BENCANA LONGSOR
Tanah Perlu Dipahami
Oleh YUNI IKAWATI
Tanah longsor merupakan proses alami sejak daratan bumi muncul. Namun, melonjaknya populasi manusia dengan berbagai aktivitasnya telah mengakibatkan fenomena alam ini berujung bencana. Guna meredamnya, perlu berbagai upaya, seperti pemetaan kerentanan dan pemasangan sistem peringatan dini.
Tanah longsor secara alami muncul di sejumlah tempat di Indonesia, terutama di lereng yang berhadapan dengan zona subduksi lempeng. Fenomena geologi ini diawali dengan desakan lempeng samudra terhadap lempeng samudra sehingga mengakibatkan batuan terangkat ke permukaan bumi. Batuan ini lalu mengalami pelapukan akibat pemanasan matahari dan guyuran hujan.
Di Indonesia ada 154 kabupaten atau kota yang berisiko longsor. Proses kejadian longsor secara alami di kawasan dengan jenis tanah dan lapisan yang labil umumnya dipicu oleh kejadian gempa. Kerentanannya meningkat dengan adanya aktivitas manusia yang tidak ramah lingkungan. Ada beberapa kegiatan penduduk yang mengundang bencana itu, seperti pembukaan hutan di kawasan perbukitan, bahkan kemudian menjadikannya daerah yang terbuka itu untuk perkebunan dan permukiman.
Bencana tanah longsor pada masa mendatang memang akan semakin meningkat bukan hanya karena antropogenik, melainkan juga karena perubahan pola hujan akibat perubahan iklim. Dampak negatif yang ditimbulkan berupa korban jiwa dan harta juga terus meningkat. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir bencana longsor telah menyebabkan sekitar 1.000 orang meninggal.
Kasus Ciwidey
Kerugian juga timbul akibat kasus yang paling akhir terjadi di perkebunan teh, Kampung Dewata, Desa Tenjolaya, Kecamatan Pasir Jambu, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Selasa (23/2), yang menewaskan 33 orang dan menimbun 11 orang lainnya. Bencana ini juga memaksa 200 orang mengungsi dan menimbulkan kerugian material minimal Rp 5 miliar.
Kejadian tanah longsor di wilayah selatan Kabupaten Bandung itu terjadi relatif tidak lama setelah bencana serupa di Tasikmalaya yang dipicu gempa tektonik. Hal ini terkait dengan jenis tanah di kawasan selatan Jawa Barat itu.
Berdasarkan laporan Tim Mitigasi Bencana Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang melakukan peninjauan ke lokasi hingga Minggu (28/2), Kepala Bidang Teknologi Mitigasi Bencana BPPT Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, secara umum daerah Kabupaten Bandung berupa perbukitan bergelombang: agak terjal hingga terjal. Lokasi longsor berada di ketinggian 1.500 meter-1.700 meter di atas permukaan laut. Kelerengan lahannya sedang hingga sangat curam, di atas 40 persen. Lapisan tanah di perbukitan tergolong tebal, terbentuk dari pelapukan batuan dan mengandung pasir yang rapuh.
Berdasarkan peta prakiraan potensi terjadi gerakan tanah pada Februari 2010 di Jawa Barat yang dikeluarkan Badan Geologi, Pusat Vulkanologi, dan Mitigasi Bencana Geologi, daerah bencana ini terletak di zona potensi terjadi gerakan tanah tingkat menengah sampai tinggi. Artinya, daerah ini dapat mengalami gerakan tanah jika curah hujan di atas normal, terutama di daerah yang berbatasan dengan lembah sungai, gawir, dan tebing jalan.
Di daerah bencana tersebut, tutupan lahannya berupa hutan primer, hutan sekunder, dan perkebunan teh. ”Permukiman yang dihuni oleh karyawan perkebunan teh berada di lembah perbukitan yang sangat rawan longsor,” kata Sutopo. Tanah longsor terjadi karena akumulasi beberapa faktor, yaitu curah hujan, jenis batuan, dan kemiringan lereng yang terjal.
