YANG HOT KLIK DI SINI

Rabu, 31 Maret 2010

Banjir kembali melanda Bandung Selatan pekan lalu

Grafis : Kompas, Senin, 29 Maret 2010

SUMBER DAYA AIR

Kearifan Penanganan Citarum

Oleh YUNI IKAWATI

Banjir kembali melanda Bandung Selatan pekan lalu. Genangan kali ini berasal dari limpasan air waduk di Daerah Aliran Sungai Citarum. Limpasan waduk pun menggenangi Karawang. Bencana ini menimbulkan tanda tanya: apa yang terjadi di Daerah Aliran Sungai Citarum—sumber luapan air itu?

Curah hujan yang ekstrem dan kualitas lingkungan DAS Citarum yang buruk disebut-sebut sebagai penyebab meluasnya banjir di kawasan hilir pada 21 Maret 2010 tersebut.

Sementara di Stasiun Cicatih, di atas Waduk Saguling, Februari lalu, total curah hujan 1.559 mm, padahal normal bulanan 300- 340 mm sehingga terjadi peningkatan debit waduk sampai sekitar lima kali lipat.

Curah hujan dari kawasan hulu ini kemudian disalurkan oleh 9 anak sungai ke sungai utama, Sungai Citarum. Debit air yang besar ini kemudian ditampung dalam tiga waduk dan dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, terutama untuk pembangkit listrik, pengairan sawah, dan sumber air baku untuk hidup sehari-hari.

Penggundulan hutan

Kawasan Citarum yang subur ini berpenduduk padat, yang terkonsentrasi di bagian hulu, yaitu di daerah Bandung. Jumlah penduduknya lebih kurang 11 juta jiwa dengan kepadatan 1.809 jiwa per kilometer persegi pada 2005.

Penduduk yang relatif padat ini mendorong terjadinya konversi kawasan hutan. Pengurangan tutupan hutan di DAS Citarum, menurut pakar hidrologi BPPT, Sutopo Purwo Nugroho, terus terjadi dalam jumlah signifikan sejak tahun 1983. Pada tahun itu, tutupan hutan 20 persen dari total luas DAS sebesar 6.080 kilometer persegi. Sekarang hutan yang tersisa tinggal 13,24 persen.

Pengurangan hutan itu sejalan dengan konversi areal tersebut menjadi lahan perkebunan dan permukiman. Dalam waktu hampir 25 tahun, perluasan lahan pertanian dua kali lipat lebih. Tahun 1983, tutupan lahan pertanian 24,75 persen menjadi 53,24 persen tahun 2007.

Perubahan tutupan lahan di bagian hulu Waduk Saguling dan Cirata juga terlihat nyata di Garut dan perbatasan antara DAS Citarum dan Cimanuk yang nyaris gundul.

Tingkat erosi

Pantauan Sutopo yang juga Kepala Bidang Teknologi Mitigasi Bencana BPPT menunjukkan tingkat erosi di Cirata mencapai 33,8 ton per hektar per tahun, meningkat tiga kali lipat lebih dari batas toleransi yang direncanakan, yaitu 10 ton/ha/ tahun. Laju sedimentasi mencapai 0,28 juta m/ha/tahun.

Hal serupa terjadi di Waduk Saguling dengan tingkat erosi 16 ton/ha/tahun. Sedimentasi mengurangi daya tampung waduk, yang berdampak menurunkan kinerja Saguling 0,58 persen pertahun. Waduk Saguling mengalami sedimentasi hingga 5 juta meter kubik per tahun.

Kondisi tersebut menyebabkan daya tampung waduk berkurang. Sehingga melimpas saat debit air dari hulu meningkat.

Selain kejadian minggu lalu, pelimpasan yang terjadi di Jatiluhur sebenarnya pernah terjadi pada tahun 1968, 1973, 1984 dan 1994. Namun, tahun ini tergolong besar.

Di bagian hulu, banjir melanda Baleendah, Dayeuhkolot, Majalaya, dan Rancaekek. Adapun banjir di bagian hilir menggenangi Karawang dan Bekasi. Bencana banjir yang menimpa di bagian hilir Sungai Citarum disebabkan akumulasi dari berbagai faktor.

Fenomena banjir di hulu DAS Citarum, seperti di Baleendah, jelas Widagdo, Direktur Sungai, Danau dan Waduk Kementerian Pekerjaan Umum, disebabkan oleh daerah yang berupa cekungan dan lebih rendah daripada Sungai Citarum sehingga daerah itu tergenang saat sungai meluap.

Mengatasi masalah tersebut, dilakukan pelurusan sembilan anak sungai di kawasan hulu, antara lain Cisangkuy, Cikijing, Cimande, Citarik, dan Majalaya.

Pelurusan sungai

Adanya sudetan dan pelurusan (normalisasi) sungai di hulu, menurut Sutopo, menyebabkan debit semakin besar. Kenyataan inilah yang menyebabkan fluktuasi duga muka air (DMA) waduk kaskade (Saguling, Cirata, dan Jatiluhur) juga terpengaruh oleh perilaku perubahan watak banjir Citarum.

Karena itu, menurut Sutopo, ide normalisasi dan pelurusan sungai yang akan dilakukan di bagian hulu Citarum untuk mengatasi banjir perlu dikaji ulang.

”Banjir bukan semata-mata disebabkan oleh sungai, melainkan lebih disebabkan oleh terlampauinya daya dukung lingkungan di bagian hulu Citarum,” ujarnya.

Untuk mengoperasikan tiga waduk kaskade, dibuat Rencana Operasi Waduk Kaskade Citarum Tahun 2010 untuk mengatur pasok air, sesuai dengan kapasitas tampung dan fungsi tiap waduk.

Tujuannya untuk mengoptimalkan penggunaan air baku. Dalam rencana tersebut ditetapkan pola normal DMA ketiga waduk tertinggi akan mencapai pada bulan Mei 2010. Dalam rencana tersebut diperkirakan ketiga waduk tidak mencapai limpas.

Namun, kenyataannya, curah hujan yang besar di hulu menyebabkan DMA ketiga waduk naik drastis pada awal Februari melebihi pola rencana. Kondisi berlangsung hingga saat ini.***

Source : Kompas, Senin, 29 Maret 2010 | 03:27 WIB

Perlu Ketegasan untuk Pulihkan DAS Citarum

Grafis : Kompas, Senin, 29 Maret 2010

Banjir Citarum Sulit Diatasi

Perlu Ketegasan untuk Pulihkan DAS Citarum

BANDUNG, Lingkungan Global - Banjir yang melanda Bandung Selatan serta Kota dan Kabupaten Karawang sulit ditanggulangi akibat parahnya kerusakan lingkungan di Daerah Aliran Sungai Citarum.

Sebanyak 78 persen dari 718.269 hektar (ha) luas total Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum merupakan hutan rakyat yang rusak karena sebagian besar sudah berubah fungsi menjadi lahan pertanian semusim.

