Seorang ibu dan anaknya menyaksikan Bola Bumi Dingin yang ada dalam ekshibisi tentang menghadapi tantangan pemanasan global dan perubahan iklim di kawasan Kongens Nytorv di pusat kota Kopenhagen, Sabtu (19/12), saat berakhirnya COP-15 Konferensi Perubahan Iklim PBB. Anak-anak akan mewarisi bumi yang semakin panas dengan ancaman iklim ekstrem ketika konferensi tersebut gagal menelurkan sebuah kesepakatan yang adil, ambisius, dan mengikat. (Foto : AFP/Adrian Dennis)***
HASIL COP-15
Beda "Nasib" Kehutanan dan Kelautan
Negosiasi dua pekan yang alot setidaknya memberikan kelegaan bagi sektor kehutanan Indonesia. Pengurangan emisi dari penggundulan hutan dan kerusakan lahan (REDD) plus pengelolaan hutan berkelanjutan masuk dalam salah satu butir Keputusan Kopenhagen atau Copenhagen Accord yang disepakati secara dramatis Sabtu siang waktu Kopenhagen.
Indonesia tambah bangga karena butir tersebut diperjuangkan Indonesia sebagai pemrakarsa terbentuknya blok hutan atau Forestry 11 (F-11). Sebelumnya, isu kehutanan ditempatkan pada posisi negatif, yakni negara pemilik hutan dinilai gagal menjaga fungsi hutan sebagai penyerap karbon dioksida.
Kesan negatif itu berubah dengan pengakuan pentingnya peran hutan sehingga diperlukan dukungan pendanaan dari negara maju. ”Keputusan soal hutan itu 100 persen usulan Indonesia yang ditegaskan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam penyusunan naskah Copenhagen Accord,” kata Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, beberapa menit setelah sidang menyetujui dan mengakui Copenhagen Accord sebagai hasil COP-15.
Sejak awal, delegasi Indonesia menjadikan REDD sebagai salah satu target keberhasilan negosiasi. Hasilnya, kehutanan akan menerima sebagian dari komitmen total pendanaan global Rp 300 triliun selama 2010-2012.
Apa yang diperoleh sektor kehutanan berbanding terbalik dengan sektor kelautan. Peran penting kelautan hilang dari visi bersama naskah teks Kelompok Kerja Adhoc Kerja Sama Jangka Panjang (AWG-LCA). Dengan kata lain, mitigasi dan adaptasi dari kelautan bukan merupakan prioritas pendanaan.
Isu kelautan juga tidak disinggung Presiden dalam pidato resmi di hadapan ribuan delegasi dari 193 negara, dua hari menjelang penutupan konferensi. Dari lima butir penekanan, kelautan tidak disebutkan.
Padahal, pada naskah pidato yang disiapkan delegasi di Kopenhagen, peran penting sektor kelautan dicantumkan. Menurut Marty, Indonesia merasa belum memiliki kecukupan data ilmiah mengenai peran laut Indonesia sebagai penyerap karbon dioksida. Karena itu, soal kelautan tidak disinggung dulu.
Sebagai gambaran, Mei 2009, Indonesia sukses menjadi tuan rumah Konferensi Kelautan Dunia (WOC) dan Pertemuan Inisiatif Segitiga Terumbu Karang (CTI Summit) di Manado, Sulawesi Utara. Delegasi dari 50 negara hadir dalam pertemuan yang menghasilkan Deklarasi Kelautan Manado (MOD) itu.
Banyak pihak, khususnya LSM, peneliti, dan kelompok di luar delegasi resmi, terus menyuarakan pentingnya laut menjadi bagian dari keputusan penting konferensi. Seperti kata Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon dan Sekretaris Eksekutif Kerangka Kerja Konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC) Yvo de Boer, tidak semua harapan terpenuhi di konferensi terbesar dalam sejarah UNFCCC itu. Laut salah satunya.***
GESIT ARIYANTO dari Kopenhagen, Denmark
Ada 2 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda
muhammad yusuf @ Senin, 21 Desember 2009 | 15:26 WIB
btapa banyak data tentang itu di Indonesia..knpa harus di ragukan..? atau cuman alasan krna kurang persiapan...
Oki lukito @ Senin, 21 Desember 2009 | 13:58 WIB
Peranan laut lagi-lagi dipinggirkan. Wuih apa bener ya peneliti di seluruh jagad bumi ini yang meneliti laut meragukan? salam bahari
Source : Kompas, Senin, 21 Desember 2009 | 03:49 WIB
0 komentar:
Posting Komentar