KEHUTANAN
Tambang Tertutup di Hutan Lindung
JAKARTA - Pemerintah mengeluarkan ketentuan baru berupa Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan. Peraturan pemerintah itu itu, antara lain mengatur ketentuan tambang bawah tanah atau pola tertutup yang diperbolehkan di kawasan hutan lindung.
”Semestinya, yang dibutuhkan sekarang adalah ketentuan melarang pengeluaran izin tambang karena sudah terlampau banyak. Untuk mengawasi operasional tambang terbuka saja pemerintah kewalahan, apalagi dengan tambang bawah tanah yang tertutup,” kata Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Siti Maemunah, ketika dihubungi dari Jakarta, Rabu (10/3).
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 disahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 1 Februari 2010. Di dalam Pasal 5 Ayat 1b, diatur pola tambang bawah tanah di hutan lindung dilarang karena mengakibatkan turunnya permukaan tanah, mengubah fungsi pokok kawasan hutan secara permanen, dan terjadinya kerusakan akuiver air tanah.
Pada ayat berikutnya ditetapkan, ketentuan lebih lanjut mengenai penambangan bawah tanah di hutan lindung diatur dengan peraturan presiden.
Maemunah menyebutkan, daftar antrean pengajuan izin tambang masih tinggi. Di wilayah pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan, saat ini sedikitnya terdapat 299 permintaan perizinan yang masih menunggu.
”Perubahan fungsi lahan pangan menjadi lahan tambang telah terjadi di wilayah Kalimantan Timur,” ujar Maemunah.
Saat hal itu, menurut dia, perubahan fungsi lahan pangan menjadi tambang di Kalimantan Timur mencapai 12.000 hektar per tahun.
Masyarakat yang semula mengelola lahan pangan menjadi bergantung dengan menjalani sektor perekonomian informal, seperti berjualan.
Pemutihan
Secara terpisah, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kehutanan Tachrir Fathoni mengemukakan, dalam proses revisi tata ruang saat ini tidak dimungkinkan adanya ”pemutihan”. Pemutihan berkonotasi sudah ada pelanggaran sebelumnya, kemudian menjadi dilegalkan.
”Pemutihan berbeda dengan perubahan peruntukan yang berdampak penting dan tidak ada pelanggaran sebelumnya,” kata Tachrir.
Berdasarkan Statistik Kehutanan Tahun 2009, pemerintah saat ini mencadangkan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 22.795.961 hektar. Sementara luas hutan produksi tetap mencapai 36.649.918,43 hektar.
Data hutan lindung mencapai 31.604.032,02 hektar, sedangkan untuk hutan konservasi terbagi menjadi Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam mencapai 23.304.017,57 hektar. Disebutkan pula hutan buru yang masih mencapai luas 233.814,90 hektar.
Tachrir meluruskan, sesuai Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, perubahan peruntukan kawasan hutan yang memiliki dampak penting atas persetujuan DPR. Hal ini berbeda dengan pemutihan.
Maemunah mengatakan, pemerintah saat ini masih menutup mata terhadap pelanggaran pemanfaatan kawasan hutan, terutama untuk tambang. Pemerintah tidak pernah mengawasi operasional tambang dan hanya bertindak setelah ada laporan dari masyarakat.
”Pemerintah hanya memandang perizinan itu menjadi bisnis baru. Tetapi, pemerintah tidak mampu mengawasi jalannya usaha tambang yang diizinkan sebagai usaha ekonomi berkelanjutan,” kata Maemunah. (NAW)***
Source : Kompas, Kamis, 11 Maret 2010 | 03:31 WIB
0 komentar:
Posting Komentar