijuk merupakan panorama indah begitu memasuki wilayah Kampung Naga. Pengunjung bisa merasakan kehidupan alam Sunda ratusan tahun lampau. Di tempat ini pula pengunjung dapat melihat modernitas yang harus tunduk pada kearifan lokal yang terjaga ratusan tahun.

Kampung ini merupakan salah satu kampung adat di wilayah Jawa Barat yang warganya masih mempertahankan tradisi Sunda dalam kehidupan sehari-hari. Kampung seluas sekitar 10 hektar ini terletak di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Lokasinya berada di tengah-tengah jalan raya Garut-Tasikmalaya, sekitar 30 kilometer dari pusat Kota Tasikmalaya atau 25 kilometer dari pusat kota Garut.

Untuk mencapai kampung ini pengunjung harus menuruni sekitar 400 anak tangga. Kampung ini berada sekitar 500 meter di bawah jalan raya. Mirip sebuah mangkok besar, kampung di tepi aliran Sungai Ciwulan ini dikelilingi tiga gunung, yakni Gunung Cikuray, Karacak, dan Galunggung.

Konon Kampung Naga dahulu merupakan persembunyian Pangeran Singaparna dan para pengikutnya. Pangeran Singaparna adalah pewaris terakhir Kerajaan Galunggung yang terpaksa melarikan diri akibat serbuan pasukan Kerajaan Pajajaran pada akhir abad ke-15.

Pangeran yang dikenal sebagai Sembah Dalem Eyang Singaparna ini dimakamkan di sebuah bukit di kampung ini. Di atas makamnya terdapat Bumi Ageung yang dijaga kuncen (juru kunci). Kuncen berperan sebagai pemimpin adat yang dianggap sebagai penjelmaan wong agung karuhun (leluhur). Pemilihan kuncen dilakukan secara musyawarah di "bale patemon" oleh para sesepuh kampung.

Hingga saat ini sekitar 150 keluarga Sanaga (warga Naga) masih memegang adat dan tradisi yang diwariskan karuhun. Salah satunya adalah tatanan perkampungan khas Sunda.

Terdapat 110 rumah berbahan bambu dan kayu. Atap rumah terbuat dari ijuk. Bentuknya seragam dengan luas sekitar 5 meter x 8 meter. Bentuk rumah yang seragam ini merupakan wujud nilai kebersamaan dan kesederhanaan para penghuninya.

Kesederhanaan juga tecermin dari tidak adanya aliran listrik. Untuk kegiatan sehari-hari warga kampung ini mengandalkan minyak tanah dan kayu bakar untuk kebutuhan memasak dan penerangan. Meski tak berlistrik, bukan berarti tetua adat melarang aliran informasi. Peralatan elektronik, seperti televisi, radio, dan telepon seluler, bisa dimiliki sejumlah warga meski operasinya mengandalkan tenaga listrik dari aki.

Nilai kearifan lokal tampak jelas dari tata lingkungan Kampung Naga yang tetap terjaga. Sungai Ciwulan yang merupakan urat nadi kehidupan kampung ini tetap terjaga dengan adanya hutan lindung di hulu sungai. Hutan lindung seluas 2 hektar itu disebut Hutan Karamat Naga dan Hutan Biuk seluas 1,5 hektar, terletak di kaki Gunung Karacak. Tidak sembarang orang boleh masuk hutan itu.

Harmoni dengan alam yang ditunjukkan dari sikap menjaga kelestarian hutan dan air memang menjadi bagian dari tradisi Sanaga. Sebab, air merupakan sumber kehidupan yang dipakai pula untuk mengaliri ladang dan sawah pertanian padi.

Selain makanan pokok, padi atau beras memiliki nilai strategis bagi Sanaga karena merupakan ukuran penghasilan. Makin luas sawah dan makin banyak hasilnya, Sanaga petani dianggap makin kaya.

Padi yang ditanam adalah padi jenis lokal yang merupakan warisan karuhun. Sanaga menyebutnya "pare gede" (padi besar). Bulir padi ini berbentuk bulat dan berukuran lebih besar dibandingkan dengan bulir padi jenis IR atau ciherang.

Terdapat empat jenis "pare gede" utama yang dibudidayakan Sanaga, yakni cerek, jamlang, cinde, dan lokcan. Tanaman padi lokal ini lebih tahan hama dan bulirnya dapat disimpan lebih lama ketimbang padi varietas unggul. Daya simpan penting karena Sanaga masih menyimpannya dalam "leuit" (lumbung).

Selain itu, sumber air dimanfaatkan untuk mengaliri kolam ikan di luar perkampungan. Sanaga beternak ikan dengan sistem tradisional, yaitu memanfaatkan balong untuk memelihara ikan sekaligus "septic tank" alami tempat mendaur ulang limbah manusia.

Pada bagian atas balong biasanya diletakkan jamban untuk buang air besar dan "saung lisung" untuk menumbuk padi. Dengan demikian, limbah manusia dan kulit padi akan dibuang langsung ke balong sebagai makanan ikan.

Sembari bertanam padi, tambahan mata pencarian Sanaga adalah membuat kerajinan anyaman bambu. Hasil kerajinan biasa dijual kepada wisatawan yang berkunjung ke Kampung Naga. (NDW/ERI-Litbang Kompas)

Source : Kompas, Jumat, 27 Agustus 2010 | 19:02 WIB

 

TRANSLATE/TERJEMAH BAHASA

My Blog List

Site Info

Followers

LINGKUNGAN GLOBAL Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template