Forum
Petani, dari Raja Menjadi Sahaya
Oleh USEP ROMLI HM
Proses kelahiran Rencana Peraturan Menteri Pertanian tentang Pedoman Perizinan Usaha Budidaya Tanaman Pangan yang hanya melibatkan perusahaan nasional dan multinasional komoditas pertanian semakin memperjelas arah politik pertanian nasional yang amat kapitalistik.
Tidak satu pun institusi kelompok tani diajak serta, apalagi petani yang benar-benar bulu taneuh. Urusan pertanian sekarang, di negara yang mengaku agraris ini, betul-betul berada di tangan pemilik modal, bahkan mungkin mafia khusus pertanian yang menjadikan petani sebagai binatang perahan.
Petani yang bergulat lumpur hanya menjadi sasaran pemasaran produk pertanian buatan pabrik tertentu yang dilegitimiasi aparat birokrasi dari pusat hingga daerah. Mafia khusus sarana produksi pertanian benar-benar telah menguasai jaringan birokrasi untuk menjadikan produk-produk sindikasinya laku keras. Mereka menarik laba dari tetesan keringat petani yang semakin papa.
Petani yang dulu raja kini telah menjadi sahaya, "budak belian" yang segalanya tergantung pada kemurahan hati penentu kebijakan dan pialang-pialang bergelimang uang. Menteri Pertanian atau jajarannya tidak lagi memandang sosok petani pengolah tanah yang semakin merana akibat berbagai hal.
Apresiasi generasi muda telah amat merosot terhadap profesi petani. Sementara itu, terjadi penguasaan tanah garapan oleh "petani berdasi" serta alih fungsi lahan pertanian besar-besaran dan menyeluruh untuk kepentingan yang lebih menguntungkan dari aspek material-finansial. Karena itu, yang diajak bicara mengenai berbagai hal sekitar masalah pertanian hanyalah pengusaha sarana produksi pertanian, seperti pengusaha benih, pupuk, dan obat-obatan.
Petani asli, petani yang setia memegang cangkul, diabaikan. Justru petani yang masih setia mempertahankan usaha di bidang bercocok tanam untuk kesejahteraan pangan, bukan untuk mencari nilai tambah atau mengejar ekspor, dikenai kewajiban mendapatkan izin bertani dari pemerintah setempat (Kompas, 20/4).
Rekayasa genetik
Memang sejak era 1970-an petani tidak lagi menjadi raja. Petani tidak lagi punya kuasa atas tanah garapan sendiri, tidak lagi dapat menentukan tanaman apa yang diinginkan, pupuk dan antihama apa yang akan digunakan, serta ke mana menjual hasilnya kelak. Mereka tidak lagi menjadi raja yang dengan hasil buminya dapat menyejahterakan diri sendiri, keluarga, lingkungan masyarakat, bahkan bangsa dan negara dengan kearifan budaya penyediaan pangan yang spesifik, spiritualistik, bahkan ritualistik.
Tatkala menjadi raja, petani dapat memelihara tradisi masa lampau, masa kini, dan masa depan dengan aneka macam tatara, mulai dari istilah hingga pelaksanaan, yang serba rumit tetapi mudah dimengerti kedalaman maknanya. Semua mengacu pada prinsip hurip sugih mukti (hidup senang lahir batin tidak kekurangan, tetapi tidak berlebihan), dan neundeun miraweuy (menyiapkan bekal masa depan).
Mereka tidak awuntah (boros) walaupun bro di juru bro di panto ngalayah di tengah imah (berlebihan). Mereka tetap ngirit (hemat) menyimpan dan memelihara sesa seubeuh (merasa kenyang) untuk dimodalkeun pada musim tanam mendatang.
Siklus basajan (sederhana) terhapus begitu saja begitu muncul sistem pertanian "modern" yang bertujuan mengejar nilai tambah dari hasil bumi komoditas ekspor. Intensitas dan pengintensifan pertanian digalakkan dengan pengolahan tanah tanpa henti, penebaran benih hasil rekayasa genetik dan bioteknologi, serta penggunaan pupuk non-organik untuk menunjang produktivitas unsur hara tanah.
