YANG HOT KLIK DI SINI

Sabtu, 29 Mei 2010

WADUK JATIGEDE : Dari Sawah hingga Makam Keramat

WADUK JATIGEDE

Dari Sawah hingga Makam Keramat

Aktivitas di Desa Pakualam, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang, Minggu (2/5), tak banyak terlihat. Beberapa warga bercengkerama di tepi jalan. Sepeda motor pun tak banyak yang hilir mudik. Lima orang di pos ronda asyik berteduh sambil bermain kartu.

Demikian gambaran kehidupan sehari-hari pada suatu siang di Desa Pakualam. Seluruh permukiman di desa itu akan tergenang air jika pembangunan Waduk Jatigede sudah selesai. Namun, rencana pembangunan yang telah dicetuskan setidaknya sejak 40 tahun silam itu belum direalisasikan.

Ratriningsih (35), petani di Desa Pakualam, memiliki sekitar 1 hektar lahan. Ia mempertanyakan pembangunan Waduk Jatigede yang salah satunya bertujuan meningkatkan produktivitas sawah di Jawa Barat dengan irigasi teknis.

"Kalau untuk kemajuan di daerah-daerah lain Jabar, kenapa kami di Desa Pakualam yang dikorbankan," tutur Ratriningsih. Sawah di desa itu rata-rata panen dua kali dalam setahun dengan produktivitas lebih kurang 5 ton per hektar setiap panen.

Meski harus kehilangan sawah dan rumahnya, Ratriningsih mengaku tak keberatan jika mengingat kepentingan untuk masyarakat lain jauh lebih besar. Hanya, ganti rugi atau relokasi untuk warga yang rumahnya tergenang air harus benar-benar jelas. Selain rumah dan sawah, sejumlah makam keramat juga akan tenggelam jika Waduk Jatigede sudah dibangun.

Tak keberatan

Kuncen makam keramat di Desa Cipaku, Iyat (58), mengatakan, lebih kurang 35 makam keramat akan tenggelam jika Waduk Jatigede selesai dibangun di tiga kecamatan. Ia menjaga enam makam, yakni makam Prabu Guru Aji Putih, Nyimas Ratu Ratna Inten Dewi Nawangwulan, Eyang Resi Agung, Mbah Dalem Prabu Lembu Agung, Nyimas Siti Lenggang Sari, dan Mbah Jalul. Mereka adalah keluarga Kerajaan Sumedanglarang yang diperkirakan berdiri pada abad ke-15 Masehi dan termasuk kerajaan penyebar Islam.

Peziarah memberikan sumbangan yang digunakan untuk merawat makam, membayar tukang sapu, dan membiayai pembenahan tempat istirahat peziarah jika diperlukan. Rata-rata, total pengeluaran untuk makam-makam itu sekitar Rp 100.000 per bulan, sementara jumlah sumbangan tak menentu.

"Kalau ramai, bisa dapat Rp 300.000 per bulan. Tapi, kalau sepi, hanya Rp 100.000 per bulan. Padahal, saya harus setor Rp 500.000 per bulan ke Pemerintah Kabupaten Sumedang," katanya.

Iyat tidak keberatan terhadap rencana pembangunan Waduk Jatigede. Faktor paling penting adalah masyarakat yang terkena dampak pembangunan itu. "Kalau nanti makam digenangi air atau dipindahkan, terserah pemerintah saja. Pikirkan dulu masyarakatnya," kata Iyat.

Mengenai kemungkinan timbulnya dampak jika makam dipindahkan, Iyat tidak menjawabnya secara langsung. Ia malah menuturkan kejadian tentang makam keramat di Desa Cisitu, Kecamatan Cisitu, Kabupaten Sumedang, yang dilalui jalur pembangunan jalan.

Peralatan berat sempat tidak berfungsi saat hendak mengerjakan jalan tersebut. Namun, aktivitas kembali normal ketika jalur dibelokkan sehingga tidak melintasi makam. Namun, Iyat tidak mengetahui tokoh yang dimakamkan itu. (dwi bayu radius)***

Source : Kompas, Senin, 3 Mei 2010 | 13:40 WIB

0 komentar:

Posting Komentar

 

TRANSLATE/TERJEMAH BAHASA

My Blog List

Site Info

Followers

LINGKUNGAN GLOBAL Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template