Pilihannya, Jadi Orang Hutan atau Mati Berdiri
Kabupaten Garut menjadi daerah dengan kawasan yang berfungsi lindung terluas se-Jawa Barat, yakni 82,1 persen dari total wilayah Garut yang mencapai 306.519 hektar. Tercapai atau tidak, demikianlah adanya ketentuan dari Provinsi Jawa Barat.
Diharapkan, luas kawasan lindung itu bisa menyumbang pencapaian 45 persen kawasan lindung Jabar. Tanpa pengaturan yang jelas, persoalan tata ruang ini berpotensi menimbulkan masalah.
Kawasan lindung yang memang hutan konservasi atau hutan lindung atau bahkan perkebunan milik negara atau swasta bisa saja dengan mudah ditetapkan menjadi kawasan lindung. Pengawasannya, agar tidak beralih fungsi, pun jauh lebih mudah dibandingkan dengan hutan dan perkebunan rakyat yang menjadi milik rakyat.
Dengan hitung-hitungan kasar, seandainya saja ketentuan 82,1 persen kawasan lindung di Garut tercapai, itu hanya menyisakan sekitar 54.867 hektar untuk kawasan budidaya. Dari luas itu, sektor pertanian menuntut lahan pertanian abadi seluas 50.000 hektar.
Nah, dengan demikian, lahan yang tersisa untuk permukiman hanya kurang dari 5.000 hektar. Dengan luas wilayah seperti ini, kata Kepala Prasarana Daerah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Garut Hazafrial, bisa-bisa 2,5 juta penduduk Garut menjadi orang hutan atau mati saja harus berdiri.
Apakah warga Garut yang mayoritas hidup di tepi hutan akan dibiarkan miskin, sedangkan mereka tidak merasakan manfaat ekonomi dari lingkungan sekitar mereka? Adapun warga di kabupaten lain justru merasakan manfaat dari hutan yang terjaga di Garut.
Pertumbuhan penduduk
Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Citanduy-Ciwulan Agus Rahardjo mengemukakan, agar lingkungan terjaga, idealnya diperlukan kawasan konservasi seluas 40 persen dari luas wilayah. Namun, kondisi itu di Pulau Jawa kemungkinan akan menghadapi hambatan pertumbuhan penduduk.
Penegakan aturan tata ruang yang tegas dan disertai pola pemanfaatan kawasan lindung yang bisa dirasakan masyarakat sepertinya akan menjadi jalan tengah di antara tuntutan proporsi kawasan lindung dan desakan perut masyarakat.
Anggota Forum Terbuka Kerusakan Hutan (FTKH) Kabupaten Garut Franz Limiart berpendapat, sebelum mengejar target kawasan lindung 64 persen, pemerintah seharusnya memerhatikan sejauh mana kualitas kawasan lindung yang sudah ada. Survei FTKH di tahun 2007 menemukan 30 mata air di sekitar Gunung Papandayan. Ketika pada Juni 2009 lokasi yang sama ditinjau ulang, 10 mata air lenyap.
Menurut Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Garut Eddy Muharam, saat ini ada 31.553 hektar lahan kritis yang merupakan bagian dari 37.000 hektar hutan rakyat di Garut.
Dengan demikian, persoalan tata ruang tidak berakhir hanya pada luas wilayah berdasarkan perutukannya, tetapi juga sejauh mana kawasan itu memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. (Adhitya Ramadhan)***
Source : Kompas, Jumat, 27 Agustus 2010 | 17:14 WIB
0 komentar:
Posting Komentar