YANG HOT KLIK DI SINI

Senin, 01 Februari 2010

MIKROBIOLOGI "Beyonic" untuk Revegatasi

MIKROBIOLOGI

"Beyonic" untuk Revegatasi
Oleh Nawa Tunggal

Istilah beyonic dikenalkan sebagai singkatan dari beyond bio-organic. Artinya, beyonic sebagai teknologi untuk menjadikan pupuk organik tidak sekadar sebagai pupuk penyubur tanaman, tetapi menjadi pupuk yang bisa menjalankan misi lain, seperti pemulihan lahan bekas tambang yang kini terserak mahaluas di Tanah Air.

Logam berat yang biasa terkandung pada lahan bekas tambang adalah ancaman mematikan. Logam berat tak hanya di lahan bekas tambang, tetapi bisa di mana-mana.

Logam berat juga biasanya terlarut di dalam air. Dia pasti terbawa air menuju permukaan tanah yang lebih rendah, lalu bermuara ke laut.

Di dalam tanah, logam berat diserap tanaman. Kalau kebetulan itu tanaman pangan, sumber pangan itu berpotensi karsinogenik, menyebabkan penyakit kanker.

Manakala terlarut di dalam air dan hanyut ke laut, ikan liar atau yang dibudidayakan di tambak-tambak berpotensi menyerap logam berat. Bagi yang mengonsumsinya, akumulasi logam berat bisa menyebabkan kanker.

Sindrom Minamata mengingatkan kita pada kandungan logam berat merkuri (Hg) atau air raksa di dalam tubuh ikan. Begitu pula logam berat kadmium (Cd) dan timbal (Pb) juga sering ada pada udang tambak ekspor.

Bukan hanya aktivitas tambang yang menghasilkan logam berat. Industri di perkotaan pun bisa. Pemakaian pupuk dan pestisida berbahan kimia juga bisa. Untuk mengantisipasi, dibutuhkan perlakuan khusus terhadap media yang ditumpangi logam berat, yaitu tanah dan air.

Penggunaan teknologi beyonic di lahan bekas tambang hanyalah sebagai ilustrasi bioremediasi atau pemulihan lahan. Masih banyak lahan, seperti tambak, sempadan sungai, lahan pertanian, kawasan perkebunan, dan sebagainya, yang sudah tercemar logam memerlukan terapi beyonic ala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Total kandungan

I Made Sudiana sebagai Koordinator Riset Beyonic dari Pusat Penelitian Biologi LIPI mengatakan, teknologi beyonic sudah diaplikasikan di lahan bekas tambang Freeport, Papua. Pertama kali yang harus dilakukan adalah mengetahui total kandungan unsur pada lahan.

”Di lahan bekas tambang biasanya terdapat total karbon, mikronutrien, dan nitrogen yang rendah, sedangkan kandungan sulfur dan logam beratnya tinggi. Itulah yang harus ditangani,” kata Sudiana.

Pertama-tama, total karbon harus ditingkatkan dengan membuat pupuk organik dari bahan yang ada di wilayah setempat. Di Freeport, Sudiana mencontohkan, pupuk kompos dibuat dari enceng gondok yang mudah dan banyak ditemui.

Enceng gondok dijadikan pupuk kompos dengan ditambahkan mikroba. Mikroba untuk pembuatan kompos ini lazim diperoleh di toko-toko pertanian.

Setelah jadi, pupuk kompos ditebarkan untuk meningkatkan total karbon dan mikronutrien. Mikroba penambat nitrogen dari udara juga disertakan sehingga ketersediaan nitrogen cukup tinggi.

Menurut Sudiana, untuk contoh kasus di Freeport itu di dalam tailing terdapat kadar total fosfat yang perlu dilarutkan supaya tanaman mudah tumbuh. Maka, dicari mikroba yang mampu melarutkan fosfat.

Untuk mengetahui mikroba di dalam tanah setempat, dilakukan analisis enzim tanah dengan metode fluorescein diacetate. Metode ini mampu mengukur aktivitas total enzim protease, lipase, dan esterase.

”Di Freeport kemudian ditemukan mikroba Bacillus sp dan Pseudomonas sp yang membantu melarutkan fosfat batuan menjadi fosfat yang dibutuhkan tanaman,” kata Sudiana.

Pemulihan lahan di Freeport pertama kali diutamakan agar lahan bisa ditanami kembali. Tanaman yang dipilih adalah tanaman yang tumbuh cepat.

Ada empat tanaman yang tumbuh cepat, yaitu angsana (Pterocarpus indicus), sengon buto (Enterolobium cuclocarpum), Paraseriantes falcataria, dan Acasia mangium.

Keempat jenis tanaman itu terbukti tumbuh subur setelah diberi pupuk dan mikroba yang berhasil dikembangbiakkan. Di sinilah peran teknologi beyonic. Teknologi ini melampaui fungsi pupuk organik yang sekadar menyuburkan, menjadi pupuk dengan mikroba yang mengantar ke tujuan yang ingin dicapai.

Saat ini, Pusat Penelitian Biologi LIPI telah mengoleksi berbagai mikroba dari sejumlah tempat lahan bekas tambang atau tailing, seperti pada lokasi bekas tambang batu bara yang kini dipersoalkan di Kalimantan.

Mikroba yang diisolasi dari lahan bekas tambang batu bara memiliki kemampuan melarutkan fosfat organik dan anorganik, mereduksi senyawa SO (sulfate reducing bacteria) dan penambat nitrogen.

Revegetasi lahan bekas tambang merupakan langkah awal untuk menyelamatkan lingkungan dari kerusakan akibat penambangan.

Ketika lahan dimanfaatkan untuk tanaman pangan, yang harus dicari adalah mikroba pemakan unsur logam berat. Caranya tak jauh beda dengan menemukan mikroba pelarut fosfat. Mikroba itu akan menumpang pada pupuk organik untuk memakan logam berat sehingga logam berat tidak terserap tanaman atau makhluk hidup. ***

Source : Kompas, Jumat, 29 Januari 2010 | 03:21 WIB

Ada 2 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda

yuwono @ Jumat, 29 Januari 2010 | 15:11 WIB
Sungguh luar biasa! Bolehkah saya mengetahui lbh dalam penelitian dari LIPI? Dalam situs apa bisa saya lihat?

Carmelita Mamonto @ Jumat, 29 Januari 2010 | 09:18 WIB
untuk menetralkan bahan kimia, dibutuhkan lebih banyak lagi bahan kimia sehingga semakin banyak bahan kimia masuk ke lingkungan kita..Stop Pencemaran skrg juga!

0 komentar:

Posting Komentar

 

TRANSLATE/TERJEMAH BAHASA

My Blog List

Site Info

Followers

LINGKUNGAN GLOBAL Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template