”Penanganan Citarum memerlukan pihak seperti Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi di Aceh yang secara khusus menangani bencana. Dengan demikian, penanganan banjir tidak tumpang tindih sehingga terintegrasi,” tutur Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Barat Lex Laksamana, Kamis (25/3). Lex berharap badan khusus ini bersifat lintas sektoral yang khusus menangani persoalan Citarum.

Berdasarkan data dari Perum Perhutani Unit III Jabar-Banten, hanya 22 persen atau 158.174 ha dari luasan DAS Citarum yang merupakan hutan negara. Hingga tahun 2009, hutan negara di wilayah Bandung Selatan yang masih dirambah warga seluas 840 ha. Jumlah itu berkurang dibandingkan dengan luasan hutan yang dirambah pada 2003 yang mencapai 15.000 ha. Kesatuan Pemangkuan Hutan Bandung Selatan sendiri membawahkan 55.446 ha hutan negara.

Perbukitan di hulu sepanjang DAS Citarum umumnya gundul. Itu seperti terpantau di wilayah hulu Citarum, Gunung Wayang, Jumat, yakni di wilayah Kecamatan Kertasari dan Pacet, Kabupaten Bandung, Jabar. Tegakan pohon di sebuah bukit hanya bisa dihitung dengan jari. Ladang wortel, kentang, dan sayur-mayur mendominasi.

John Novarly, Sekretaris Unit dan Legal Head Perum Perhutani Unit III Jabar-Banten, mengakui, pengaturan lahan milik rakyat sukar dilakukan. ”Karena itu adalah tanah milik, warga tidak bisa dipaksa untuk menanami dengan pohon sebagaimana bisa dilakukan di hutan negara.”

Padahal, lahan yang berada di wilayah hulu itu semestinya menjadi kawasan tangkapan air. Kebutuhan ekonomi dan pertambahan penduduk membuat warga menjadikan lahan milik itu sebagai lahan pertanian sayur satu musim, semisal wortel, kol, kentang, dan bawang daun. Alih fungsi lahan itu telah terjadi selama puluhan tahun.

Di Situ Cisanti yang menjadi sumber mata air Sungai Citarum, menurut Ayi Iskandar, Kepala Desa Tarumajaya, Desa Kertasari, tak serimbun 30 tahun lalu. ”Tahun 1995 bahkan hampir gundul karena dirambah warga, tetapi pada 2003 mulai ditanam kayu keras lagi,” kata Ayi.

Berbagai sektor rugi

Akibat semua itu, eskalasi banjir semakin meningkat dan membawa dampak ikutan berupa kerugian ekonomi yang cukup besar. Limpasan air Citarum selain menggenangi permukiman juga merendam sejumlah pabrik di Cekungan Bandung.

Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia Jabar Ade Sudradjat mencatat, potensi kerugian akibat banjir tahun ini paling tidak mencapai Rp 60 miliar.

Banjir juga merusak lumbung pangan nasional di Karawang. Dalam 11 hari, banjir Citarum di Karawang, hingga Minggu, menurut Kepala Dinas Pertanian Karawang Nahrowi Muhamad Nur, telah menggenangi sedikitnya 961 ha padi usia 1-100 hari yang tersebar di tujuh kecamatan, yakni Teluk Jambe Timur (260 ha), Teluk Jambe Barat (192 ha), Pakisjaya (342 ha), Ciampel (121 ha), Batujaya (32 ha), Klari (5 ha), dan Karawang Barat (9 ha).

Namun, kalangan petani di hulu Citarum enggan mengganti sayuran dengan tanaman kayu keras. Alasannya, sayur-mayur hasilnya lebih menggiurkan. Dani Ramadani, salah satu petani, mengakui, pemerintah belum proaktif mengajak mereka menanam pohon tegakan.

”Mereka bisa panen 35 ton kentang dalam sehektar lahan. Ini jauh lebih besar dibandingkan bertanam di daerah hilir yang hanya 20 ton,” ujar Ahmad Iksan, Sekretaris Desa Tarumajaya.

Alih fungsi lahan di daerah tangkapan air Citarum disertai pemanfaatannya tidak sesuai dengan kaidah konservasi. Tanaman sayur ditanam pada kemiringan lahan lebih dari 45 derajat dan tanpa sengkedan. Ketika hujan turun, tanah pun tergerus dan langsung terbawa air masuk kembali ke dalam sungai.

Selama bertahun-tahun hal itu terjadi sehingga menimbulkan sedimentasi atau pendangkalan sungai. Citarum pun mudah meluap ketika hujan deras karena daya tampungnya mengecil.

Citarum mengairi irigasi pertanian seluas 300.000 ha di wilayah Jabar. Ada tujuh daerah yang bergantung pada debit air Citarum sebagai sumber air baku, yakni Bandung, Cimahi, Cianjur, Purwakarta, Bekasi, Karawang, dan Jakarta.

Jika kerusakan lingkungan terus terjadi serta pepohonan di bagian hulu Citarum semakin sedikit dan tak mampu menyuplai air bagi debit sungai, Dinas Kehutanan Jabar memprediksikan kerugian mencapai triliunan rupiah.

Sebanyak 300.000 ha sawah yang tak terairi berpotensi merugi Rp 5,25 triliun per tahun. Belum lagi potensi kehilangan Rp 20 triliun dari kerugian pembangkit listrik. Sektor perikanan juga diprediksi merugi Rp 50 miliar per tahun jika Citarum rusak.

Pendangkalan rusak PLTA

Ada tiga PLTA yang diairi Citarum, yakni Saguling, Cirata, dan Jatiluhur. Manajer Sipil dan Lingkungan PT Indonesia Power Pitoyo mengatakan, pencemaran yang terus berlanjut di Citarum memperburuk kualitas air di Waduk Saguling. Akibatnya, mesin dan peralatan pembangkit listrik lebih cepat mengalami korosi.

Debit air yang berkurang akibat rusaknya daerah tangkapan air juga berpotensi mengganggu kinerja turbin pembangkit listrik.

Bahkan, sedimentasi yang terus berlanjut di Saguling memperpendek usia waduk. Usia pemanfaatan Waduk Saguling yang airnya dimanfaatkan PT Indonesia Power, misalnya, kini diperkirakan tinggal 25 tahun lagi atau hanya 50 tahun. Padahal, waduk yang dibangun pada 1985 itu didesain untuk bisa beroperasi selama 56 tahun. Hal yang sama menimpa Waduk Cirata dan Jatiluhur di hilirnya.

Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan dalam kunjungannya ke wilayah banjir di Kelurahan Baleendah, Kabupaten Bandung, Kamis lalu, mengatakan, Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar memungkinkan negara mengambil alih lahan telantar yang tidak dikelola oleh warga. ”Pemerintah bisa menghutankan kembali lahan telantar,” ujarnya.

Ia pun telah meminta Pemerintah Provinsi Jabar agar mendata lahan telantar yang berpotensi dihutankan kembali. Upaya itu juga akan disertai dengan dialog untuk mengajak warga menanam tegakan pohon di lahan milik mereka.

