YANG HOT KLIK DI SINI

Kamis, 11 November 2010

Ketika Merapi Berstatus Awas

VULKANOLOGI

Ketika Merapi Berstatus Awas

Oleh Yuni Ikawati

Gunung Merapi sejak Senin (25/10) dinyatakan berstatus Awas. Peningkatan status ini berdasarkan kenaikan kegempaan vulkanik, deformasi signifikan kubah, serta peningkatan jumlah guguran kubah lava. Curah hujan yang tinggi berpotensi menimbulkan lahar panas di lereng Merapi.

Perubahan status Siaga menjadi Awas gunung berapi di Yogyakarta yang tingginya 2.950 meter itu, jelas Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Surono, berdasarkan adanya peningkatan signifikan jumlah dan intensitas gempa vulkanik sejak Jumat (22/10) hingga Minggu (24/10). Dalam tiga hari, gempa bumi vulkanik meningkat dari 52 menjadi 80 gempa.

Selain itu, juga terjadi peningkatan pertumbuhan kubah—disebut ”laju inflasi”— hampir empat kali lipat sejak Kamis (21/10) sampai Minggu (24/10). ”Laju inflasi, dari 10,5 cm menjadi 42 cm per hari pada 24 Oktober 2010,” ujar Surono. Laju inflasi diukur dengan memasang reflektor di dekat puncak Merapi.

Jumlah guguran lava sebelum 21 Oktober 2010 kurang dari 100 kejadian menjadi 194 kejadian pada 24 Oktober 2010. Meningkatnya jumlah guguran lava ini mengancam daerah di selatan hingga tenggara Merapi, yaitu Kabupaten Sleman dan Klaten, serta berpotensi menimbulkan awan panas.

Menurut Dewi Sri, staf peneliti di Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta, curah hujan yang tinggi pada musim hujan ini akan muncul ancaman banjir lahar dingin di lereng selatan dan tenggara karena tumpukan lava akan tererosi hanyut bersama air hujan menjadi lahar dingin hingga turun menjadi banjir lahar, masuk ke sungai di hilir. Lahar dingin berpotensi mengalir di tujuh kali: Kali Boyong, Kuning, Gendol, Woro, Bebeng, Krasak, dan Kali Bedog.

Menurut Dalidjo, pengamat di BPPTK, daerah pertumbuhan tahun ini mirip dengan lokasi tahun 2006. Pada gunung berapi yang berlokasi di empat kabupaten—Sleman, Klaten, Magelang, dan Boyolali—itu terlihat bahwa daerah selatan dan barat menunjukkan aktivitas lebih tinggi dibandingkan sisi lainnya.

Pola pertumbuhan

Menurut Mas Atje Purbawinata—mantan Kepala BPPTK, mengamati Merapi pada 1980-2007—Merapi adalah gunung api teraktif di Pulau Jawa. Aktivitasnya dipengaruhi hunjaman Lempeng Australia ke Lempeng Eurasia di bawah dapur magma Merapi yang relatif lebih aktif daripada zona subduksi lain di selatan Jawa.

Karakter Merapi berbeda dengan gunung berapi umumnya. Pembentukan kubahnya relatif cepat, kubah itu tidak stabil karena akan hancur oleh magma yang menerobos di lubang kepundan. Aktivitas vulkanis ini mengakibatkan guguran lava sehingga menimbulkan awan panas. ”Periode munculnya awan panas guguran sekitar empat tahunan,” lanjut Mas Atje.

Dalam volume besar, material yang gugur berubah menjadi rock avalanche (guguran batuan)—dikenal dengan sebutan wedhus gembel, yaitu campuran material berukuran debu hingga blok bersuhu lebih dari 700 derajat celsius, meluncur dengan kecepatan 100 km per jam.

Pola ini diamati sejak tahun 1930, setelah terjadi ”awan panas letusan” tahun itu. Letusan Merapi terjadi karena besarnya suplai magma. Ketika itu letusan mengarah ke Kali Gendol dan Bebeng dan dampaknya mencapai areal sejauh 12 km.

Suplai magma yang besar ditunjukkan dengan keluarnya banyak gas dari lubang kepundan yang telah terbuka. Gas ini mengandung banyak silika. Peningkatan kandungan silika pada batuan dari lubang kepundan dapat menunjukkan sifat atau tingkat letusan gunung berapi. Merapi akan menimbulkan letusan ketika kandungan silika 58 persen-60 persen.

Dari tingkat keasamannya, Merapi masuk kategori menengah. Gunung yang masuk kategori eksplosif tinggi adalah Krakatau—kandungan silika 62 persen, ujar Mas Atje yang meraih doktornya dari Universitas Otago, Selandia Baru.

Berbeda dengan gunung berapi lain, Merapi memiliki konduit terbuka sehingga aliran magma dari kantung magma mudah naik dan keluar dari lubang kepundan. Hal ini ditunjang oleh tekanan besar di dapur magma.

Kubah baru

Pada Mei tahun 2006, ketika terjadi guguran lava, citra satelit Ikonos dan SPOT yang didapat Lapan (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) menunjukkan ada kubah lava baru berdiameter sekitar 500 meter. Kubah baru ini menimbulkan guguran lava pijar dan awan panas lebih besar dari kubah pertama yang muncul sebelumnya.

Beberapa waktu lalu Priyadi Kardono dari Deputi Pengembangan Sumber Daya Alam Bakosurtanal mengingatkan turunnya lahar di kawasan permukiman di zona rawan bencana. Dari citra satelit SPOT5 terlihat ada permukiman baru di daerah zona rawan bencana awan panas, aliran lava, guguran batu (pijar), gas beracun, dan aliran lahar. Seharusnya kawasan itu bebas permukiman agar tidak timbul korban jiwa jika terjadi letusan. Priyadi menyarankan revisi peta Rawan Bencana dan membuat peta jalur evakuasi yang lebih baik.

Di Indonesia ada 129 gunung berapi—terbanyak di dunia. Di Jawa ada 34 gunung berapi, di Sumatera ada 30, dan Nusa Tenggara ada 28 gunung berapi.***

Source : Kompas, Selasa, 26 Oktober 2010 | 04:14 WIB

0 komentar:

Posting Komentar

 

TRANSLATE/TERJEMAH BAHASA

My Blog List

Site Info

Followers

LINGKUNGAN GLOBAL Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template