YANG HOT KLIK DI SINI

Jumat, 12 Maret 2010

EKOLOGI TUMBUHAN ASLI : Menilik Manfaat Sebelum Kepunahan

Pengembangbiakan jenis beringin Ficus benjamina di Kebun Raya Purwodadi, Pasuruan, Jawa Timur, Kamis (25/2). Jenis ini paling populer untuk ditanam sebagai tanaman peneduh. (Kompas/Nawa Tunggal)***

EKOLOGI TUMBUHAN ASLI

Menilik Manfaat Sebelum Kepunahan

Oleh NAWA TUNGGAL

Hakikat suatu ekosistem adalah keberagaman yang menciptakan keanekaragaman hayati dalam suatu keseimbangan. Itu telah terbukti sejak lama. Dan, kini sebuah penelitian ilmiah lebih jauh lagi, menetapkan indeks nilai penting tumbuhan dalam suatu ekosistem yang sangat berguna untuk menjaga kelestariannya.

Soejono, seorang periset di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dari Unit Pelaksana Teknis (UPT) Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Purwodadi, Pasuruan, Jawa Timur, Kamis (25/2) lalu, menunjukkan hasil riset dari 11 ekosistem sumber air dataran rendah. Lokasinya tak jauh dari Kebun Raya Purwodadi, di ketinggian tidak lebih dari 300 meter di atas permukaan laut (dpl).

Soejono mengidentifikasi 72 jenis tumbuhan dari ekosistem sumber air dan Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi diraih Ficus racemosa. Ini masih tergolong jenis pohon beringin yang disebut dengan istilah lokal sebagai tanaman elo atau loh.

”Ficus racemosa memiliki Indeks Nilai Penting tertinggi sampai 29,456 persen,” katanya.

Keistimewaan hasil riset Soejono, dia menemukan kelas beringin dominan pada ekosistem yang masih tergolong asli, atau relatif sedikit terpengaruh intervensi penanaman oleh manusia.

Urutan lima besar INP tumbuhan berturut-turut Ceiba pentandra (L) Gaertn (randu hijau/23,695 persen), Artocarpus elasticus Reinw ex Blume (bendo/18,105 persen), Swietenia macrophylla King (mahoni/16,884 persen), dan Ficus virens W Aiton (beringin iprik/16,870 persen).

”Jenis randu hijau dan mahoni diduga bukan jenis tumbuhan asli. Ini kemungkinan hasil penanaman oleh manusia,” kata Soejono.

Dari 72 jenis tumbuhan, Soejono memastikan ada 11 jenis beringin yang dipastikan sebagai tanaman asli atau penanamannya tanpa intervensi manusia. Jenis beringin lainnya itu meliputi Ficus septica Burm f, Ficus benjamina L, Ficus variegata Blume, Ficus drupacea Thunb, Ficus hispida, Ficus callosa Willd, Ficus sp, Ficus calophylla Bl, dan Ficus ampelas Burm f.

”Dari situlah terlihat, berbagai jenis tanaman beringin sebagai tanaman asli yang selama ini mampu mengonservasi sumber-sumber air dataran rendah, khususnya di wilayah Pasuruan, Jawa Timur,” kata Soejono.

Ficus benjamina adalah salah satu jenis beringin yang paling populer hingga saat ini. Jenis pohon ini banyak ditanam di alun-alun sebagai tanaman peneduh.

Menurut Soejono, dari identifikasi ficus ditemukan, di seluruh dunia terdapat 735 jenis dan di Pulau Jawa sekitar 72 jenis.

Konservasi

Ekologi tumbuhan asli dan keanekaragaman hayatinya kini tengah diuji dengan program penanaman satu miliar pohon selama tahun 2010. Program konservasi dengan keanekaragaman hayati tak tersentuh karena yang diutamakan untuk ditanam adalah jenis trembesi atau ki hujan, seperti dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

”Trembesi memang terkenal bagus untuk penghijauan. Tetapi, kalau dilakukan secara massal dan menyeluruh, itu akan berdampak bagi ekosistem yang hanya bisa diketahui pada periode lima puluhan tahun ke depan,” kata Soejono.