Kementerian Kehutanan menyanggupi berapa pun permintaan bibit untuk penghijauan di hulu Citarum. ”Saya bisa menyiapkan 10.000-20.000 bibit, tetapi semua tergantung kesadaran warga pemilik lahan,” kata Zulkifli.

Belum tegas

Ahli hidrologi kehutanan dari Universitas Padjadjaran, Chay Asdak, menyatakan, pemerintah harus tegas menegakkan aturan tentang larangan alih fungsi lahan. Apalagi, ada Peraturan Menteri Pertanian Nomor 48/permentan/OT.140/10/2009 tentang Pedoman Budidaya Buah dan Sayur yang Baik. Aturan itu mensyaratkan penanaman sayuran dan buah semusim hanya boleh dilakukan pada kemiringan lahan kurang dari 30 derajat.

Balai Besar Wilayah Sungai Citarum (BBWS) dalam jangka pendek akan melanjutkan tahapan normalisasi Citarum meliputi pengerukan dan pelebaran. Kepala BBWS Mudjiadi mengatakan, tahun 2011 akan ada 44 kilometer bagian sungai yang dinormalisasi. Biayanya sekitar Rp 320 miliar, dengan dana pinjaman dari Jepang.

Tahun 1994-2007, BBWS telah menormalisasi Citarum sepanjang 70 kilometer. Total pinjaman dari Jepang saat itu 8 miliar yen. (NIT/REK)***

Source : Kompas, Senin, 29 Maret 2010 | 03:11 WIB


Kamis, 25 Maret 2010

15.000 Rumah dan 10 Kecamatan Terendam

Grafis Kompas, Kamis, 25 Maret 2010

Salah Penanganan, Banjir Meluas

15.000 Rumah dan 10 Kecamatan Terendam

KARAWANG, Lingkungan Global - Banjir Sungai Citarum semakin meluas pada Rabu (24/3), merendam 10 kecamatan dengan 15.510 rumah di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Sehari sebelumnya, sembilan kecamatan dengan 9.561 rumah terendam air setinggi rata-rata tiga meter.

Dampak banjir yang meluas di 10 kecamatan tersebut memicu tanggapan Bupati Karawang Dadang S Muchtar yang menyayangkan upaya pengendalian banjir yang dinilai terlambat itu.

Menurut Dadang, Perusahaan Umum Jasa Tirta (PJT) II selaku pengelola Waduk Ir Juanda Jatiluhur seharusnya sejak awal mengoptimalkan pelepasan/penggelontoran air waduk untuk mencegah banjir di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum di Karawang dan di Bekasi.

Dadang berharap instansi terkait segera menempuh langkah antisipasi untuk mencegah meluasnya banjir.

PJT II, kemarin, mengoptimalkan penggelontoran air Bendung Curug dan Bendung Walahar ke tiga saluran induk, yakni Tarum Barat, Tarum Utara, dan Tarum Timur, untuk mengurangi debit air yang mengalir ke hilir Sungai Citarum.

Langkah itu dilakukan untuk mengurangi luas genangan air di sepanjang aliran sungai yang meliputi 10 kecamatan. Kesepuluh kecamatan tersebut adalah Karawang Barat (dengan 7.389 rumah terendam), Karawang Timur (412 rumah), Teluk Jambe Timur (3.576 rumah), Teluk Jambe Barat (494 rumah), Ciampel (81 rumah), Batujaya (250 rumah), Pakisjaya (1.533 rumah), Rengasdengklok (486 rumah), dan Klari (97 rumah). Kecamatan terakhir yang ikut terendam banjir, sejak Rabu dini hari, adalah Kecamatan Jayakerta (1.192 rumah).

Adapun luas sawah terendam banjir di Karawang, per Selasa, mencapai 817 hektar dan tersebar di tujuh kecamatan, yakni Teluk Jambe Timur (180 ha), Karawang Barat (9 ha), Klari (5 ha), Ciampel (67 ha), Teluk Jambe Barat (130 ha), Batujaya (32 ha), dan Pakisjaya (342 ha). Usia padi 1-10 hari (persemaian) dan sekitar 50 ha usia 11-100 hari.

Menurut Kepala Dinas Pertanian Karawang Nahrowi Muhamad Nur, luas sawah yang terendam pada Rabu siang bertambah menjadi 842 ha seiring meluasnya genangan. Penambahan terjadi di tujuh kecamatan tersebut.

Pelepasan air

Kepala Biro Operasi dan Konservasi PJT II Sutisna Pikrasaleh menjelaskan, debit yang dialirkan ke tiga saluran dioptimalkan hingga kapasitas maksimal, yakni 27 meter kubik per detik ke Tarum Barat, 52,5 meter kubik per detik ke Tarum Timur, dan 80 meter kubik per detik ke Tarum Utara. Pemecahan air menuju Tarum Barat dan Tarum Timur dilakukan di Bendung Curug. Adapun untuk Tarum Utara dilakukan di Bendung Walahar.

Dilaporkan pula, pelepasan air bendung berangsur-angsur membuat tinggi muka air (TMA) bendungan utama Waduk Jatiluhur menurun. TMA pada Rabu siang 108,27 meter di atas permukaan laut (dpl), menurun dibandingkan dengan pada Minggu malam yang mencapai 108,41 meter dpl atau Selasa pagi yang setinggi 108,39 meter dpl.

Meluas

Meski pelepasan air tiga bendung di Waduk Jatiluhur ke tiga saluran induk telah dioptimalkan, debit air yang mengalir ke hilir Citarum tetap tinggi.

Debit air yang keluar dari Bendung Walahar, Rabu pagi, mencapai 1.600 meter kubik per detik dan merupakan yang tertinggi dalam sebulan ini. Hujan di hulu dan sejumlah anak sungai membuat debit tetap tinggi.

Naiknya muka air Citarum memperluas genangan banjir di Karawang. Persawahan di kanan dan kiri sungai yang sebelumnya kering, seperti Desa Curug, Kecamatan Klari; Desa Mulyasejati, Mulyasari, dan Kutapohaci, Kecamatan Ciampel, mulai tergenang air pada Rabu pagi. Petani pun mempercepat panen untuk menyelamatkan padi.

Sejumlah jalan antarkecamatan dan antardesa/kelurahan yang sebelumnya kering, seperti Jalan Raya Ranggagede, Jalan Raya Tanjung Mekar, dan Rawagempol (Kecamatan Karawang Barat), Jalan Kertabumi, serta jalanan di beberapa kawasan perumahan, seperti Perum Karaba Indah, Galuh Mas, Sukaharja, Bintang Alam (Kecamatan Teluk Jambe Timur) juga mulai tergenang.

Banjir juga memicu kemacetan, terutama di akses menuju dan dari Pintu Tol Karawang Barat.

Dalam dua hari terakhir, kemacetan sepanjang 2-3 kilometer sering terjadi di titik tersebut.

