TATA HUSEN. (Foto:Kompas/Mukhamad Kurniawan)***
Lurah Tata, "Sabuk Hijau" Sungaibuntu
Gelombang laut bagi sebagian warga pesisir utara Pulau Jawa serupa dengan musuh yang terus menggempur. Terjangannya merenggut tambak, bangunan, bahkan jalan. Kenyataan itu membuat Tata Husen miris. Dia pun tergerak untuk terus berjuang menahan laju abrasi.
Oleh Mukhamad Kurniawan
Usahanya menghijaukan kawasan pantai Desa Sungaibuntu, Kecamatan Pedes, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, sejak tahun 2003 kini berbuah manis. Kawasan yang dulu sepi itu bahkan berevolusi menjadi obyek wisata pantai yang diminati pengunjung.
Setiap hari libur, seperti hari raya dan tahun baru, kawasan pantai Desa Sungaibuntu dikunjungi 1.500-2.000 orang. Pada akhir pekan mencapai ratusan orang. Selain itu, ada 32 warung yang buka pada Sabtu-Minggu dan ratusan pedagang dadakan pada hari libur nasional.
Warga desa merasakan dampak ekonomi dari perubahan itu. Pengelola tiket, petugas keamanan, penyedia jasa perahu, dan mayoritas pedagang di kawasan tersebut adalah warga dari sejumlah kampung di Desa Sungaibuntu.
Suasana itu sangat kontras jika dibandingkan dengan sebelum tahun 2003. Ketika itu, jalan menuju kawasan pantai rusak, tambak-tambak gersang, dan tidak ada rumah makan atau warung masakan laut di tepi pantai. Daratan terus digempur ombak dan sebagian telah lenyap tergerus.
”Enam tahun lalu belum ada ’kehidupan’ di sini, jarang ada orang yang sengaja datang kecuali para pemilik dan buruh tambak,” ujar Lurah Tata, panggilan Tata Husen.
Ketika itu orang lebih suka datang ke Pantai Pisangan di Kecamatan Cibuaya (sekitar tiga kilometer arah barat Desa Sungaibuntu), Pantai Tanjung Baru di Kecamatan Cilamaya Kulon (17 kilometer arah timur dari Sungaibuntu), atau ke Pantai Tanjung Pakis di Kecamatan Pakisjaya (30 kilometer dari Sungaibuntu).
Tanam pohon
Usaha Tata membangun kawasan pantai dimulai dengan menanam pohon bakau, api-api, dan ketapang. Dia yakin deretan pohon yang tumbuh mengakar akan menjadi benteng penahan abrasi yang tangguh. Pepohonan itu juga menjadi habitat alami bagi beraneka biota air payau, menjadi penahan angin laut, serta peneduh dari terik matahari.
Akan tetapi, tidak mudah bagi Tata mewujudkan hal itu. Salah satu kesulitannya adalah tidak tersedianya bibit pohon. Kawasan pantai di sekitar Sungaibuntu umumnya tidak memiliki ”sabuk hijau”.
Tata pun harus berjalan kaki 3-5 kilometer ke timur atau barat menyusuri pantai untuk mengumpulkan bibit. Dia memungut setiap biji yang jatuh dan telah tumbuh menjadi tunas atau anakan pohon yang muncul di dekat induknya.
Calon-calon bibit itu kemudian dia rawat dalam pot-pot plastik. Dia juga menyediakan lahan khusus untuk pembibitan yang aman dari gelombang laut. Setelah berusia 2-3 bulan, Tata memindahkan bibit-bibit pohon tersebut ke tepi laut.
Segenap usaha itu lebih banyak dia jalani sendiri. Sebab, meski telah lima tahun menjabat sebagai Kepala Desa Sungaibuntu (ketika itu tahun 2003), Tata kesulitan menggalang dukungan dari warganya. Warga umumnya abai dengan hal itu. Hanya beberapa orang yang secara sukarela membantunya mengumpulkan dan menanam bibit pohon.
”Saya merasa butuh ribuan bibit karena tingkat keberhasilan tumbuhnya rendah. Namun, karena sulit mengumpulkan bibit dalam jumlah besar, saya membayar siapa saja yang datang ke sini membawa anakan pohon, ketika itu Rp 200 per bibit,” ujarnya.
