YANG HOT KLIK DI SINI

Sabtu, 28 Agustus 2010

Hidup Harmonis Bersama Alam di Kampung Naga

KHAZANAH SUNDA

Hidup Harmonis Bersama Alam di Kampung Naga

Hamparan hijau tanaman padi, gemercik air sungai, dan deretan rumah panggung beratap ijuk merupakan panorama indah begitu memasuki wilayah Kampung Naga. Pengunjung bisa merasakan kehidupan alam Sunda ratusan tahun lampau. Di tempat ini pula pengunjung dapat melihat modernitas yang harus tunduk pada kearifan lokal yang terjaga ratusan tahun.

Kampung ini merupakan salah satu kampung adat di wilayah Jawa Barat yang warganya masih mempertahankan tradisi Sunda dalam kehidupan sehari-hari. Kampung seluas sekitar 10 hektar ini terletak di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Lokasinya berada di tengah-tengah jalan raya Garut-Tasikmalaya, sekitar 30 kilometer dari pusat Kota Tasikmalaya atau 25 kilometer dari pusat kota Garut.

Untuk mencapai kampung ini pengunjung harus menuruni sekitar 400 anak tangga. Kampung ini berada sekitar 500 meter di bawah jalan raya. Mirip sebuah mangkok besar, kampung di tepi aliran Sungai Ciwulan ini dikelilingi tiga gunung, yakni Gunung Cikuray, Karacak, dan Galunggung.

Konon Kampung Naga dahulu merupakan persembunyian Pangeran Singaparna dan para pengikutnya. Pangeran Singaparna adalah pewaris terakhir Kerajaan Galunggung yang terpaksa melarikan diri akibat serbuan pasukan Kerajaan Pajajaran pada akhir abad ke-15.

Pangeran yang dikenal sebagai Sembah Dalem Eyang Singaparna ini dimakamkan di sebuah bukit di kampung ini. Di atas makamnya terdapat Bumi Ageung yang dijaga kuncen (juru kunci). Kuncen berperan sebagai pemimpin adat yang dianggap sebagai penjelmaan wong agung karuhun (leluhur). Pemilihan kuncen dilakukan secara musyawarah di "bale patemon" oleh para sesepuh kampung.

Hingga saat ini sekitar 150 keluarga Sanaga (warga Naga) masih memegang adat dan tradisi yang diwariskan karuhun. Salah satunya adalah tatanan perkampungan khas Sunda.

Terdapat 110 rumah berbahan bambu dan kayu. Atap rumah terbuat dari ijuk. Bentuknya seragam dengan luas sekitar 5 meter x 8 meter. Bentuk rumah yang seragam ini merupakan wujud nilai kebersamaan dan kesederhanaan para penghuninya.

Kesederhanaan juga tecermin dari tidak adanya aliran listrik. Untuk kegiatan sehari-hari warga kampung ini mengandalkan minyak tanah dan kayu bakar untuk kebutuhan memasak dan penerangan. Meski tak berlistrik, bukan berarti tetua adat melarang aliran informasi. Peralatan elektronik, seperti televisi, radio, dan telepon seluler, bisa dimiliki sejumlah warga meski operasinya mengandalkan tenaga listrik dari aki.

Nilai kearifan lokal tampak jelas dari tata lingkungan Kampung Naga yang tetap terjaga. Sungai Ciwulan yang merupakan urat nadi kehidupan kampung ini tetap terjaga dengan adanya hutan lindung di hulu sungai. Hutan lindung seluas 2 hektar itu disebut Hutan Karamat Naga dan Hutan Biuk seluas 1,5 hektar, terletak di kaki Gunung Karacak. Tidak sembarang orang boleh masuk hutan itu.

Harmoni dengan alam yang ditunjukkan dari sikap menjaga kelestarian hutan dan air memang menjadi bagian dari tradisi Sanaga. Sebab, air merupakan sumber kehidupan yang dipakai pula untuk mengaliri ladang dan sawah pertanian padi.

Selain makanan pokok, padi atau beras memiliki nilai strategis bagi Sanaga karena merupakan ukuran penghasilan. Makin luas sawah dan makin banyak hasilnya, Sanaga petani dianggap makin kaya.

Padi yang ditanam adalah padi jenis lokal yang merupakan warisan karuhun. Sanaga menyebutnya "pare gede" (padi besar). Bulir padi ini berbentuk bulat dan berukuran lebih besar dibandingkan dengan bulir padi jenis IR atau ciherang.

Terdapat empat jenis "pare gede" utama yang dibudidayakan Sanaga, yakni cerek, jamlang, cinde, dan lokcan. Tanaman padi lokal ini lebih tahan hama dan bulirnya dapat disimpan lebih lama ketimbang padi varietas unggul. Daya simpan penting karena Sanaga masih menyimpannya dalam "leuit" (lumbung).

Selain itu, sumber air dimanfaatkan untuk mengaliri kolam ikan di luar perkampungan. Sanaga beternak ikan dengan sistem tradisional, yaitu memanfaatkan balong untuk memelihara ikan sekaligus "septic tank" alami tempat mendaur ulang limbah manusia.

Pada bagian atas balong biasanya diletakkan jamban untuk buang air besar dan "saung lisung" untuk menumbuk padi. Dengan demikian, limbah manusia dan kulit padi akan dibuang langsung ke balong sebagai makanan ikan.

Sembari bertanam padi, tambahan mata pencarian Sanaga adalah membuat kerajinan anyaman bambu. Hasil kerajinan biasa dijual kepada wisatawan yang berkunjung ke Kampung Naga. (NDW/ERI-Litbang Kompas)

Source : Kompas, Jumat, 27 Agustus 2010 | 19:02 WIB

1 komentar:

rifkhithebest on 6 April 2011 pukul 05.34 mengatakan...

Ijin Copas untuk contoh tugas hukum lingkungan,
sumber kami sertakan dengan lengkap dan jelas,
Terima kasih

emai: rifkhithebest@gmail.com

Posting Komentar

 

TRANSLATE/TERJEMAH BAHASA

My Blog List

Site Info

Followers

LINGKUNGAN GLOBAL Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template