Kerusakan produksi

Hari Rabu, Wakil Presiden Boediono memerintahkan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono mengoordinasikan penanganan pengungsi akibat luapan Sungai Citarum di Kabupaten Karawang. Adapun Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa diperintahkan Wapres untuk memantau kerusakan yang terjadi di sektor produksi di kawasan itu.

Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengemukakan hal itu seusai rapat di Istana Wapres, Jakarta, Rabu.

Terkait dengan kerusakan ekonomi di kawasan sentra produksi padi yang terendam banjir itu, Menko Perekonomian menjanjikan untuk sungguh-sungguh memberi perhatian. ”Meskipun sekarang musim panen raya sudah berjalan, tetapi ini harus segera diantisipasi agar ketika musim tanam tiba mereka sudah siap tanam,” ujar Hatta Rajasa.

Sekitar Baleendah

Kawasan industri tekstil di Kabupaten Bandung terpaksa berhenti beroperasi karena ratusan mesin produksi tekstil terendam lumpur. Hujan deras di Kecamatan Baleendah dan Dayeuhkolot sejak Sabtu akhir pekan lalu mengakibatkan dua daerah itu kembali terendam air. Hingga Rabu, banjir memutus jalur Mohammad Toha-Dayeuhkolot sepanjang hampir dua kilometer. Padahal, jalur itu merupakan jalur bagi industri tekstil di Kabupaten Bandung.

Arus lalu lintas ke sentra tekstil terpaksa dialihkan melalui jalur Buahbatu-Bojongsoang. Akibatnya, konsentrasi kendaraan menumpuk di jalur itu dan kemacetan terjadi hampir lima kilometer dari Pintu Tol Buahbatu. Jalur Buahbatu-Bojongsoang pun tergenang air sampai 20 sentimeter sehingga arus kendaraan melambat.

Sementara itu, sekitar 3.000 warga di Kecamatan Baleendah diungsikan ke enam titik.

Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia Daerah Jawa Barat Ade Sudrajat mengatakan, proses distribusi produk terkendala karena jalan terendam air. (mkn/rek/gre/bay/day)***

Source : Kompas, Kamis, 25 Maret 2010 | 03:02 WIB

Sungai Citarum Meluap, Lima Jalur Putus

SUNGAI CITARUM

Banjir Kembali Meluas, Lima Jalur Putus

BANDUNG, Lingkungan Global - Banjir akibat luapan Sungai Citarum di Kabupaten Bandung, Rabu (24/3), kembali meluas. Selain merendam wilayah Kecamatan Baleendah dan Dayeuhkolot, banjir juga meluas hingga ke wilayah Kecamatan Bojongsoang dan Banjaran.

Lima jalur lalu lintas menuju wilayah Kabupaten Bandung terputus karena tergenang air bah setinggi 20 sentimeter hingga 1 meter. Jalur Jalan Mohammad Toha ke arah Dayeuhkolot, terutama dari depan pabrik tekstil Daliatext, terendam hingga 1 meter. Daerah itu memang sangat cekung dan setiap kali hujan deras selalu tergenang air.

Sejak Sabtu pekan lalu arus lalu lintas dari Mohammad Toha menuju Dayeuhkolot, Baleendah, dan Banjaran dialihkan ke jalur Buahbatu-Bojongsoang. Namun, jalur itu pun tergenang air, yakni dari 200 meter menjelang Jembatan Citarum I hingga sekitar 1 kilometer ke arah Bojongsoang.

Sebelumnya, jalur itu tidak pernah tergenang air bah ketika Citarum meluap. Sejumlah warga Bojongsoang mengatakan, banjir kali ini merupakan yang terparah selama lima tahun terakhir. "Biasanya hujan deras tidak sampai ke rumah saya, tetapi ini sudah dua kali hujan besar rumah saya terendam," kata Elliya (33), warga RT 3 RW 1 Desa Bojongsoang, Kecamatan Bojongsoang.

Macet

Menurut Rahmat (48), warga RT 6 RW 9 Kampung Djambatan, Kelurahan Andir, Kecamatan Baleendah, air setinggi 2 meter merendam rumahnya sejak dua bulan lalu. Air naik dan turun terus seiring dengan curah hujan yang mengguyur daerah itu.

Kemacetan total pun terjadi di jalur Buahbatu-Bojongsoang karena semua arus dipusatkan ke jalur tersebut. Sebagian pengendara dari arah Majalaya menuju Bandung memilih lewat jalur Sapan. Namun, jalur itu sepanjang hampir 3 kilometer juga tergenang air. Adapun sejumlah kendaraan melintasi jalur persawahan di Desa Tegalluar, Kecamatan Bojongsoang, untuk menuju Bandung. (REK)***

Source : Kompas, Kamis, 25 Maret 2010 | 12:51 WIB

Sungai Cisanggarung Rusak, Butuh Perbaikan Tanggul Segera

Lingkungan Sungai Cisanggarung Rusak

Butuh Perbaikan Tanggul Segera

CIREBON, Lingkungan Global - Kondisi hilir Sungai Cisanggarung di wilayah timur Kabupaten Cirebon memprihatinkan. Infrastruktur sepanjang sungai itu tak terurus dan kondisi lingkungan hilir sungai rusak. Akibatnya, banjir berulang kali terjadi selama tiga bulan terakhir.

Selama Januari-Maret, banjir sudah dua-tiga kali menggenangi desa-desa di wilayah timur Cirebon, terutama yang letaknya tak jauh dari Sungai Cisanggarung dan Ciberes. Deddy Madjmoe, aktivis lingkungan Petakala Grage, menyatakan, dua tahun terakhir banjir selalu menerjang wilayah timur, padahal tahun- tahun sebelumnya jarang terjadi.

Dari pantauan Kompas hingga Rabu (24/3), di sepanjang Sungai Cisanggarung dari Kecamatan Pasaleman, Ciledug, Pabedilan, hingga Losari, kondisi infrastruktur dan lingkungannya memprihatinkan. Pendangkalan sungai terjadi mulai dari daerah hulu, yakni di Desa Cikeusik, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Kuningan.

Sedimentasi lumpur terlihat di sepanjang bantaran sungai di Desa Mulyosari dan Tawangsari, Kecamatan Losari. Bahkan, di sekitar Bendung Karet, Tawangsari, timbunan lumpurnya mencapai 1 meter karena selama tiga tahun tidak pernah dikeruk. Akibatnya, air sungai tidak lancar menuju sodetan Sungai Cisanggarung. Zaenuddin, Kepala Desa Tawangsari, mengatakan, hampir seluruh tanggul di Sungai Cisanggarung, mulai dari Bendung Karet hingga muara, kritis dan buruk. Usia yang sudah tua dan belum difondasi batu mengakibatkan tanggul mudah terkikis ketika debit air dari hulu sungai meningkat. Sedikitnya ada tiga titik tanggul di desa ini yang sudah jebol sejak Januari. "Tanggulnya juga kurang tinggi karena pendangkalan sungai sehingga selalu limpas jika ada kiriman air dari hulu sungai. Tapi, sampai sekarang belum juga ada perbaikan tanggul dan peninggian tanggul dari pemerintah ataupun BBWS (Balai Besar Wilayah Sungai) Cimanuk-Cisanggarung," ujar Zaenuddin.