Menurut Tata, hanya sekitar 60 persen bibit yang tumbuh dengan baik hingga usia 2-3 bulan. Setelah dipindahkan ke lokasi penanaman di tepi pantai, lebih dari separuh bibit mati karena tergerus gelombang atau tidak tahan dengan perubahan cuaca.
Tata memutar otak untuk menyiasatinya. Dia, antara lain, menggunakan pot plastik dan bambu untuk pembibitan, mengatur jarak tanam, dan mengikat 3-5 bibit sekaligus di satu titik penanaman. Usaha otodidak ini relatif lebih berhasil ketimbang cara-cara sebelumnya.
Tata merasa usahanya menghijaukan kawasan pantai belum selesai karena baru sekitar satu kilometer panjang pantai yang berhasil ditanami. Belasan ribu bibit telah mati dan karena itu dia merasa perlu terus menambah cadangan bibit pohon.
Beberapa tahun terakhir, Desa Sungaibuntu mendapat bantuan bibit dari sejumlah perusahaan besar di Karawang. Koleksi bibit pun meningkat. Kini Tata mempersilakan warganya mengambil bibit secara gratis untuk ditanam di tambak atau di pekarangan rumah mereka masing-masing.
Wisata
Tata juga membangun kawasan itu dengan mendirikan warung makan dan mempercantik pantai. Pada tahap awal dia membangun empat warung minuman dan makanan ringan serta masakan khas laut, seperti ikan, udang, dan cumi bakar. Hasil tangkapan nelayan itu dibeli dari tempat pelelangan ikan desa setempat.
Usaha itu ternyata menarik minat pengunjung. Pada tahun-tahun selanjutnya warga mulai membangun warung. Jumlah warung terus meningkat seiring bertambahnya jumlah pengunjung, terutama pada musim libur. Warga pun sepakat mengelola kawasan dan menamainya Pantai Samudera Baru.
Obyek wisata Pantai Samudera Baru dikelola sendiri oleh desa dan Tata Husen sebagai ketua. Belasan pemuda desa pun membantu mengelola tiket masuk, parkir, retribusi pedagang, dan keamanan. Jumlah warga yang terlibat pengelolaan lebih banyak pada hari libur.
Tata menambahkan, pengelola mematok tarif masuk Rp 5.000 per orang. Pendapatan dari usaha itu dimanfaatkan untuk membangun infrastruktur wisata, seperti meningkatkan kualitas jalan di tepi pantai, membangun panggung hiburan, fasilitas kamar mandi, dan menghijaukan kawasan.
Selain itu, sebagian pendapatan disetor sebagai pendapatan asli daerah. Tahun 2008 jumlahnya Rp 8 juta. Namun, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Karawang mencatat pendapatan dari Pantai Samudera Baru relatif stabil daripada Pantai Tanjung Baru atau Pantai Pisangan.
Pantai Tanjung Baru dan Pisangan bahkan cenderung tak terurus karena tarik ulur pengelolaan antara pemerintah desa, investor, dan pemerintah kabupaten. Selain sebagian fasilitasnya mangkrak, kawasan pantai juga semakin tergerus abrasi, seperti terjadi di sebagian pesisir utara Karawang lainnya.
Usaha Tata belum berakhir. Belasan ribu bibit yang dia tanam memang telah mati, tetapi itu tidak menyurutkan niatnya menghijaukan sekaligus menghidupkan kawasan pantai.
Source : Kompas, Jumat, 22 Januari 2010 | 05:45 WIB
Ada 2 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda
Bumi @ Jumat, 22 Januari 2010 | 15:18 WIB
Jempol buat Pal Lurah , saya salut masih ada lurah yang perhatikan lingkungan dari pada tanan bengkok, jangan putus asa pak Lurah, hubungi Disbun/pertanian
Sausan Yusria @ Jumat, 22 Januari 2010 | 09:49 WIB
Oke sekali. Kami mendukung upaya dan kerja kerasmu, Pak Lurah. Semoga ada lurah-lurah lain yang inovatif dan kreatif sepertimu. Aku doakan untuk kesuksesanmu.
0 komentar:
Posting Komentar