YANG HOT KLIK DI SINI

Senin, 01 Februari 2010

Masyarakat Diminta Agar Berhemat Air

WADUK GAJAH MUNGKUR
Keadaan di sekitar pintu air Waduk Gajah Mungkur, Wonogiri, Jawa Tengah, pertengahan Oktober 2009. Elevasi waduk yang terus turun membuat air tidak bisa digunakan untuk memutar turbin PLTA dan irigasi pertanian. (Foto:Kompas/Heru Sri Kumoro)***

KELISTRIKAN

Berhemat Air agar Listrik Tetap Menyala

Di sejumlah daerah di Tanah Air, hujan masih saja turun. Bahkan, di wilayah tertentu, ancaman banjir dan longsor akibat masih tingginya curah hujan masih terus diwaspadai. Namun, jangan lupa, meski kemarau belum juga datang, potensi kekeringan sudah mengintai.

Kekeringan tak hanya jadi ancaman serius pada sektor pertanian, tetapi juga bisa mengganggu kelangsungan sektor industri yang memanfaatkan listrik sebagai salah satu roda penggerak produksi. Begitu waduk-waduk penampungan air untuk memproduksi listrik di sejumlah pembangkit listrik tenaga air (PLTA)—terutama yang ada di Jawa, seperti PLTA Cirata, Saguling, dan Jatiluhur—tak terisi sesuai batas ketinggian normal, optimalisasi produksi jelas terganggu.

”Guna mengantisipasi kemungkinan terburuk akibat terjadinya fenomena El Nino, kami telah menerapkan penghematan air,” kata Tuwarso, anggota staf teknik hidrologi dan sedimentasi Badan Pengelola Waduk Cirata (BPWC), Selasa (19/1).

Kendati hujan masih turun, saat ini elevasi Waduk Cirata baru di angka 210 meter di atas permukaan laut. Padahal, batas kritis di angka 206 meter. Jika ketinggian air waduk di bawah 206 meter di atas permukaan laut, volume air yang tersedia tak akan cukup untuk menggerakkan turbin pembangkit listrik.

Menyikapi situasi ini, BPWC mengambil kebijakan hanya memproduksi listrik 3-4 jam per hari. Dari 8 unit unit pembangkit yang ada di PLTA Cirata, saat ini hanya 3-4 unit yang berproduksi setiap hari pada setiap beban puncak pada pukul 17.00 hingga 20.00.

Menurut Tuwarso, langkah ini diambil untuk menjaga kelangsungan ketersediaan air hingga musim hujan berikutnya. Langkah penghematan semacam ini dinilai sebagai antisipasi terbaik.

”Pengaturan lama produksi listrik atau berapa unit pembangkit yang akan digunakan antara lain bergantung pada laporan elevasi dari pengelola waduk,” kata Kepala BPWC Suhta E Putra.

Persoalan relatif sama juga menimpa PLTA Batu Tegi di Lampung. Begitu pun PLTA yang memanfaatkan Waduk Serbaguna Wonogiri di Jawa Tengah.

Sebaliknya, keberadaan PLTA Asahan di Sumatera Utara hingga sejauh ini masih tergolong aman. Belum ada pengaruh pasokan air ke Bendungan Siguragura di Danau Toba. ”Level permukaan air di Danau Toba normal,” kata Panusur L Tobing, Kepala Badan Otorita Asahan Perwakilan Medan.

Potensi energi

Indonesia sebenarnya memiliki potensi energi air yang cukup besar untuk dimanfaatkan sebagai pembangkit tenaga listrik. Perusahaan Listrik Negara (PLN) mencatat, potensi tenaga hidro ini mencapai 70.000 megawatt (MW). Namun, hingga saat ini PLTA hanya menyumbang 7-8 persen dari keseluruhan kapasitas pembangkit listrik di Indonesia, yang mencapai 29.000 MW. Tercatat ada 203 unit pembangkit tenaga air dengan total kapasitas terpasang sekitar 3.529 MW dan produksi energi sekitar 8.759 giga-watt-hour.

Sejarah perusahaan listrik di Indonesia diawali dengan pengoperasian pembangkit listrik di wilayah Jawa Barat oleh Landswaterkrachtbedrij West Java, sebuah perusahaan pembangkit listrik milik pemerintah Hindia Belanda.

PLTA generasi awal yang dibangun tahun 1920-an tersebut umumnya berskala relatif kecil. PLTA Bengkok yang dibangun tahun 1923, misalnya, berkapasitas 3 x 1.050 kilowatt (KW). Sementara PLTA Ubrug berkapasitas 2 x 5.400 KW dan PLTA Karacak 2 x 5.500 KW. Akan tetapi, untuk ukuran kebutuhan listrik saat itu, daya yang dihasilkan oleh pembangkit-pembangkit tersebut sudah tergolong besar.

Setelah kemerdekaan, pemanfaatan air untuk pembangkit merupakan bagian yang terintegrasi dengan pemanfaatan jalur sungai-sungai besar, terutama di Jawa. Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum merupakan contoh paling nyata bagaimana sebuah aliran sungai bisa menghidupi banyak PLTA.

