YANG HOT KLIK DI SINI

Senin, 15 Februari 2010

Opini tentang Pemahaman Hasil dari Kopenhagen

Memahami Hasil dari Kopenhagen

Oleh AMANDA KATILI NIODE

Telah banyak ditulis oleh para wartawan dan analis mengenai hasil pertemuan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim ke-15 , 7-19 Desember 2009 di Kopenhagen, Denmark.

Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) sebagai penanggung jawab kegiatan (focal point) perundingan internasional terkait perubahan iklim juga telah melakukan sosialisasi kepada berbagai pihak mengenai hasil-hasil pertemuan Kopenhagen tersebut. Tulisan ini dibuat untuk memperjelas beberapa hal yang dirasakan masih menimbulkan kebingungan dan—bagi sebagian pihak—ketidakpuasan.

Sidang konvensi yang dilaksanakan secara tahunan kali ini memfokuskan perundingan pada upaya-upaya memenuhi mandat Peta Jalan Bali (Bali Road Map) yang dihasilkan oleh pertemuan serupa dua tahun lalu di Bali. Pertemuan Kopenhagen seharusnya menghasilkan kesepakatan-kesepakatan penting untuk penanganan perubahan iklim secara global. Karena alasan ini dan juga berkat kampanye besar-besaran dari lembaga-lembaga terkait, didukung oleh media massa, perhatian dunia terhadap isu perubahan iklim dan pertemuan Kopenhagen luar biasa besar.

Selama dua minggu, Kopenhagen disesaki oleh tidak kurang dari 9.000 delegasi dari 192 negara dengan jumlah delegasi setingkat kepala negara/kepala pemerintahan dan menteri sebanyak 129 orang. Konvensi ini juga dihadiri lebih dari 33.000 perwakilan organisasi/badan regional dan internasional terkait, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan sektor swasta.

Delegasi RI diketuai oleh Presiden Republik Indonesia dengan Alternate Ketua Delegasi, yaitu Menteri Luar Negeri, Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta, dan Ketua Harian DNPI Rachmat Witoelar. Delegasi RI terdiri dari anggota DPR, anggota DPD, menteri, gubernur, pejabat tinggi kementerian/lembaga, serta perwakilan perguruan tinggi, LSM, dan perusahaan. Juga hadir puluhan lainnya dari Indonesia sebagai pengamat dan wartawan.

Perundingan multilateral

Pada intinya, Kerangka Kerja Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) merupakan proses perundingan multilateral yang bertujuan menyepakati kerangka kerja negara-negara dalam upaya menghindari terjadinya perubahan iklim yang mengancam bumi dan umat manusia.

Sebagai satu proses multilateral, pengambilan keputusan harus dilakukan secara konsensus, dalam arti semua negara harus menyetujuinya (nothing is agreed until everything is agreed). Dengan demikian, kesepakatan yang akan dicapai tentunya harus dapat mengakomodasi kepentingan semua negara. Apabila ada satu negara yang masih belum sepakat, umumnya perundingan dilanjutkan pada tahun berikutnya.

Karena tingginya kepentingan ekonomi dan politik dalam isu perubahan iklim, perundingan Kopenhagen berjalan alot dan panjang. Di pengujung persidangan, sebanyak 29 kepala negara/pemerintahan, termasuk Presiden RI, diundang oleh Perdana Menteri Denmark selaku Presiden Conference of Parties (COP) ke-15 untuk membahas rancangan Copenhagen Accord yang dimaksudkan sebagai hasil utama nantinya.

Pembahasan dilakukan secara intensif sehingga kepala negara/pemerintahan langsung ikut melakukan penyusunan draf keputusan. Pertemuan yang dilakukan secara tertutup menghadirkan negara-negara kunci mewakili kelompok negosiasi ataupun kelompok regional, negara-negara dengan catatan emisi tertinggi, dan negara-negara yang jumlah penduduknya besar. Di dalamnya termasuk, antara lain, Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Australia, Indonesia, China, India, Brasil, Afrika Selatan, Grenada, dan Maladewa.

Pertemuan terbatas itu akhirnya menyepakati draf Copenhagen Accord. Namun, pada saat dibawa ke dalam pleno untuk diadopsi, draf tersebut mendapat tentangan kuat dari negara-negara, seperti Venezuela, Nikaragua, Tuvalu, Sudan, Kuba, dan Bolivia, yang tidak mengakui adanya Copenhagen Accord dalam proses UNFCCC karena proses pembuatannya dianggap tidak melewati proses yang biasa dilakukan dalam Konvensi PBB, yaitu sidang pleno dan pertemuan contact groups.

Negara-negara pendukung Copenhagen Accord mencakup negara maju dan negara berkembang, termasuk perwakilan Aliansi Negara-negara Kepulauan Kecil atau AOSIS (Grenada, Maladewa) dan Afrika (Etiopia). Umumnya mereka bisa menerima Copenhagen Accord karena memuat banyak prinsip dasar mengenai kerangka kerja perubahan iklim pada masa depan, seperti pembatasan kenaikan temperatur global (2 derajat celsius).

Berhubung tidak mencapai konsensus, PM Denmark, sebagai pemimpin sidang, mengambil keputusan mencatat (takes note) Copenhagen Accord sehingga memiliki sifat legal serupa dengan submisi dari negara yang mendukungnya. Hingga saat ini belum disepakati mekanisme dan prosedur untuk melakukan submisi bersama ini.