Tanggul yang kritis, bahkan berlubang, terdapat di Desa Mulyasari, Kecamatan Losari. Sabtu lalu, air sungai menerobos tanggul yang lubang, sedangkan bronjongan yang dipasang ambles. Jika tanggul di desa ini sampai jebol, empat desa di sekitarnya akan terendam banjir. Selain terkikisnya tanah, penyebab pendangkalan diduga pula berasal dari praktik pencucian pasir di sungai. Sejumlah proyek galian C biasanya mencuci pasir di sungai. Hal itu menyebabkan tanah yang menempel di pasir mengendap dan terbawa arus hingga hilir.

Bukan bahan pokok

Tanggul-tanggul darurat dari kantong berisi pasir yang dipasang warga pun jebol. Kantong pasir berserakan dan tanah terkikis ke sungai. Sayang, meski banjir berulang kali terjadi dan tanggul darurat tak berfungsi maksimal, bantuan yang diberikan pemerintah daerah belum bisa menenangkan warga.

Warga mengatakan, bantuan yang sebenarnya diinginkan bukan bahan pokok, melainkan bantuan perbaikan tanggul agar mereka merasa tenang. Sebab, selama ini banjir terjadi pada malam dan dini hari. Bupati Cirebon Dedi Supardi menyatakan, akan ada perbaikan tanggul dan pengerukan di Sungai Cisanggarung dan Ciberes oleh BBWS Cimanuk-Cisanggarung, tetapi perbaikan harus menunggu musim hujan berakhir. (NIT/THT)***

Source : Kompas, Kamis, 25 Maret 2010 | 12:49 WIB

Bangunan Tidak Boleh Didirikan di Bantaran Kali

PENERTIBAN

Bangunan Tidak Boleh Didirikan di Bantaran Kali

JAKARTA, Lingkungan Global - Bantaran kali tidak boleh digunakan untuk mendirikan bangunan apa pun. Pasalnya, bangunan itu bukan hanya dapat mempersempit badan sungai, tetpi fondasi bangunan juga dapat membuat tanggul sungai jebol.

Selain itu, Kepala Suku Dinas Tata Air Jakarta Barat Heryanto di Jakarta, Rabu (24/3), mengatakan, jika terjadi banjir, rumah di bantaran sungai dapat tergerus dan longsor sehingga membahayakan penghuninya. Dengan demikian, bantaran sungai harus bebas dari bangunan agar tidak ada pihak yang dirugikan.

Itu sebabnya, kemarin, Dinas Pekerjaan Umum dan Suku Dinas Tata Air Jakarta Barat membongkar 80 bangunan liar yang berdiri di bantaran Kali Grogol.

Penertiban bangunan di bantaran Kali Grogol juga dilakukan untuk memudahkan proses pengerukan badan sungai pada Agustus. Pengerukan sungai akan dilakukan dari tepi sungai dan tengah sungai sehingga bantaran harus dibersihkan terlebih dulu.

”Pengerukan sungai pada Agustus harus dilakukan agar daya tampung air meningkat dan risiko banjir diperkecil. Penertiban ini juga menjadi peringatan bagi semua pemilik bangunan di bantaran kali agar segera membongkar sendiri rumah atau tempat usaha mereka,” kata Heryanto.

Dibongkar

Sebanyak 250 petugas gabungan dari berbagai instansi memulai pembongkaran di Jalan Jalak, Palmerah. Sebuah alat berat jenis backhoe dikerahkan untuk membongkar bangunan di bantaran kali sepanjang sekitar satu kilometer.

Selain untuk tempat tinggal, bangunan permanen yang berada di bantaran kali itu juga digunakan untuk salon potong rambut, warung makan, warung internet, dan bengkel. Tidak ada perlawanan dari warga karena pembongkaran ini sudah diberitahukan sebelumnya.

Target

Tahun 2010, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menargetkan pembersihan bantaran dan normalisasi 200 saluran drainase penghubung. Langkah normalisasi saluran drainase terbukti mengurangi wilayah yang tergenang air pada tahun 2009.

Adapun pengerukan 13 sungai utama akan dimulai sekitar Juli sampai Agustus dengan dana pinjaman Bank Dunia.

Pemprov DKI menargetkan pengurangan risiko banjir sampai 40 persen pada tahun 2012.

Sementara itu, pemilik bangunan hanya dapat menangis sambil mengungsikan barang-barang mereka saat alat berat mulai datang. Mereka mengaku hanya pasrah karena mengetahui lahan itu bukan milik mereka.

”Saya menyewa lahan 12 meter persegi dengan harga Rp 500.000 per tahun untuk mendirikan bengkel ini. Orang yang mengaku sebagai pemilik tanah ini sempat menjamin tidak akan digusur, tetapi nyatanya tetap digusur,” kata Wahyu, pemilik bengkel.

Kekecewaan serupa juga diungkapkan Fatimah, pemilik warung kopi di lokasi itu. Dia mengatakan membeli tanah di bantaran sungai itu dari salah satu tokoh masyarakat setempat seharga Rp 10 juta pada tahun 2006. (ECA)***

Source : Kompas, Kamis, 25 Maret 2010 | 04:29 WIB


Pengelolaan DAS Citarum Terpadu Disusun

Banjir di Bandung akibat Cuaca Ekstrem

Pengelolaan DAS Citarum Terpadu Disusun

JAKARTA, Lingkungan Global - Banjir di Bandung Selatan sejak Senin (22/3) disebabkan oleh dua faktor, yaitu curah hujan di atas rata-rata selama beberapa hari dan adanya perubahan areal tangkapan hujan di kawasan hulu. Upaya teknis pun belum dilaksanakan di daerah yang rawan banjir tersebut.

Hal ini disampaikan Direktur Sungai, Danau, dan Waduk Kementerian Pekerjaan Umum Widagdo, Rabu (24/3).

Tingginya curah hujan di kawasan Bandung dikuatkan oleh laporan yang disampaikan prakirawan dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. Sejak Februari hingga Maret, curah hujan lebat kerap terjadi, terutama pada sore hari, dan beberapa kali disertai dengan hujan es.

Beberapa hari menjelang banjir, jelasnya, stasiun BMKG di Bandung mencatat curah hujan yang lebat terjadi pada tanggal 17 Maret mencapai 48 mm. Pada tanggal 19 dan 20 masing-masing tercatat 17 dan 21 mm. Meskipun hujan lebih sedikit, telah terjadi akumulasi curah hujan yang tertampung sejak awal Februari di DAS Citarum.

Akumulasi curah hujan ekstrem dalam waktu kurang dari dua bulan, jelas Widagdo, ditunjukkan oleh tingginya debit air di tiga waduk. Debit Sungai Citarum pada Februari lalu tercatat 1290 juta meter kubik. Padahal, rata-rata bulan itu hanya setengahnya atau 656 juta meter kubik. Lalu pada awal bulan ini hingga 17 Maret sebesar 756 juta meter kubik, juga melebihi rata-rata yang terjadi pada kurun waktu itu.