Dia tidak menampik upaya penghijauan dengan trembesi. Tetapi, Soejono punya konsep lain dengan dasar riset ekologi tumbuhan asli.

Intinya, penghijauan semestinya meniru sifat alam. Penghijauan semestinya meniru hakikat keanekaragaman. Untuk menentukan jenis pohon yang akan ditanam, tinggal menyesuaikan jenis-jenis pohon yang sudah ada atau pernah tumbuh di lokasi setempat.

Pencanangan penanaman satu miliar pohon dengan mengutamakan trembesi (Albizia saman, yang dulunya dikenal dengan nama latin Samanea saman) oleh Presiden Yudhoyono bisa jadi karena keinginan untuk mengundang simpati dunia internasional terhadap Indonesia yang ingin meraih target penurunan emisi 26 persen pada 2020—dari emisi yang terjadi jika tidak ada upaya apa pun.

Pilihan trembesi itu didasarkan pada hasil penelitian Endes N Dahlan dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Menurut Endes, trembesi memiliki daya rosot atau daya serap terhadap karbon dioksida yang tertinggi, yaitu 28,5 ton per tahun.

Kepala UPT Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Purwodadi Pasuruan Solikin mengatakan, nilai paling penting suatu upaya konservasi adalah menjaga keberlanjutan sebuah ekosistem. Mengenali ragam jenis dan manfaat tumbuhan asli seharusnya justru menjadi yang terpenting.

Di Indonesia terdapat 30.000 jenis tumbuhan, tetapi hanya 5-7 persen yang sudah diteliti dan diketahui potensi kegunaannya. ”Pohon buah-buahan lokal yang saya teliti saja baru 42 jenis. Padahal, keanekaragaman buah lokal yang dapat dimakan di Indonesia ada sekitar 400 jenis,” ujarnya.

Baik Soejono maupun Solikin berharap, momentum penanaman satu miliar pohon hendaknya melibatkan penanaman tumbuhan asli demi keanekaragaman. Apa yang dia lakukan saat ini adalah ibarat menilik manfaat tumbuhan asli sebelum menjelang kepunahannya.

Belum ada kebijakan pemerintah yang secara serius mengembangkan jenis-jenis tanaman asli.

Penyebaran bibit

Solikin mengatakan, dalam keterbatasan menjalankan fungsi conserve, study, and use (melestarikan, studi, dan pemanfaatan), Kebun Raya Purwodadi hingga kini masih memprioritaskan penyebaran bibit tumbuhan asli langsung kepada masyarakat.

Berbagai jenis tumbuhan terutama untuk jenis-jenis langka, meskipun masih dalam jumlah yang tidak terlampau masif telah dibagi-bagikan kepada masyarakat luas.

Berbagai jenis beringin disebar dengan tujuan mengonservasi ekosistem. Seperti pada 13 Januari 2010 telah diserahkan 200 bibit Ficus benjamina dan 200 bibit Ficus racemosa kepada Paguyuban Grojokan Sewu, Pecalukan, Prigen, Jawa Timur.

Berbagai jenis tanaman buah lokal juga turut disebarkan. Pada 13 Januari 2010, Kebun Raya Purwodadi juga membagikan kepada pengelola lingkungan SMA Negeri 1 Grati, Pasuruan, antara lain Syzygium cumini (juwet, 5 pohon), Protium javanicum (trenggulum, 2 pohon), Antidesma bunius (wuni, 10 pohon), Diospryrus blancoi (bisbul atau buah mentega, 5 pohon), Baccaurea dulcis (kemundung, 2 pohon), dan sebagainya. Deretan nama buah lokal yang sudah asing bagi telinga kita. ***

Source : Kompas, Selasa, 9 Maret 2010 | 02:46 WIB

0 komentar:

Posting Komentar

 

TRANSLATE/TERJEMAH BAHASA

My Blog List

Site Info

Followers

LINGKUNGAN GLOBAL Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template