Guguran Material Meningkat
YOGYAKARTA, Lingkungan Global - Intensitas guguran material dan gempa di Gunung Merapi terus meningkat. Gemuruh guguran material terdengar hingga ke desa-desa sekitar. Warga pun berkemas, di samping meningkatkan kewaspadaan dengan melakukan pemantauan secara swadaya.
Berdasarkan data Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta, gempa multifase yang mengindikasikan adanya pertumbuhan kubah lava kembali meningkat menjadi 514 kali sepanjang Jumat (22/10). Jumlah ini merupakan yang tertinggi selama tiga hari terakhir. Rabu lalu gempa multifase sebanyak 479 kali, sedangkan Kamis turun menjadi 321 kali.
Guguran material sepanjang Jumat tercatat 81 kali. Pemantauan di Dusun Gondang, Kelurahan Balerante, Kecamatan Kemalang, Klaten, Jawa Tengah, Sabtu dini hari, suara guguran material terdengar hingga jarak 4 kilometer dari puncak Merapi.
Aktivitas Merapi yang tertinggi terjadi sekitar Kamis menjelang Jumat pukul 00.00 hingga 01.00, dengan suara gemuruh terdengar sekitar tiga kali dalam satu jam. Meskipun aktivitas tinggi, sejauh ini kubah lava belum terbentuk.
Kepala BPPTK Yogyakarta Subandriyo mengatakan, pola kegempaan, perubahan deformasi, dan belum terbentuknya kubah lava masih mengindikasikan erupsi tahun ini bisa berenergi lebih besar daripada tahun 2006. ”Kalau kubah lava tidak terbentuk, erupsi akan dipicu oleh letusan dulu. Letusan itulah yang bisa berbahaya,” katanya.
Semakin keras
Sejumlah warga yang memantau aktivitas Merapi dari Dusun Gondang menceritakan, suara gemuruh guguran material terdengar semakin keras dan sering selama tiga hari terakhir. Selain itu, terlihat pula asap sulfatara pekat bertekanan rendah.
Kondisi Merapi yang demikian membuat warga desa seputaran lereng Merapi kini meningkatkan kewaspadaan dengan mengadakan pemantauan secara swadaya. Sejumlah warga desa di Kabupaten Magelang dan Klaten di Jawa Tengah serta Sleman di DI Yogyakarta—yang dekat Merapi—juga saling berhubungan dan bertukar informasi.
Agus Sarnyata (36), pengelola induk radio HT Balerante, Klaten, mengatakan, pemantauan swadaya berlangsung 24 jam secara bergantian. ”Cara ini efektif karena informasi dapat diterima langsung oleh warga,” katanya.
Dari Desa Kepuharjo, Cangkringan, Sleman, Kepala Desa Kepuharjo Heri Suprapto mengatakan, penambangan pasir dan pendakian di desanya telah ditutup. Warga juga telah siap bila harus mengungsi sewaktu-waktu. Namun, aktivitas keseharian warga masih normal.
Hal serupa dilaporkan dari Boyolali, Jawa Tengah. Disebutkan, warga di zona merah Gunung Merapi di Dusun Takeran, Desa Tlogolele, Kecamatan Selo, kemarin, merasakan suhu udara yang lebih tinggi. Karena itu, mereka mulai berkemas agar siap dievakuasi.
”Saya sudah menyiapkan baju yang bakal dibawa jika sewaktu-waktu harus mengungsi. Saya siap mengungsi (jika terjadi erupsi Merapi). Namun, saya bingung, bagaimana dua sapi saya jika saya tinggal mengungsi,” kata Sutras (50), warga Takeran, saat sosialisasi siaga evakuasi yang diselenggarakan Komando Distrik Militer 0724 Boyolali di Balai Dusun Takeran, kemarin.
Sosialisasi itu dimaksudkan untuk mengingatkan masyarakat agar memerhatikan sirene bahaya, sekaligus mengingatkan rute ataupun kelompok evakuasi.
Di Semarang, pihak Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Tengah menyatakan siap mengungsikan 53.639 warga yang tercatat tinggal di zona merah Merapi di Kabupaten Magelang, Boyolali, dan Klaten. ”Pengungsian warga akan dilakukan ketika status Merapi menjadi awas,” ujar Kepala BPBD Jateng Priantono Djarot Nugroho seusai rapat koordinasi tanggap Merapi di Semarang.
Sementara itu, dari Bantul, DI Yogyakarta, dilaporkan, kemarin pukul 13.30 daerah tersebut dilanda angin kencang. Hal serupa terjadi di Kota Yogyakarta. (GAL/EGI/DEN/IRE/ARA)***
Source : Kompas, Minggu, 24 Oktober 2010 | 04:00 WIB
0 komentar:
Posting Komentar