Curah hujan pada 1 hingga 23 Februari tercatat sebesar 960 mm atau 480 persen dari rata-rata normal bulan Februari di daerah itu yang sekitar 200 mm per bulan. Curah hujan yang besar ini telah menimbulkan beban bagi batuan yang kondisinya sudah rapuh karena mengalami pelapukan dan berada di lereng yang curam.
Mata air yang muncul di mahkota longsor makin mempercepat proses kejenuhan dan menurunkan kestabilan tanah sehingga terjadi longsor. Mahkota longsor berasal dari lereng bukit dengan kemiringan curam 70 hingga di atas 100 persen. Tanah yang longsor berupa hutan sekunder dan perkebunan teh. Material longsoran berupa bahan rombakan di tebing, mengalir melalui celah bukit, berbelok ke arah permukiman penduduk.
Mitigasi bencana
Berdasarkan temuan di lapangan, Direktur Pusat Teknologi Sumber Daya Lahan Wilayah dan Mitigasi Bencana BPPT Ridwan Djamaluddin mengatakan, perlu upaya mitigasi bencana yang menyeluruh dengan menata sejumlah hal. ”Pengurangan risiko dan mitigasi bencana hendaknya jangan hanya menjadi urusan pemerintah pusat, tetapi ditangani juga oleh pemerintah daerah kabupaten atau kota,” ujarnya.
Penanggulangan bencana harus dilakukan sedini mungkin dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, antara lain dengan mengoperasikan sistem pemantau curah hujan dan sistem peringatan dini longsor yang berhasil diuji coba.
Data curah hujan menjadi masukan dalam pembuatan peta kerentanan longsor yang dinamis dengan skala lebih detail. Dalam penyusunan peta, menurut Ridwan, pemerintah kabupaten perlu memiliki peta kerentanan tanah longsor berskala 1:50.000. Peta kerentanan tanah yang ada masih dalam skala provinsi.
Berdasarkan peta, disusunlah zonasi mikropermukiman di daerah yang lebih aman dengan sistem cluster di sejumlah lokasi. Pemilihan lokasi berdasarkan analisis risiko bencana dan tata ruang detail. Dalam hal ini pemerintah daerah setempat perlu mengevaluasi risiko bencana longsor terhadap adanya permukiman di selatan Jawa Barat.
Pembuatan peta skala lokal ini harus mengacu pada peta dasar serta mengacu pada jenis batuan serta dan guna lahan. Untuk itu, perlu dilakukan survei lapisan bebatuan penyusun lereng di kawasan perbukitan. Penyusunan peta skala lokal ini harus diperkuat dengan peraturan pemerintah daerah tentang mitigasi bencana.
Sementara itu, pada daerah perbukitan, harus ditanami pepohonan jenis kayu yang perakarannya dalam, yang bisa menjangkau bebatuan dalam sehingga dapat mencegah longsor.
Selain itu, perlu ada zonasi penyangga skala mikro yang memisahkan kawasan kelerengan tinggi dengan kawasan budidaya di bawahnya. Selain itu, di daerah itu perlu ditanami pepohonan berbatang kokoh dengan jarak rapat dan membentuk ”sabuk hijau” yang tebal atau berlapis.
Jenis vegetasi yang perlu ditanam di lembah adalah jenis tanaman lokal yang tumbuh baik di daerah itu. Menurut Sutopo, jenis pohon yang dapat ditanam antara lain puspa (Schima walichii), rasamala (Altingia excelsa), huru (Litsia chinensis), surian (Toona sureni merr), bambu manggong (Gigantochloa manggong), dan kayu baros (Manglietia glauca BI).
Lahan dengan kelerengan di atas 40 persen harus dipertahankan sebagai kawasan perlindungan yang ekosistem hutan alam dengan kerapatan pohon yang tinggi.
Upaya mitigasi tanah longsor di daerah hendaknya juga melibatkan perusahaan perkebunan disertai dengan upaya pemberdayaan masyarakat setempat.***
Source : Kompas, Selasa, 2 Maret 2010 | 04:44 WIB
0 komentar:
Posting Komentar