YANG HOT KLIK DI SINI

Selasa, 18 Mei 2010

Segenggam Pasir Timah, Segunung Risiko...

Segenggam Pasir Timah, Segunung Risiko...

Oleh Yulvianus Harjono dan Wisnu Aji Dewabrata

Hanya sunyi yang terlihat di Pantai Pala, wilayah terujung barat di Kecamatan Jebus, Kabupaten Bangka Barat, pagi itu. Keindahan hamparan pasir putih, laut jernih, dan batu-batu besar di pantai tidak mampu menyembunyikan suasana mencekam saat itu.

Sudah beberapa hari terakhir ini mayoritas masyarakat di Teluk Limau tidak melaut. Kapal-kapal bersandar di tepi pantai, begitu pula ponton-ponton rakit yang biasa digunakan warga menambang timah secara ilegal di lepas pantai. ”Kami dengar akan ada razia polisi. Kami tak maulah ditangkap,” ujar Lakibu (40), seraya mengisap keretek di atas ponton rakitnya yang tengah menganggur. Pria asal Buton, Sulawesi Tenggara, ini adalah operator buruh penambang timah ilegal. Sudah dua hari ini ia tak melaut.

Lakibu dulu juga nelayan. Seiring maraknya penambangan timah ilegal di laut sejak 2006, ia banting setir menjadi penambang timah. Dalam seminggu ia bisa mendapat Rp 400.000-Rp 1 juta. Ini bedanya dengan melaut. Dalam seminggu melaut, belum tentu nelayan dapat uang Rp 300.000. Tak ayal, pasir timah mengundang banyak pendatang dari daerah asal Lakibu.

Namun, ini bukan pekerjaan mudah. Selain harus kucing-kucingan dengan polisi, risiko keselamatan tidak kalah besar. Mayoritas anak muda asal Buton yang merantau di Bangka Belitung adalah penyelam-penyelam tangguh pencari pasir timah. Postur tubuh mereka mayoritas ramping, tapi berotot. Di dalam tim, posisi mereka adalah ”jangkar”. Mereka menyelam dengan peralatan seadanya, yaitu masker dengan udara dari kompresor dan alat pengisap pasir merek Dongfeng. Menyelam hingga kedalaman 40-50 meter bukan hal mustahil bagi mereka. ”Bagi yang baru belajar, biasanya hidung atau telinga keluar darah. Beberapa, gendang telinganya pecah,” ungkap Lakibu.

Sudah tidak terhitung lagi korban yang jatuh, di darat, khususnya di laut, akibat menambang timah secara ilegal.

Simpul Wahana Lingkungan Hidup Bangka Belitung mencatat tiap minggu rata-rata 4-5 jiwa melayang akibat tambang timah inkonvensional. Sedikit yang tercatat di kepolisian. Periode Oktober-November 2004, 145 penambang ilegal tewas, sebagian di antaranya di laut.

Istri para penyelam tiap hari cemas, menanti nasib suaminya. Perasaan ini dialami Dewi (33). Perempuan asal Buton ini tidak bisa berbuat banyak untuk mencegah suaminya memilih pekerjaan berisiko tinggi ini.

”Buat cari modal dulu. Kalau sudah cukup, baru nanti pulang kampung buat usaha,” ujarnya menjelaskan alasan suaminya memilih pekerjaan itu.

Namun, nyatanya, tiga tahun menekuni profesi itu, belum terlihat tanda-tanda sejahtera. Hingga kini keluarganya masih tinggal di gubuk 4 meter x 8 meter beratap daun kelapa. Tak ada apa-apa di gubuk itu kecuali radio usang.

Menurut Joni (32), pekerja tambang inkonvensional lain, hasil mencari timah yang tak seberapa sering kali sebagian harus disetorkan kepada oknum ”aparat” TNI dan polisi. ”Sudah capek-capek, berisiko tinggi, hasil kami juga masih harus dibagi. Untuk bisa dapat tempat di laut saja, ya, masih harus bayar ’beli bendera’ Rp 500.000,” kata Joni.

Pasir timah di Bangka kini menjadi yang paling dicari. Tidak jarang menjadi ”pemantik” perselisihan. Gesekan sosial akibat tambang timah di Bangka akhir-akhir ini makin sering terjadi. Karena itu, suasana pantai Teluk Limau dalam beberapa pekan terakhir pun mencekam.

Di lain pihak, sebagian warga menolak penambangan. Dengan perahu motor, warga terus berpatroli untuk mengantisipasi masuknya kapal isap di wilayah pantai. Pekan lalu, warga beramai-ramai mengusir sebuah kapal isap yang beroperasi hanya 200 meter dari garis pantai.

Selain merusak terumbu karang, keberadaan kapal isap ini dikhawatirkan menghabiskan cadangan pasir timah yang banyak diburu warga. Menurut nelayan bernama Ratno Budi, tambang timah telah mengubah kultur dan ekonomi warga Bangka Belitung. Separuh populasi nelayan di Batu Belubang, Bangka Tengah, berubah profesi, jadi penambang ilegal.

”Para penambang timah di sini sebenarnya nelayan juga. Kalau tangkapan ikan sedang turun, kami jadi penambang timah,” kata Salimin, seorang penambang.

Modal untuk membuat ponton tambang inkonvensional (TI), atau tambang ilegal apung, bisa dari kantong nelayan sendiri, atau biaya cukong, yang berhak membeli perolehan pasir timah. Satu ponton TI apung bersama mesin penyedot dan mesin penyemprot bernilai Rp 35 juta.

Di Batu Belubang, penambang tak lagi menyelam, sebab sedimentasi lumpur sangat parah. Mereka menggunakan rajuk,

pipa plastik sepanjang empat meter, sebagai penyedot pasir timah. Untuk menanam dan mencabut rajuk dari dasar laut, harus dilakukan empat orang sekaligus.

Suasana di atas TI apung sangat tidak nyaman. Deru mesin penyedot pasir dan mesin penyemprot air memekakkan telinga, sedangkan asap yang ditimbulkan oleh mesin penyedot dan penyemprot mengganggu pernapasan. Belum lagi sengat panas matahari dan ombak yang mengguncang ponton.

Indra Ambalika, dosen Fakultas Pertanian Perikanan dan Biologi Universitas Bangka Belitung, memprediksi, jika dasar laut Bangka Belitung terus dieksploitasi, cadangan timah di sana diperkirakan akan habis pada 2027.

Ketika air mata habis akibat banyaknya nyawa melayang, yang akan tersisa nanti hanyalah laut yang rusak dan tercemar, kelangkaan ikan, dan anak-anak yang terbelakang akibat kurang protein.

Wisata pantai, dan nelayan yang mencari ikan pun, kelak tinggal cerita. ***

Source : Kompas, Senin, 17 Mei 2010 | 05:23 WIB

0 komentar:

Posting Komentar

 

TRANSLATE/TERJEMAH BAHASA

My Blog List

Site Info

Followers

LINGKUNGAN GLOBAL Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template