YANG HOT KLIK DI SINI

Senin, 01 Februari 2010

FENOMENA Beku di Tengah Isu Pemanasan Global

FENOMENA

Beku di Tengah Isu Pemanasan Global

Monsun pada musim hujan seperti sekarang dikenal masyarakat pesisir sebagai saat tiba angin barat yang ganas. Pada dekade terakhir hal ini diperparah fenomena semesta belahan Bumi utara yang beku di tengah isu pemanasan global, membuat monsun Indonesia makin kuat. Pada saat sama, Indonesia juga sedang di bawah pengaruh peristiwa iklim nonkosmogenik.

Fenomena beku di tengah isu pemanasan global, menurut ahli astrofisika Mezak Arnold Ratag, Senin (18/1), disebabkan dalam 50 tahun terakhir ada indikasi kuat puncak-puncak aktivitas Matahari menurun, ditandai minimnya jumlah bintik hitam matahari (sunspot).

Kondisi ini mengingatkan pada Zaman Es Kecil (1645-1715) yang mengalami pendinginan ”mendekati” global. Menurut Ratag, ketika itu bintik hitam matahari tidak kelihatan selama berpuluh tahun.

Keadaan itu mirip dengan kondisi sekarang. Di China, misalnya, musim salju datang lebih awal, yaitu awal November 2009 dan temperatur udara mencapai -32 derajat celsius.

Di Eropa badai salju pada akhir Desember 2009 menyebabkan sedikitnya 80 orang tewas dan di Amerika dalam sepekan terakhir Desember 2009 badai salju menewaskan 18 orang.

Hampir semua negara tersebut menyatakan badai salju Desember lalu terburuk yang pernah dialami selama hidup.

Dampak di Indonesia

Mezak Ratag mengatakan, pengamatan di Observatorium Kitt Peak, Arizona, dan Observatorium Belgia memperlihatkan pola bulanan bintik matahari minimum saat ini jauh lebih sedikit, dibandingkan statistik 100 tahun terakhir. Bagi Indonesia, dampaknya berupa monsun makin kuat karena beda suhu udara (gradien) di lintang tinggi dan lintang rendah membesar.

Tekanan udara pun makin senjang sehingga mengakibatkan angin bertiup makin kencang dari tekanan tinggi di wilayah dingin ke tekanan rendah di wilayah panas di khatulistiwa. Keadaan itu menghasilkan angin barat ganas yang membuat Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika berkali-kali membuat peringatan dini.

Angin kencang berembus dari Siberia menuju Laut China Selatan, masuk ke Laut Jawa, dan bergerak ke timur. Kondisi Laut Jawa hingga Laut Arafura berubah membahayakan karena gelombang setinggi 4-5 meter dengan kecepatan angin mencapai 45 kilometer per jam.

Kepala Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaludin menyatakan, pemantauan aktivitas Matahari di Indonesia sejak 2005 menunjukkan bintik hitam matahari hanya berkisar nol sampai sembilan. ”Ini sangat minimum karena maksimumnya mencapai 100 bintik hitam matahari,” ujar Djamaludin.

Lapan sejak tahun 1975 memiliki Stasiun Pengamatan Dirgantara di Tanjungsari, Sumedang, Jawa Barat. Salah satunya untuk pengamatan bintik hitam matahari yang hasilnya dilaporkan ke bank data di Swiss.

Bintik hitam matahari adalah istilah untuk indikator giatnya aktivitas Matahari dalam suatu periode dan dipantau dalam skala jumlah nol sampai 100 bintik. Diameter bintik mencapai 32.000 kilometer dan terdiri dua lapisan. Bagian dalam, umbra, berdiameter sekitar 13.000 kilometer, sedangkan di luarnya, penumbra, berdiameter sekitar 19.000 kilometer.

Tetap panas

Djamaludin mengatakan, aktivitas Matahari yang diindikasikan menurun saat ini tidak terlalu direspons belahan Bumi selatan maupun daerah lintang khatulistiwa. Wilayah ini tetap saja panas ketika dilintasi gerak semu Matahari yang berdampak pada tingginya uap air dan mendatangkan musim hujan seperti terjadi sekarang.

”Memang belum ada penelitian konklusif soal respons terhadap aktivitas Matahari itu,” ujar Djamaludin.

Menurut Djamaludin, wilayah Indonesia terpengaruh fenomena nonkosmogenik atau disebut pengaruh regional, antara lain El Nino, La Nina, dipole mode, Madden-Julian Oscilation. Fenomena regional inilah yang memengaruhi panjang-pendek atau intensitas musim hujan atau musim kemarau.

Fenomena kosmogenik seperti naik-turunnya aktivitas matahari jauh lebih direspons belahan Bumi utara. Baru-baru ini ada studi tentang posisi Matahari saat berada di belahan Bumi selatan dan pengaruhnya pada es di Kutub Selatan atau Antartika.

Menghangatnya Bumi belahan selatan memengaruhi lapisan es Antartika. Tim periset Universitas Oxford dan Universitas Cambridge, Inggris, baru-baru ini mengungkap hasil studi, yaitu lembar es Antartika barat mulai tidak stabil. Tim ini mengembangkan model menjelajahi perubahan lapisan es dari dasar hingga lapisan mengapung.

Tim ini, yang diwakili Dr Richard Katz dari Departemen Ilmu Kebumian Universitas Oxford, seperti dilansir situs www.sciencedaily.com, menengarai, jika lapisan es Antartika barat meleleh, permukaan laut akan naik 3,3 meter. Model yang dikembangkan menunjukkan ketidakstabilan pada garis landasan yang disebabkan perubahan iklim. Itu dapat menimbulkan perpecahan es.

”Model-model iklim global sering menggunakan asumsi ketika dunia menghangat, lembaran es akan mencair dengan stabil lalu menyebabkan kenaikan muka laut bertahap,” kata Katz. Namun, struktur lapisan es jauh lebih kompleks. Ini mengindikasikan mungkin saja es di Kutub Selatan meleleh bertahap atau bisa serentak seketika.

Fenomena alam seperti membingungkan. Saat orang membahas pemanasan global dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB di Denmark, Kopenhagen, 7-18 Desember 2009, justru terjadi pendinginan paling ekstrem. Apakah naiknya suhu muka Bumi merupakan gabungan antara ulah manusia dan kerja alam, ilmu pengetahuan harus menjawab. (NAW)***

Source : Kompas, Jumat, 29 Januari 2010 | 02:33 WIB



0 komentar:

Posting Komentar

 

TRANSLATE/TERJEMAH BAHASA

My Blog List

Site Info

Followers

LINGKUNGAN GLOBAL Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template