DAS Citarum membentang dari mata air di Gunung Wayang sampai muara di Tanjung Karawang sepanjang lebih kurang 270 kilometer. Luas wilayah DAS-nya mencapai 6.080 kilometer persegi, termasuk daerah hulu seluas 1.771 kilometer persegi.

Bagian hulu terdiri atas 6 sub-DAS, yaitu Citarik, Cirasea, Cihaur, Cisangkuy, Ciwidey, dan Cikapundung. Sub-DAS Cisangkuy bahkan sudah dimanfaatkan untuk membangkitkan PLTA Plengan (3 x 3,5 MW), PLTA Lamajan (2 x 6,5 MW), dan PLTA Cikalong (3 x 6,5 MW).

Di Sungai Citarum sendiri ada tiga waduk besar yang dibangun untuk menyokong tiga PLTA, yaitu PLTA Jatiluhur (6 x 25 MW) yang dibangun tahun 1962, PLTA Saguling (4 x 175 MW) yang dibangun tahun 1984, dan PLTA Cirata (6 x 151 MW) yang dibangun tahun 1988.

Pemanfaatan air sebagai pembangkit listrik juga diterapkan di luar Jawa. Sebutlah seperti PLTA Koto Panjang dan PLTA Singkarak yang mulai beroperasi pada akhir 1990-an. Sayangnya peran PLTA ini semakin lama semakin berkurang.

Bergantung alam

Kinerja PLTA sangat bergantung pada kondisi DAS di bagian hulu yang menjadi penangkap air. Penggundulan hutan di daerah hulu mempercepat presipitasi yang akhirnya membuat sedimentasi di waduk menjadi sangat tinggi. Akibatnya, waduk tidak mampu mencapai debit air yang maksimal untuk menghasilkan tenaga listrik.

”Kinerjanya memang sangat bergantung pada musim dan kondisi di hulu,” kata Nasri Sebayang, Direktur Teknologi dan Perencanaan PT PLN.

Dengan harapan kondisi musim hujan yang lebih panjang, tahun ini PLN memproyeksikan sumbangan tenaga hidro dalam keseluruhan daya akan mengalami pembiasan hingga 9.860 MW, lebih tinggi dari target tahun lalu sebesar 9.500 MW.

Seiring tekanan kebutuhan untuk mendapatkan daya listrik dalam waktu yang cepat, PLTA bukan menjadi pilihan meskipun harga listrik yang dihasilkan cukup murah. Sebagai perbandingan, biaya pokok penyediaan listrik yang dibangkitkan dengan air hanya sekitar Rp 140 per kilo-watt-hour (kWh), batu bara Rp 500 per kWh, sedangkan solar Rp 3.000 per kWh.

Nasri mengemukakan, pembangunan PLTA membutuhkan waktu minimal 24 bulan, sementara pembangkit listrik berbahan bakar minyak bisa siap beroperasi dalam waktu enam bulan. Tidak heran bila dari waktu ke waktu peran PLTA semakin berkurang.

PLTA terakhir yang masuk ke sistem kelistrikan berlokasi di Sumatera, yaitu PLTA Sipansihaporas (50 MW) dan PLTA Renun (2 x 41 MW). Kedua PLTA itu beroperasi tahun 2004.

Namun, menurut Nasri, potensi untuk membangun PLTA baru masih tetap ada. ”Jika pembangkit-pembangkit listrik berbahan bakar batu bara yang sedang dibangun di Jawa sudah selesai semuanya, akan ada daya berlebih pada siang hari. Daya berlebih ini bisa dimanfaatkan untuk memompa air yang bisa menggerakkan turbin PLTA. Jadi, pada waktu malam hari PLTA bisa ikut menanggung beban puncak kelistrikan,” kata Nasri.

PLN berencana membangun PLTA Upper Cisokan dengan kapasitas 1.000 MW. PLTA tersebut akan menjadi yang terbesar yang pernah dibangun. Untuk proyek yang diperkirakan menelan dana 1 miliar dollar AS ini, PLN mendapat dukungan Bank Dunia melalui program pemanfaatan energi baru dan terbarukan.

Meskipun jumlahnya tidak banyak, PLN juga berencana membangun beberapa PLTA baru dalam program percepatan pembangkit tahap kedua. PLTA baru tersebut di antaranya PLTA Bakaru (2 x 63 MW) dan PLTA Asahan III (174 MW).

Masalahnya, ketika curah hujan rendah, sementara kondisi hutan di kawasan hulu DAS semakin hancur, masihkah kita bisa berharap banyak kepada sejumlah PLTA yang sudah ada dan yang kelak akan dibangun? (aha/wsi/hln/eki/DOT)*** Source : Kompas, Jumat, 29 Januari 2010 | 03:12 WIB

0 komentar:

Posting Komentar

 

TRANSLATE/TERJEMAH BAHASA

My Blog List

Site Info

Followers

LINGKUNGAN GLOBAL Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template