SUMBER DAYA AIR
Kearifan Penanganan Citarum
Oleh YUNI IKAWATI
Banjir kembali melanda Bandung Selatan pekan lalu. Genangan kali ini berasal dari limpasan air waduk di Daerah Aliran Sungai Citarum. Limpasan waduk pun menggenangi Karawang. Bencana ini menimbulkan tanda tanya: apa yang terjadi di Daerah Aliran Sungai Citarum—sumber luapan air itu?
Curah hujan yang ekstrem dan kualitas lingkungan DAS Citarum yang buruk disebut-sebut sebagai penyebab meluasnya banjir di kawasan hilir pada 21 Maret 2010 tersebut.
Sementara di Stasiun Cicatih, di atas Waduk Saguling, Februari lalu, total curah hujan 1.559 mm, padahal normal bulanan 300- 340 mm sehingga terjadi peningkatan debit waduk sampai sekitar lima kali lipat.
Curah hujan dari kawasan hulu ini kemudian disalurkan oleh 9 anak sungai ke sungai utama, Sungai Citarum. Debit air yang besar ini kemudian ditampung dalam tiga waduk dan dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, terutama untuk pembangkit listrik, pengairan sawah, dan sumber air baku untuk hidup sehari-hari.
Penggundulan hutan
Kawasan Citarum yang subur ini berpenduduk padat, yang terkonsentrasi di bagian hulu, yaitu di daerah Bandung. Jumlah penduduknya lebih kurang 11 juta jiwa dengan kepadatan 1.809 jiwa per kilometer persegi pada 2005.
Penduduk yang relatif padat ini mendorong terjadinya konversi kawasan hutan. Pengurangan tutupan hutan di DAS Citarum, menurut pakar hidrologi BPPT, Sutopo Purwo Nugroho, terus terjadi dalam jumlah signifikan sejak tahun 1983. Pada tahun itu, tutupan hutan 20 persen dari total luas DAS sebesar 6.080 kilometer persegi. Sekarang hutan yang tersisa tinggal 13,24 persen.
Pengurangan hutan itu sejalan dengan konversi areal tersebut menjadi lahan perkebunan dan permukiman. Dalam waktu hampir 25 tahun, perluasan lahan pertanian dua kali lipat lebih. Tahun 1983, tutupan lahan pertanian 24,75 persen menjadi 53,24 persen tahun 2007.
Perubahan tutupan lahan di bagian hulu Waduk Saguling dan Cirata juga terlihat nyata di Garut dan perbatasan antara DAS Citarum dan Cimanuk yang nyaris gundul.
Tingkat erosi
Pantauan Sutopo yang juga Kepala Bidang Teknologi Mitigasi Bencana BPPT menunjukkan tingkat erosi di Cirata mencapai 33,8 ton per hektar per tahun, meningkat tiga kali lipat lebih dari batas toleransi yang direncanakan, yaitu 10 ton/ha/ tahun. Laju sedimentasi mencapai 0,28 juta m/ha/tahun.
Hal serupa terjadi di Waduk Saguling dengan tingkat erosi 16 ton/ha/tahun. Sedimentasi mengurangi daya tampung waduk, yang berdampak menurunkan kinerja Saguling 0,58 persen pertahun. Waduk Saguling mengalami sedimentasi hingga 5 juta meter kubik per tahun.
Kondisi tersebut menyebabkan daya tampung waduk berkurang. Sehingga melimpas saat debit air dari hulu meningkat.
Selain kejadian minggu lalu, pelimpasan yang terjadi di Jatiluhur sebenarnya pernah terjadi pada tahun 1968, 1973, 1984 dan 1994. Namun, tahun ini tergolong besar.
Di bagian hulu, banjir melanda Baleendah, Dayeuhkolot, Majalaya, dan Rancaekek. Adapun banjir di bagian hilir menggenangi Karawang dan Bekasi. Bencana banjir yang menimpa di bagian hilir Sungai Citarum disebabkan akumulasi dari berbagai faktor.
Fenomena banjir di hulu DAS Citarum, seperti di Baleendah, jelas Widagdo, Direktur Sungai, Danau dan Waduk Kementerian Pekerjaan Umum, disebabkan oleh daerah yang berupa cekungan dan lebih rendah daripada Sungai Citarum sehingga daerah itu tergenang saat sungai meluap.
Mengatasi masalah tersebut, dilakukan pelurusan sembilan anak sungai di kawasan hulu, antara lain Cisangkuy, Cikijing, Cimande, Citarik, dan Majalaya.
Pelurusan sungai
Adanya sudetan dan pelurusan (normalisasi) sungai di hulu, menurut Sutopo, menyebabkan debit semakin besar. Kenyataan inilah yang menyebabkan fluktuasi duga muka air (DMA) waduk kaskade (Saguling, Cirata, dan Jatiluhur) juga terpengaruh oleh perilaku perubahan watak banjir Citarum.
Karena itu, menurut Sutopo, ide normalisasi dan pelurusan sungai yang akan dilakukan di bagian hulu Citarum untuk mengatasi banjir perlu dikaji ulang.
”Banjir bukan semata-mata disebabkan oleh sungai, melainkan lebih disebabkan oleh terlampauinya daya dukung lingkungan di bagian hulu Citarum,” ujarnya.
Untuk mengoperasikan tiga waduk kaskade, dibuat Rencana Operasi Waduk Kaskade Citarum Tahun 2010 untuk mengatur pasok air, sesuai dengan kapasitas tampung dan fungsi tiap waduk.
Tujuannya untuk mengoptimalkan penggunaan air baku. Dalam rencana tersebut ditetapkan pola normal DMA ketiga waduk tertinggi akan mencapai pada bulan Mei 2010. Dalam rencana tersebut diperkirakan ketiga waduk tidak mencapai limpas.
Namun, kenyataannya, curah hujan yang besar di hulu menyebabkan DMA ketiga waduk naik drastis pada awal Februari melebihi pola rencana. Kondisi berlangsung hingga saat ini.***
Source : Kompas, Senin, 29 Maret 2010 | 03:27 WIB