Debit banjir Citarum di kawasan Bandung atau Dayeuh Kolot pada 17 hingga 21 Maret sebesar 659 hingga 660 meter kubik per detik. ”Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya genangan dan banjir kembali di kawasan Bandung Selatan,” ujar Widagdo.

Dari pengamatan pada 17 Maret lalu, terlihat kondisi air Waduk Saguling sudah melimpas di spillway atau pelimpah kelebihan air, dengan tinggi limpasan 26 cm. Adapun air di Waduk Jatiluhur sudah melimpas masuk morning glory atau pelimpas pertama sekitar 1,20 m di atas mercu spillway, dan mengalir ke hilir 660 meter kubik per detik.

Banjir di Karawang

Kondisi aliran Jatiluhur mengalami puncak pada pukul 24.00 WIB Minggu (21/3) dengan Tinggi Muka Air 108.41 m dan sekitar pukul 13.00 WIB Senin (22/3) setinggi 108,35 m dengan total outflow 676,15 meter kubik per detik.

Aliran air dari Spillway Jatiluhur itu, ditambah dengan aliran banjir dari Sungai Cikao atau anak sungai Citarum dan Sungai Cibeet telah menyebabkan akumurali aliran banjir di Citarum Hilir. Di Pos Pengamatan Kedung Gede dekat Karawang ada peningkatan tinggi muka air 12,65 mm. Akibatnya, terjadi limpasan di empat kecamatan di Karawang dan dua kecamatan di Bekasi.

Sementara itu, menurut Kepala Bidang Mitigasi Bencana dan Sumber Daya Lahan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Sutopo Purwo Nugroho, kondisi DAS Citarum yang gundul mendorong terjadinya erosi hebat dan sedimentasi di badan sungai. Menurut Undang-Undang Tata Ruang seharusnya 30 persen daerah tangkapan air hujan di hulu dipertahankan. Namun, DAS di Jawa umumnya sudah di bawah 19 persen.

Upaya yang dilakukan

Untuk mencegah agar aliran di waduk tidak tersumbat hingga mengancam fungsi waduk, PJT 2 berupaya menahan keramba apung tidak terhanyut dan terbawa masuk ke morning glory, jelas Widagdo.

Selain itu, juga dilakukan pengaturan operasi tiga waduk (Saguling, Cirata, dan Jatiluhur) secara terkoordinasi. Penanganan bersama banjir di Kabupaten Karawang juga melibatkan BNPB, BBWS Citarum, PJT 2, BPBD dan penduduk Karawang.

Dalam jangka panjang, yaitu dalam kurun 30 tahun ke depan, Bappenas telah menyusun Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu DAS Citarum, yang mencakup tujuh bidang utama, antara lain infrastruktur, lingkungan, pemberdayaan masyarakat, dan pengelolaan program, dengan menekankan pada aspek kolaborasi para pihak terkait. (YUN)***

Source : Kompas, Kamis, 25 Maret 2010 | 04:14 WIB

Dampak Banjir Citarum, Duka Berulang Bagi Petani Karawang

BANJIR CITARUM

Duka Berulang bagi Petani Karawang

Peringatan waspada banjir dari corong masjid pada Sabtu (20/3) malam membuat Acih (38) mendadak gugup. Hatinya cemas. Pikiran Acih tak karuan antara percaya dan tidak. Seumur-umur, dalam hidupnya, baru kali ini ia mendengar imbauan semacam itu.

”Awas banjir, jangan tidur terlalu nyenyak malam ini. Hujan masih mengguyur di hulu,” ujar Acih, warga Desa Curug, Kecamatan Klari, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, menirukan suara dari corong masjid.

Suasana semakin panik ketika beberapa tetangga menyebutkan Bendungan Jatiluhur mau jebol. Perasaannya campur aduk antara tidak percaya, takut, serta khawatir jiwa dan padi siap panen di lahan seluas 3.000 meter persegi miliknya tersapu air.

Sawah milik Acih memang tak begitu luas. Namun, dari dua petak lahan itulah keluarganya menggantungkan hidup. Berada sekitar 400 meter dari tepian Citarum, persawahan itu yang pertama kali terendam jika sungai meluap, sebelum menyentuh permukiman.

Minggu pagi, ia bergegas ke sawah. Kekhawatiran Acih benar, padi varietas ciherang usia 90 hari miliknya tergenang air setinggi 50-60 sentimeter. Sebagian rumpun rebah dan bulir padi terbenam air. Belasan tahun menggarap lahan itu, baru kali ini tergenang air.

Genangan air memperburuk kondisi tanaman yang sebelumnya telah rusak sebagian karena serangan hama. Hasil panen pun anjlok, dari biasanya 3,2 ton gabah kering panen (GKP) menjadi 2,5 ton GKP. Tak hanya itu, harga jual gabah Acih anjlok Rp 2.000 per kilogram (kg) GKP saat sebagian petani lainnya mampu menjual hasil panennya hingga Rp 2.800 per kg GKP.

Nasib serupa dialami Karwan (57), petani di Desa Mulyasejati, Kecamatan Ciampel. Hasil panen dari 2.700 meter persegi sawah garapannya turun dari 1,7 ton GKP menjadi 1 ton GKP. Banyak bulir padi menjadi hampa, busuk, dan patah sehingga harga jualnya tidak optimal. Tengkulak enggan menawarnya dengan harga tinggi.

Acih dan Karwan kehilangan potensi pendapatan hingga lebih dari Rp 1 juta akibat banjir. Keduanya juga terancam kesulitan modal untuk musim tanam berikutnya. Selain pendapatan berkurang, ia pun masih harus menanggung utang pupuk dan pestisida hingga ratusan ribu rupiah dari seorang rentenir yang rajin berkeliling menyambangi petani.

Berulang

Kisah Acih dan Karwan yang mewakili petani di Karawang bagian selatan mengulang duka petani pesisir utara sepanjang Januari-Februari lalu. Banjir akibat luapan saluran-saluran pembuangan yang melanda 12.461 hektar sawah di sembilan kecamatan ketika itu mengakibatkan 6.346 hektar padi puso. Ribuan petani terpaksa menanam ulang dan kehilangan waktu akibat mundurnya jadwal tanam 1-2 bulan.

Pertengahan Maret ini, giliran petani di daerah aliran Sungai Citarum yang menderita akibat banjir. Berdasarkan data Dinas Pertanian, Kehutanan, dan Perkebunan Kabupaten Karawang, hingga Rabu kemarin, tercatat 842 hektar padi usia 1-100 hari tergenang air selama 4-5 hari.

Ancaman puso diperkirakan lebih dari 50 persen, terutama padi usia 1-10 yang baru dipindah dari persemaian, seperti di Kecamatan Karawang Barat, Teluk Jambe Timur, dan Batujaya. Di Kecamatan Klari, Ciampel, Teluk Jambe Barat, dan Pakisjaya, usia padi telah mencapai 20-100 hari.