Akibat modernisasi tersebut, petani digenjot tanpa punya waktu istirahat kerja dan mengistirahatkan tanah dari eksploitasi sistem. Kehilangan unsur hara tanah yang begitu dahsyat setiap musim tanam tidak dapat diimbangi oleh pemulihan kembali daya tanah yang memadai. Petani juga tak dapat dan tak sempat memproduksi sendiri benih serta penangkal hama dan penyakit. Maka, muncul ketergantungan amat sangat kepada produsen benih, pupuk, dan obat-obatan non-organik.
Para produsen inilah yang kemudian memanipulasi diri menjadi petani, sahabat petani, pendorong kemajuan petani, dan lain-lain yang sangat berbau iklan. Sementara petani asli, petani bulu taneuh, semakin terbenam ke dalam lumpur kemiskinan karena tidak lagi memiliki kedaulatan terhadap lahan pertanian, bibit, pupuk, dan obat-obatan. Sebab, semua sudah berada di tangan kekuasaan produsen, distributor, dan pengecer yang rata-rata menjalankan praktik ijon.
Contoh nyata terjadi di Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut. Tahun 2000-an tanaman jambu batu (kulutuk) di atas ratusan hektar tanah produktif dibabat habis karena hendak digantikan dengan tanaman jagung bibit unggul produk sebuah merek terkenal.
Tahun-tahun pertama memang sukses. Panen perdana menjadi berita utama media massa. Tentu saja bupati dan kepala dinas pertanian setempat mendapatkan sanjungan tanpa seorang pun mempersoalkan berapa insentif yang mereka terima dari produsen benih atas keberhasilan menjual sekian ton bibit jagung kepada petani yang semula mengusahakan jambu kulutuk.
Namun, pada musim-musim selanjutnya petani mulai kecewa. Tanaman jagung hibrida tersebut, setelah dipanen dan laku dijual, ternyata memerlukan perlakuan khusus yang membutuhkan waktu dan tenaga sangat banyak. Jagung harus dikupas, bijinya dipereteli dari tongkol, dikeringkan, dan dimasukkan ke dalam wkonsumsi; adah (karung) sebelum mendapatkan harga yang cocok. Adapun harga jual/beli berada di tangan para tengkulak yang lebih dulu memasok benih, pupuk, dan obat-obatan, serta bekal hidup sehari-hari kepada petani.
Harga jual amat rendah tidak termasuk ongkos pemeliharaan pascapanen. Padahal, ketika menanam jambu kulutuk, petani merasa lebih ringan, tinggal petik saja. Bahkan mereka dapat memajang dagangan masing-masing di pinggir jalan yang kebetulan berada di jalur wisata Situ Bagendit. Buah jambu kulutuk juga diperlukan oleh pabrik pembuat obat antidiare dan antidemam berdarah.
Sementara itu, jenis jagung hibrida tidak dapat menjadi bahan konsumsi sebagai makanan pengganti. Jagung itu tidak dapat diolah langsung sebagai cadangan persediaan pangan pada musim paceklik, seperti halnya jagung lokal biasa yang dapat diolah menjadi eumping, boder, dan kejo jagong. Sebab, dari sananya jenis jagung itu sudah dirancang hanya untuk dijual, bukan dimakan. Jenis itu dimaksudkan sebagai komoditas perputaran keuntungan produsen, bukan untuk kesejahteraan petani.
Demikian pula untuk beras/padi, petani sekadar dititipi untuk menanamnya dan diam-diam dikorbankan dalam pusaran pertarungan kaum pemodal yang tidak punya rasrasan (simpati kemanusiaan).
Semua bersumber dari berubahnya prinsip mencari kesejahteraan yang sudah diwarisi turun-temurun oleh kalangan petani menjadi mencari keuntungan yang dimiliki para pemodal dengan mengorbankan kehidupan petani dan sistem pertanian.
Begitulah, di tengah ancaman kerawanan pangan global, petani yang semula raja kuasa menjadi sahaya, hina dina tak berdaya.
USEP ROMLI HM,
Pekerja Sosial; Tinggal di Singaparna, Tasikmalaya
Source : Kompas, Senin, 3 Mei 2010 | 16:32 WIB
0 komentar:
Posting Komentar