KERUSAKAN LINGKUNGAN
Penambangan Perlu Diaudit
Patuhi Kaidah Penambangan yang Baik
JAKARTA - Pemerintah diharapkan segera membentuk panel khusus untuk mengaudit penambangan batu bara di wilayah Kalimantan. Audit itu untuk mengetahui sebaran penambangan, kesesuaian lahan, dan kepatuhan pemilik kuasa pertambangan pada standar lingkungan.
Hal ini disampaikan Ridaya Laodengkowe, koordinator Koalisi Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Rabu (27/1) di Jakarta. Koalisi ini terdiri dari 43 organisasi nonpemerintah di Indonesia untuk mengampanyekan transparansi dan akuntabilitas sektor ekstraktif.
Sejauh ini, pemerintah daerah dan pusat dinilai saling tunggu untuk mengambil langkah yang mesti dilakukan guna mengatasi masalah penambangan yang merambah hutan konservasi di Kalimantan. Pemerintah daerah menuding pemerintah pusat seenaknya mengeluarkan izin dan menetapkan wilayah hutan. Pemerintah pusat menuduh pemda tidak terkendali memberikan kuasa pertambangan.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang diharapkan jadi kerangka hukum penyelesaian situasi ini hingga kini belum berdampak. Pembahasan rancangan peraturan pemerintah sebagai pelaksanaan UU No 4/2009 itu berlarut-larut sehingga penataan izin usaha pertambangan berikut wilayah pertambangan jadi tertunda.
Untuk menghindari dampak lebih jauh, PWYP mendesak agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera membentuk panel khusus untuk mengaudit. Audit itu mencakup sebaran penambangan, kepemilikan, kesesuaian lahan, kepatuhan pada standar lingkungan, dan ketentuan fiskal yang berlaku.
”Untuk menjamin integritas panel khusus, kami usulkan panel terdiri dari unsur pemerintah pusat dan daerah, akademisi dan kalangan organisasi masyarakat sipil,” kata Ridaya. Panel khusus ini bekerja sekaligus sebagai rintisan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 169 UU No 4/2009.
Pada kesempatan terpisah, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Darwin Zahedy Saleh menyatakan, aktivitas penambangan harus sesuai undang-undang. ”Aktivitas penambangan di kawasan hutan konservasi tidak boleh dilakukan,” ujar Darwin.
Saat ini, kementerian terkait di bawah koordinasi Menteri Koordinator Perekonomian sedang membahas dan merumuskan langkah-langkah soal tumpang tindih itu.
Lembaga berwenang, dalam hal ini Kementerian Kehutanan dan aparat hukum, lebih tahu kawasan-kawasan yang dilanggar. Di lain pihak, kuasa-kuasa pertambangan diterbitkan oleh pemerintah daerah tingkat dua.
Presiden Direktur BHP Billiton Indra Diannanjaya, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR, kemarin, menyatakan, pengelolaan lingkungan seharusnya menjadi bagian integral dari pertambangan. Jadi, setelah selesai menambang, lahan bekas tambang harus direklamasi, dilanjutkan rehabilitasi lahan, dan penanaman kembali atau revegetasi.
Saat ini terjadi salah kaprah di kalangan pemilik kuasa pertambangan di daerah terkait pengelolaan lingkungan. Jaminan reklamasi dianggap uang yang dititipkan ke pemerintah sehingga banyak pemilik kuasa pertambangan menganggap terbebas dari kewajiban reklamasi tambang.
Untuk melindungi lingkungan, Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta, kemarin, menyatakan, timnya sedang mengevaluasi dan membuat kategorisasi tambang yang merusak dan tidak merusak.
”Ini fungsi pengawasan yang dapat dilakukan berdasarkan undang-undang,” ujarnya. Undang-undang dimaksud adalah UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Di Provinsi Kalimantan Selatan saja kini terdapat 1.180 izin kuasa penambangan yang dikeluarkan pemerintah kabupaten/kota. Sebanyak 32 izin kontrak karya penambangan dikeluarkan Kementerian ESDM.
Di dalam rancangan peraturan pemerintah soal mineral dan batu bara, izin kuasa pertambangan ini kemungkinan akan dihapus. (EVY/NAW)***
Source : Kompas, Kamis, 28 Januari 2010 | 03:13 WIB
0 komentar:
Posting Komentar