YANG HOT KLIK DI SINI

Rabu, 17 Maret 2010

Indonesia akhir tahun lalu menargetkan reduksi emisi karbon dioksida 26 persen hingga tahun 2020.

PERUBAHAN IKLIM

Menyusun Neraca Karbon

Oleh YUNI IKAWATI

Indonesia akhir tahun lalu menargetkan reduksi emisi karbon dioksida 26 persen hingga tahun 2020. Berbagai upaya dilakukan untuk itu. Sedangkan untuk mengetahui tingkat pencapaiannya, dibangun sistem pemantau karbon yang kemudian dituangkan dalam neraca karbon nasional.

Langkah ini didukung Jepang dengan satelit GOSAT dan Australia yang membantu penanganan kebakaran lahan.

Target pengurangan emisi karbon yang dilontarkan Presiden RI pada pertemuan PBB tentang perubahan iklim di Kopenhagen Denmark, Desember 2009, bahkan dikatakan pencapaian dapat menjadi 41 persen bila ada dukungan internasional.

Pengurangan emisi karbon tersebut harus dicapai di sektor kehutanan (14 persen), energi (6 persen), dan pengelolaan limbah (6 persen). Selain itu, juga telah ditargetkan penurunan jumlah hotspot (titik panas) kebakaran hutan atau lahan sekitar 20 persen per tahun.

Tentang target itu, Ketua Pelaksana Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) Rachmat Witoelar, dalam Simposium Ke-4 GEOSS (Global on Earth Observation System of Systems) Asia-Pasifik, di Hotel Sanur Paradise Plaza Bali, pekan lalu, mengatakan optimistis dapat tercapai. ”Yang penting harus dijaga, jangan ada lagi kawasan hutan terutama di Kalimantan yang berubah fungsi,” tegas Rachmat.

Selama ini emisi CO di Indonesia terus menunjukkan kecenderungan meningkat. Proyeksinya dari 1,72 gigaton (Gt) pada tahun 2000 akan menjadi 2,95 Gt pada tahun 2020 dan naik jadi 3,6 Gt pada tahun 2030. Ini akan terjadi bila tak ada upaya perubahan pengelolaan karbon di berbagai sektor.

Namun dengan program terpadu, Indonesia berpotensi mengurangi emisi CO hingga 2,3 Gt pada tahun 2030 atau 4.5 persen dari yang diperlukan di tingkat global. Pengurangan itu, saran Rachmat, harus diutamakan pada sektor kehutanan karena kontribusi reduksinya bisa mencapai 50 persen atau 1,16 Gt. Lalu ditambah kawasan gambut 0,60 Gt (26 persen).

Lahan gambut dan kehutanan merupakan sumber terbesar emisi gas rumah kaca di Indonesia, mencapai 45 persen. Untuk menekan emisi tersebut, Indonesia juga harus merehabilitasi hutan dan lahan gambut yang rusak.

Ia pun melihat ada tekanan konversi kawasan hutan untuk perkebunan. Ini harus diatasi pemerintah dengan mengeluarkan larangan pembukaan hutan untuk perkebunan.

Jejaring observasi Bumi

Dalam simposium internasional yang membahas upaya pemantauan dampak perubahan iklim tersebut, Menteri Riset dan Teknologi Suharna Surapranata berpendapat untuk mengurangi emisi diperlukan penguasaan teknologi hijau dan pengembangan jejaring sistem observasi Bumi secara global.

”Pertemuan ini harus dapat memperkuat kerja sama regional untuk penelitian keragaman hayati, kehutanan, dan penelusuran sumber karbon di Asia Pasifik,” tegasnya.

Menurut mantan Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Mahdi Kartasasmita, serangkaian program telah dilakukan terkait pemantauan CO, antara lain Indonesian National Carbon Accounting System (INCAS), proyek pengelolaan karbon dan satwa liar di hutan gambut Indonesia, dan pemantauan perubahan tutupan lahan menggunakan satelit ALOS PALSAR milik Jepang.

”Lapan dalam hal ini memotori upaya memantau karbon dengan mengobservasi kawasan hutan menggunakan satelit penginderaan jauh,” jelasnya. Selain dengan ALOS, pemantauan juga dilakukan dengan satelit Landsat.

Pada program observasi karbon mendatang, Jepang akan mendukung dengan satelit GOSAT yang telah diluncurkan pada 23 Januari 2009, jelas Takashi Moriyama dari Jaxa Jepang. Pada Juli hingga September tahun lalu satelit ini telah memperoleh citra kondisi CO dan gas metana (CH) di dunia, namun belum divalidasi.

Pada INCAS, jelas Mahdi, Indonesia melakukan upaya pengurangan emisi gas rumah kaca, termasuk CO dengan mengatasi deforestasi dan melakukan penanaman kembali hutan serta mendorong pengelolaan hutan secara berkelanjutan.

INCAS merupakan sistem terintegrasi beberapa sektor terkait termasuk dalam penyediaan data tutupan lahan, pengelolaan lahan, data iklim, dan biomassa. Semua data tersebut akan menjadi masukan dalam penyusunan neraca karbon nasional. Upaya ini telah dilakukan dengan menggalang kerja sama dengan Australia dalam hal ini IAFCP (Indonesian-Australian Forest Carbon Partnership). Pada pertama tahun ini akan diselesaikan untuk Sumatera dan Kalimantan.

Melalui badan kerja sama itu, lanjut Mahdi, dilakukan pula FRIS (Forest Resource Inventory System), KFCP (Kalimantan Forest & Climate Partnership), FWI (Fire Watch Indonesia) Monitoring Hot Spot (IndoFire) dari data satelit Terra/Aqua MODIS.

Simposium GEOSS

Pembahasan utama dalam Simposium GEOSS yang diadakan Lapan, jelas Agus Hidayat selaku Kepala Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh Lapan, selain mengenai perubahan iklim, juga membahas tentang keragaman hayati dan sumber daya air.

Simposium GEOSS ini juga berfungsi sebagai wadah negara di Asia-Pasifik untuk bertukar informasi dan pemahaman dalam menangani perubahan iklim. Hasil pertemuan tersebut nantinya akan menjadi rekomendasi untuk GEO Ministerial Summit di Beijing, China, pada November mendatang.

Pertemuan GEOSS merupakan kolaborasi internasional untuk menggali potensi pengamatan bumi guna mengatasi masalah lingkungan di dunia. Anggotanya adalah organisasi internasional dan pemerintah yang berhubungan dengan kegiatan pengamatan Bumi. Ada sembilan lingkup kegiatan GEOSS, yakni bencana alam, kesehatan, energi, iklim, air, cuaca, ekosistem, pertanian, serta keragaman hayati. ***

Source : Kompas, Rabu, 17 Maret 2010 | 03:31 WIB

0 komentar:

Posting Komentar

 

TRANSLATE/TERJEMAH BAHASA

My Blog List

Site Info

Followers

LINGKUNGAN GLOBAL Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template