HIDROLOGI
Dari Bribin untuk Gunung Kidul
Oleh MAWAR KUSUMA/GESIT ARIYANTO
Beberapa kali pergi-pulang menempuh perjalanan panjang Jerman-Indonesia, sejak tahun 2002, Guru Besar Institut Teknologi Karlsruhe, Jerman, Franz Nestmann, akhirnya puas dengan pencapaian Proyek Bribin II di Gunung Kidul, DI Yogyakarta.
Nestmann, tokoh penting pelaksanaan proyek itu, pantas puas karena debit air 80 liter per detik dari bendungan goa bawah tanah pegunungan karst sukses dipompa sekitar 250 meter. Hari ini, Kamis (12/3), proyek itu diresmikan Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto.
Dua pekan sebelumnya, sejumlah pekerja teknis proyek Bribin II masih dilanda kerepotan. Langit-langit bendungan bawah tanah, tempat platform pompa dan turbin dipasang—sejajar dengan bendungan, masih meneteskan air akibat porositas karst. Lantai platform pun selalu basah. Lift yang menghubungkan permukaan dengan goa bawah tanah (104 meter) seperti tak pernah beristirahat.
Ahli teknologi informasi dari Jerman juga sibuk mengawasi pemasangan alat pemantau waktu langsung (realtime) pada antena bangunan yang akan memudahkan peneliti KIT memantau perkembangan Bribin II setiap detiknya. Yang lain, sibuk memantau fungsi kelistrikan bendungan.
”Sekarang semua sudah beres. Tetesan air sudah berkurang signifikan, meskipun tidak mungkin hilang seluruhnya,” kata perwakilan KIT di Bribin, Solichin, Rabu (10/3). Ketinggian air bendungan mendekati maksimal untuk mencapai debit 80 liter per detik.
Perkembangan itulah yang Senin (8/3) lalu membuat wajah Nestmann berseri-seri. Ia memaparkan proyek Bribin II pada Konferensi Internasional Pengembangan Air Baku di Daerah Karst di Yogyakarta. Belum lagi teruji keberlangsungannya dalam jangka panjang, ia sudah memaparkan rencana serupa di Goa Seropan, dua kilometer dari Bribin.
Ide proyek Bribin II melibatkan Sultan Hamengku Buwono X, yang tahun 1998 menantang Nestmann ketika memaparkan rencana penelitian pertamanya di kawasan karst Gunung Kidul. Sultan mendorong pemecahan kelangkaan air bersih yang berlangsung beberapa generasi. Padahal, kawasan karst dikenal kaya sumber air bersih di sungai-sungai bawah tanahnya.
Melalui proyek Bribin I, tahun 1984, sempat tumbuh asa menyusul sukses mengangkat air ke permukaan. Hanya saja, proses itu mahal karena menggunakan generator solar yang setiap jamnya mengonsumsi 200 liter solar. Menggunakan pompa listrik dari PLN, biayanya Rp 265 juta per tahun.
Pada proyek Bribin II, di luar biaya 3,2 juta euro untuk pengadaan lift, pipa, turbin, pompa, dan pembangunan bendungan bawah tanah, ongkos memompa air nol rupiah. Air dipompa memanfaatkan turbin bertenaga listrik mikrohidro. ”Kami masih butuh BBM untuk operasional lift,” kata Solichin.
Oleh karena itulah Menteri PU Djoko Kirmanto menilai proyek tersebut memiliki nilai lebih. Teknologi pengangkatan air dari perut bumi telah banyak dikenal. Namun, mengangkat air dengan ongkos rendah merupakan hal baru.
”Teknologi ini layak diadopsi daerah lain,” kata Djoko seusai konferensi dua hari lalu.
Teknologi bekerja
Prinsip kerja Proyek Bribin II terbilang sederhana. Air dipompa melewati pipa setinggi 104 meter. Pompa beroperasi dengan penggerak turbin listrik mikrohidro. Daya listrik sebesar 200 kilowatt sebatas untuk mencukupi kebutuhan proyek, seperti lampu penerangan bawah tanah dan kantor.
Proyek Bribin II mulai diuji coba tahun 2009. Pembangunannya sempat terhenti dua tahun akibat gempa bumi tahun 2006.
Saat itu, sungai bawah tanah belum dibendung. Baru dibangun platform berukuran 8 x 8 meter yang selesai dibangun tahun 2005. Kini, lima pompa ditanam di bendungan Goa Bribin. Satu pipa dipasang untuk mengangkat air ke permukaan melalui lubang lift.
Di permukaan tanah, air didorong melalui pipa berdiameter 20 sentimeter (cm) sepanjang sekitar tiga kilometer menuju penampungan (reservoir) berkapasitas 1.000 meter kubik di atas bukit setinggi 144 meter. Tepatnya di Dusun Kanigoro, Dadapayu, Kecamatan Semanu. Air itu cukup untuk memenuhi kebutuhan hingga 80.000 jiwa.
Oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), tampungan air dialirkan melalui pipa ke rumah-rumah penduduk hingga jangkauan 30 kilometer. Fakta itu disambut gembira. Kelangkaan air yang menjadi momok rutin perlahan tersingkir. Namun, masih menunggu bukti kondisi suplai air pada musim kemarau.
Djoko Kirmanto, secara khusus, mengingatkan pentingnya menjaga keberlanjutan Bribin II. Tidak hanya aspek pemeliharaan teknis, tetapi juga memastikan suplai air. Caranya, pemda dan masyarakat di kawasan hulu harus menjaga kelestarian lingkungan.
Djoko juga berharap agar Bribin II menginspirasi banyak perguruan tinggi dan peneliti. Bribin sudah membuka akses bagi penelitian lanjutan. Penelitian-penelitian itulah yang diharapkan menyejahterakan warga di kawasan karst, yang selama ini identik dengan kekeringan dan kemiskinan.
Di sana, ilmu pengetahuan dan teknologi ditantang berperan nyata menjadi solusi masalah, sekaligus menyejahterakan warga. Hari ini (Kamis, 11/3), Proyek Bribin II dialihkelolakan dari Jerman, yang disokong Kementerian Pendidikan dan Penelitian Jerman, kepada Pemerintah Indonesia.
Sejauh ini, iptek telah memberikan harapan dan kepuasan banyak pihak di Gunung Kidul. Bagaimana kelanjutannya, seperti dikatakan Nestmann, tinggal bagaimana kiprah Pemerintah Indonesia pasca-pengalihan pengelolaan. ***
Sumber : Kompas, Kamis, 11 Maret 2010 | 03:48 WIB
0 komentar:
Posting Komentar