Bagi Indonesia, Kopenhagen bukanlah akhir perundingan multilateral perubahan iklim, melainkan merupakan hasil antara. Pertemuan Kopenhagen memang tidak menghasilkan kesepakatan baru yang mengikat secara hukum (legally-binding new agreement) yang dinanti-nanti dunia, tetapi bila dicermati secara obyektif, elemen-elemen keputusannya dapat dijadikan naskah perundingan pada konvensi berikutnya di Meksiko, akhir tahun ini.

Selama proses perundingan UNFCCC—di Kopenhagen dan rangkaian pertemuan sebelumnya, delegasi Indonesia telah memainkan peranan aktif, baik di ruang sidang maupun melalui penyampaian tertulis. Indonesia memandang, Copenhagen Accord memuat prinsip-prinsip pokok atas dasar pemahaman bersama (common understanding) negara-negara, sebagai landasan bagi proses perundingan berikutnya guna menghasilkan kerangka kerja perubahan iklim pasca-2012 yang mengikat secara hukum.

Substansi Copenhagen Accord menggarisbawahi prinsip-prinsip pokok sebagai berikut:

Pertama, Accord menetapkan pembatasan peningkatan suhu global 2 derajat celsius dibanding tingkat praindustri pada 2050. Pada COP-13 di Bali, tujuan ini tidak berhasil disepakati dan hanya keluar sebagai referensi berupa catatan kaki. Pada COP-14 di Poznan, Polandia, perundingan untuk memasukkan tujuan tersebut mengalami kebuntuan. Terkait target ini, Indonesia telah menyampaikan usulan untuk memasukkan target penurunan emisi sebesar 40 persen pada 2020 dan 85 persen pada 2050 secara kumulatif oleh negara maju—yang tidak dapat diterima oleh banyak negara maju.

Kedua, Accord memuat komitmen negara maju untuk menyediakan pendanaan US30 miliar selama 2010-2012 bagi adaptasi (penyesuaian pola pembangunan) dan mitigasi (penurunan emisi) di negara berkembang. Untuk mengelola dana perubahan iklim global, akan dibentuk mekanisme pendanaan Copenhagen Green Climate Fund yang berada di bawah pengawasan COP.

Ketiga, Accord menyepakati satu format penyampaian informasi tentang upaya mitigasi melalui target pembatasan dan penurunan emisi yang harus dapat dikuantifikasi bagi negara maju dan indikasi aksi mitigasi yang sejalan dengan pembangunan berkelanjutan oleh negara berkembang. Informasi ini dapat dijadikan tolok ukur dalam mencermati keseriusan mereka melaksanakan kontribusi terhadap upaya stabilisasi gas rumah kaca di atmosfer.

Keempat, Accord mengenali Proses Mid-Review, yaitu bahwa Accord akan dikaji ulang pada tahun 2015 termasuk kemungkinan mengubah target stabilisasi menjadi 1,5 derajat celsius.

Selain Accord, konvensi ini menyetujui beberapa keputusan terpisah, seperti pelaksanaan Adaptation Fund, bantuan terhadap negara berkembang dalam menyusun laporan nasional tentang pelaksanaan konvensi yang biasa disebut National Communication, pengesahan hasil kerja Expert Group on Technology Transfer dan tindak lanjut Program Kerja Nairobi (Nairobi Work Programme on Impacts, Vulnerability, and Adaptation to Climate Change).

Isu kelautan

Dalam salah satu perundingan terkait adaptasi, Indonesia berhasil mengedepankan isu kelautan dan perubahan iklim sebagaimana tecermin dalam beberapa paragraf draf teks negosiasi, antara lain: pentingnya aksi adaptasi terkait laut dan pesisir serta kebutuhan memperbaiki sistem observasi dan penelitian dari data-data perubahan iklim yang juga memerhatikan kenaikan air laut, kenaikan temperatur air laut, asidifikasi laut, serta penanganan terhadap salinisasi dan gletsyer. Perubahan iklim menimbulkan kerentanan tinggi bagi Indonesia yang merupakan negara kepulauan. Karena itu, sudah selayaknya Indonesia sangat aktif terkait isu-isu kelautan dan adaptasi.

Saat ini, Pemerintah Indonesia tengah melakukan kajian terkait peluang Pembangunan Rendah Karbon untuk mengevaluasi dan mengembangkan opsi-opsi strategis dalam rangka mengurangi intensitas emisi gas rumah kaca tanpa mengorbankan tujuan-tujuan pembangunan.

Salah satu kebijakan pemerintah adalah mengurangi emisi gas rumah kaca dari kegiatan pembangunannya antara 26 persen sampai 41 persen pada tahun 2020, bergantung pada tingkat dukungan internasional.

AMANDA KATILI NIODE,

Koordinator Divisi Komunikasi, Informasi dan Edukasi

Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim

Source : Kompas, Senin, 1 Februari 2010 | 03:25 WIB

0 komentar:

Posting Komentar

 

TRANSLATE/TERJEMAH BAHASA

My Blog List

Site Info

Followers

LINGKUNGAN GLOBAL Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template