Kepala Dinas Pertanian Karawang Nahrowi Muhamad Nur menyebutkan, meski luas genangan air kali ini relatif kecil dibandingkan dengan bulan lalu, banjir berpengaruh pada mundurnya jadwal tanam di sebagian persawahan hingga lebih dari dua bulan. Target produksi 1,37 juta ton GKP pada tahun ini diperkirakan juga akan ikut terpengaruh meski pemerintah setempat optimistis target tercapai hingga sembilan bulan mendatang.

Pemerintah boleh saja optimistis, tetapi nasib Acih, Karwan, dan ribuan petani lain di Karawang tetap saja menderita akibat banjir. Kisah duka selalu berulang bagi petani di daerah lumbung padi ini. (Mukhamad Kurniawan)***

Source : Kompas, Kamis, 25 Maret 2010 | 02:59 WIB

Pengadaan pangan terancam karena banjir mulai merendam daerah-daerah sentra produksi

Zubaedah (35), petani di Desa Manggahang, Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, memanen padinya yang terendam banjir, Rabu (24/3). (Kompas/Arum Tresnaningtyas)***

Sawah Puso Meluas

Banjir Genangi Sawah di Sentra Produksi

BANDUNG, Lingkungan Global - Tanaman padi di Jawa Barat yang gagal panen atau puso kian meluas. Hingga pertengahan Maret, luas sawah yang terkena banjir 12.438 hektar dan 2.899 hektar di antaranya puso. Pengadaan pangan terancam karena banjir mulai merendam daerah-daerah sentra produksi.

Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Jabar, hingga Rabu (24/3) genangan air paling luas melanda wilayah pertanian Kabupaten Karawang, yakni 3.970 hektar, dan 1.185 hektar di antaranya puso. Berikutnya, dari 2.434 hektar di Kabupaten Bandung yang terkena banjir, seluas 892 hektar di antaranya gagal panen.

Banjir besar juga melanda Kabupaten Bekasi dan menggenangi 2.386 hektar sawah. Dari luas itu, puso terjadi di 238 hektar sawah. Selain akibat banjir, sawah puso di Jabar juga terjadi akibat longsor, yakni 576 hektar.

Kondisi puso meningkat dibandingkan pada pertengahan Februari lalu saat lahan terkena banjir baru mencapai 8.775 hektar dengan 1.761 hektar di antaranya puso.

Kondisi ini, menurut Ketua Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Jabar Oo Sutisna, cukup mengkhawatirkan. Apalagi, puso banyak terjadi di sentra-sentra produksi padi.

Undang Sudarma (57), petani Desa Rancaekek Wetan, Kabupaten Bandung, Rabu, mengatakan, panen padi di lahan seluas 1,5 hektar miliknya turun. Jika tahun 2009 ia bisa memanen hingga 8,5 ton, kini hasil panennya hanya sekitar 7 ton. ”Produksi berkurang karena sawah sempat tergenang banjir. Walaupun ditanami ulang, hasilnya tidak memuaskan,” ujar Undang.

Kualitas turun

Menanggapi hal itu, Ketua Harian Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Entang Sastraatmaja mengatakan, curah hujan yang tinggi juga menyebabkan kualitas gabah rendah karena kadar airnya berlebihan. Ia berharap pemerintah tidak hanya fokus pada peningkatan produksi, tetapi juga optimalisasi industri pascapanen.

Menurut Entang, optimalisasi pascapanen bisa menjadi solusi penurunan tingkat kehilangan beras yang saat ini masih sekitar 16 persen. Penurunan tingkat kehilangan beras juga bisa menjadi antisipasi pemenuhan target produksi apabila kondisi cuaca benar-benar menurunkan produksi padi di Jabar. ”Anomali cuaca sekarang sulit diprediksi. Ribuan hektar lahan terkena banjir, belum lagi potensi panas yang datang lebih awal,” katanya.

Padahal, stok beras Bulog pun kian menipis. Serapan sedikit karena banyak terjadi gagal panen. Hingga kemarin serapan beras Perum Bulog Divisi Regional Jabar baru 17.000 ton. Ini baru sekitar 3,78 persen dari target tahun ini sebesar 450.000 ton.

Kepala Perum Bulog Divre Jabar Abdul Karim mengaku, stok beras di seluruh gudang di Jabar tinggal 136.000 ton atau hanya untuk 3,5 bulan ke depan. Ini adalah ambang batas stok minimal beras Bulog. (GRE)***

Source : Kompas, Kamis, 25 Maret 2010 | 04:39 WIB

Di Ujung Tanduk Bantaran Sungai Cisanggarung

KERUSAKAN LINGKUNGAN

Di Ujung Tanduk Bantaran Sungai Cisanggarung

Sungai Cisanggarung yang menjadi sumber penghidupan warga di sekitarnya kini tak lagi ramah. Sejak awal musim hujan tahun ini dia memuntahkan isinya, membanjiri perkampungan dan menghapus ketenangan warga yang tinggal bertahun-tahun di tepinya.

Sudah tiga kali Cisanggarung meluap. Sungai yang berhulu di Kabupaten Kuningan ini memang telah "menua". Pengikisan tebing sungai telah terlihat, penggundulan bagian hulu dan bantaran sungai sudah terjadi, dan penumpukan sampah pun menjadi-jadi.

Dampak puncaknya, musim hujan tahun ini, ketika banjir masuk ke perkampungan di Tawangsari, Kecamatan Losari, setinggi 1 meter lebih. Menyusul kemudian, rentetan banjir yang juga menjebolkan tanggul buatan warga di Desa Cileduk Wetan. Saban minggu pasti ada kabar banjir di wilayah timur Kabupaten Cirebon. Rastam, warga Kampung Pelabuhan, Desa Cileduk Wetan, Kecamatan Ciledug, kini tak bisa tidur tenang. Rumahnya yang berada paling dekat dengan tanggul Sungai Cisanggarung, pekan lalu, terendam hingga 50 sentimeter. "Tidak bisa tidur. Semua barang digotong, banjir bikin susah," kata Rastam yang sudah berbuyut itu.

Banjir sering kali datang tibatiba meski tak terjadi hujan di Cirebon. Empat hari lalu, salah satu tanggul yang membatasi desa dengan Sungai Cisanggarung longsor terkikis arus sungai. Jalan di atas tanggul yang lebar awalnya 2 meter kini tinggal tak sampai 1 meter. Menurut M Yunus dan Dumung dari Sanggar Pecinta Alam Cirebon Timur, hampir 50 persen tanggul di sepanjang Sungai Cisanggarung, dari Kecamatan Ciledung hingga Losari, belum dibuat dari batu beton. Akibatnya, banyak yang terkikis saat hujan deras dan debit air besar. Bagian tikungan sungai, terutama, berpotensi tinggi terkikis.

Bukan hanya rumah yang terendam. Puluhan hektar sawah, kebun bawang dan tebu, juga tambak bandeng jadi korbannya. Para siswa yang hendak berangkat sekolah pun kesulitan karena terhadang banjir. "Selama ini belum pernah tanggul di sungai ini diperbaiki. Padahal, kerusakan tanggul dan bantaran sungainya sudah parah," ujar Yunus, Rabu (24/3). Rusak Kepala Pengelola Sumber Daya Air Kabupaten Cirebon Achsanudin Adi mengakui, sulit menangani persoalan banjir di Cirebon bagian timur karena menyangkut kondisi sungai dan infrastruktur yang sudah rusak. Untuk mengeruk endapan lumpur, menurut dia, butuh dana yang tidak sedikit. Ia mengatakan, pemerintah pusat juga harus berperan menanggulangi banjir karena itu bukan persoalan lokal.

"Untuk Sungai Ciberes (anak Sungai Cisanggarung) saja mungkin butuh Rp 12 miliar dari hulu ke hilir. Padahal, jatah APBD tahun ini hanya sekitar Rp 20 miliar. Masa iya, harus untuk pengerukan saja," katanya.

Warga yang resah akibat banjir berulang ini tak ingin kondisi itu makin parah mengingat tanggul dan bantaran Sungai Cisanggarung kian kronis. "Jangan sampai kalau sudah bedah baru ditangani. Percuma saja," kata seorang warga desa. (SIWI YUNITA CAHYANINGRUM/TIMBUKTU HARTHANA)***

Source : Kompas, Kamis, 25 Maret 2010 | 12:52 WIB

Penambang Rambah Dua Hutan Lindung

150 Perusahaan Bermasalah

Penambang Rambah Dua Hutan Lindung

BALIKPAPAN, Lingkungan Global - Tim gabungan penegakan hukum dari Markas Besar Polri, Kejaksaan Agung, dan Kementerian Kehutanan menyelidiki 150 perusahaan pertambangan dan perkebunan di Provinsi Kalimantan Timur. Mereka beroperasi di hutan tanpa izin menteri kehutanan.

Demikian Kepala Pusat Informasi Kementerian Kehutanan Masyhud saat dihubungi dari Balikpapan, Rabu (24/3). ”Untuk Kalimantan, 150 perusahaan bermasalah yang disidik tersebut baru di Kaltim. Untuk di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan masih diinventarisasi,” katanya.

Pernyataan Masyhud menguatkan pernyataan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Darori. Seusai menghadiri rapat koordinasi teknik kehutanan se-Kalteng di Palangkaraya, Rabu, Darori menyatakan, selain Kaltim, saat ini tim gabungan juga menurunkan 25 penyidik ke Sumatera Utara untuk menyelidiki 16 perusahaan terkait penggunaan kawasan hutan yang tidak sesuai aturan.

Menurut Masyhud, banyak perusahaan bermasalah karena mudah mendapat izin usaha pertambangan dan perkebunan dari pemerintah kabupaten/kota setempat.

Perusahaan beroperasi di kawasan hutan tanpa izin menteri kehutanan. Padahal, perusahaan tambang harus mendapat izin pinjam pakai kawasan hutan dan izin pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan.

Di Kalimantan, izin kuasa pertambangan (KP) untuk batu bara yang dikeluarkan para bupati mencapai 2.047 buah. Kaltim mengeluarkan 1.180 izin KP. Kalsel mengeluarkan sekitar 500 KP. Produksi batu bara per tahun di Kalsel 80-100 juta ton dan Kaltim 100,91 juta ton (Kompas, 25/1).

Adapun perkebunan kelapa sawit, berdasarkan data dari beberapa sumber, dalam 10 tahun terakhir di empat provinsi Kalimantan dikeluarkan 996 izin perkebunan. Rinciannya, Kalbar 329 izin, Kalteng 302 izin, Kaltim 297 izin, dan Kalsel 68 izin. Adapun lahan yang disediakan lebih dari 12 juta hektar.

Sebanyak 134 perusahaan dikuasai investor asing dengan luas lahan 1,8 juta hektar. Rinciannya, di Kalteng 53 perusahaan, Kalbar 39 perusahaan, Kalsel 26 perusahaan, dan Kaltim 16 perusahaan (Kompas, 25/2).

Menurut Masyhud, penindakan hukum terhadap perusahaan yang membuka kawasan hutan tanpa izin akan terus dilakukan di seluruh provinsi. Ini sesuai dengan permintaan menteri kehutanan melalui suratnya kepada semua gubernur di Tanah Air tertanggal 25 Februari untuk memberi laporan terkait penggunaan hutan di daerah untuk kepentingan nonkehutanan.

Setiap gubernur diberi waktu dua bulan untuk menginventarisasi berbagai kegiatan nonkehutanan di kawasan hutan tanpa izin menteri kehutanan. Misalnya, di Kalteng diketahui sekitar 960.000 hektar hutan telah dialihfungsikan untuk usaha nonkehutanan tanpa izin pelepasan. ”Jumlah perusahaan yang terlibat dalam masalah ini masih diinventaris,” katanya.

Hutan lindung

Masih soal perambahan hutan, dua kawasan hutan lindung, yakni Hutan Lindung Pulau Punyu, Kabupaten Bulungan, Kaltim, dan Gunung Gajah di Kabupaten Sambas, Kalbar, kini rusak akibat dirambah penambang.

Kerusakan akibat penambangan batu bara di hutan lindung itu mendapat perhatian serius Kepala Kepolisian Daerah Kaltim Irjen Mathius Salempang yang mengunjungi lokasi hari Selasa. Sebuah perusahaan pemegang izin KP mendapat konsesi 2.000 hektar, seluas 1.210 hektar di antaranya merupakan kawasan hutan lindung.

”Polda Kaltim menangani kasus ini, selain menambang di kawasan konservasi, penambang juga meninggalkan lubang-lubang bekas tambang tanpa direklamasi,” kata Kepala Bagian Humas Polda Kaltim Komisaris Besar Antonius Wisno Sutirta.

Di Kabupaten Sambas, Kalbar, dinas kehutanan dan kepolisian setempat juga menangani penjarahan kawasan hutan lindung oleh para penambang pasir, batu, dan tanah uruk yang berlangsung setahun terakhir.

”Penambangan itu berhenti sejak kami laporkan ke kepolisian belum lama ini,” kata Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Sambas Basuki.

Kepala Kepolisian Resor Sambas Ajun Komisaris Besar Winarto menyatakan, kasus dugaan kegiatan pertambangan liar di hutan lindung itu dalam proses penyelidikan. Polisi baru meminta keterangan empat pemilik tambang sebagai saksi dalam kasus ini.

”Polisi masih menunggu keterangan saksi ahli dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan Kalbar untuk memastikan kegiatan tersebut masuk kawasan hutan lindung atau bukan,” katanya.

(FUL/AHA)***

Source : Kompas, Kamis, 25 Maret 2010 | 04:37 WIB

 

TRANSLATE/TERJEMAH BAHASA

My Blog List

Site Info

Followers

LINGKUNGAN GLOBAL Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template