YANG HOT KLIK DI SINI

Kamis, 17 Desember 2009

AS Dikenal Sebagai Negara yang Sangat Rakus Akan Minyak Bumi

RUMAH KACA

Bangkit dari Lamunan

Oleh Rosari Saleh

Pada pertengahan tahun 2007, saya tercengang membaca judul salah satu artikel dalam jurnal Scientific American yang ditulis oleh Zweibel, Mason, dan Fthenakis yang mengatakan bahwa pada tahun 2050 Amerika Serikat dapat mengentaskan ketergantungannya pada minyak bumi dari luar negeri yang juga berarti mereduksi masalah emisi gas rumah kaca mereka. Padahal, selama ini AS dikenal sebagai negara yang sangat rakus akan minyak bumi. Bahkan, beberapa perangnya dikaitkan dengan pencapaian pengamanan energi (energy security) negara adikuasa tersebut.

Di dalam artikel itu disebutkan bahwa pada tahun 2050 pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dapat menyuplai 69 persen kebutuhan listrik AS. Tenaga surya juga diprediksi akan memenuhi 35 persen pemakaian energi AS, termasuk transportasi.

Sebagai seorang dosen dan peneliti fisika yang dalam dua dasawarsa terakhir menekuni pengembangan sel surya untuk kepentingan pembangkitan energi (photovoltaic), prediksi tersebut membuat saya prihatin sekaligus berpengharapan banyak terhadap kemungkinan pengembangan PLTS di Indonesia.

Indonesia telah beberapa kali mengalami imbas negatif dari krisis energi global. Namun, banyak yang masih terbuai pada predikat Indonesia sebagai negara eksportir minyak. Indonesia memang memiliki kandungan fosil yang sangat banyak untuk dimanfaatkan sebagai bahan bakar, tetapi masa itu sudah lama berlalu karena eksploitasi besar-besaran yang dilakukan. Tidak terlalu banyak yang menyadari bahwa sudah lama Indonesia kehilangan kemampuannya sebagai eksportir minyak, bahkan sekarang sudah menjadi net importer.

Di sisi lain saya berpengharapan besar karena Indonesia sendiri merupakan salah satu negara di belahan bumi ini yang menikmati intensitas sinar matahari paling tinggi yang cocok untuk pengembangan PLTS. Sayangnya pengembangan ke arah itu belum begitu serius dilakukan oleh pemerintah.

Pengamanan energi

Masalah energi tentu saja tidak hanya dihadapi Indonesia. Ini adalah masalah global yang harus dihadapi masyarakat pascaindustri. Ada dua alasan utama yang menjadi dasar bahwa dunia ini mau tidak mau harus beralih dari bahan bakar fosil ke bahan bakar terbarukan (renewable energy).

Alasan pertama adalah ketersediaan bahan bakar itu sendiri. Bahan bakar fosil dalam bentuknya sebagai minyak bumi, batu bara, dan gas alam adalah hasil dari proses jutaan tahun di dalam perut bumi. Kehidupan manusia sangat bergantung pada ketersediaannya. Sayangnya bahan bakar fosil ini diprediksi akan habis hanya dalam 40-50 tahun saja.

Alasan kedua, yang lebih penting lagi, adalah polusi akibat pembakaran bahan bakar fosil, yang menghasilkan karbon dioksida. Gas rumah kaca (GRK) yang mencemari bumi menjadi tersangka utama perubahan iklim (climate change) yang menyebabkan manusia memasuki kondisi alam yang kritis. Ekosistem mulai menunjukkan indikasi adanya perubahan drastis dan membahayakan kelangsungan hidup manusia.

Bahkan, bangsa Indonesia dapat merasakan akibat langsung di sekelilingnya. Pada beberapa dekade lalu, saat pelajaran fisika atau geografi di sekolah dasar diajarkan bahwa musim hujan berlangsung pada bulan-bulan yang berakhiran ”ber”, seperti September, Oktober, November, dan Desember. Namun, saat ini sang guru pun bisa jadi tak yakin untuk mengajarkan hal itu kepada muridnya. Tanyakan saja kepada para petani yang mulai kebingungan menentukan masa tanam. Atau tanyakan kepada nelayan yang mulai kebingungan karena badai kian kencang dan kian sering datang.

Kondisi-kondisi di ataslah yang menjadi agenda utama Conference of Parties (COP) Ke-15 yang diselenggarakan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) di Kopenhagen, Denmark, yang rangkaiannya sudah dimulai sejak 7 Desember lalu dan akan berakhir pada tanggal 18 Desember. COP ini adalah rangkaian pertemuan yang diadakan semua negara untuk membahas dampak perubahan iklim dan cara untuk menyiasatinya demi kepentingan umat manusia.

Namun, sayangnya dalam waktu dekat kita belum akan melihat perubahan revolusioner karena tingkat tarik-menarik kepentingan dalam menghadirkan protokol baru di Kopenhagen sangat tinggi. Negara-negara maju masih terlalu mempertimbangkan laju pertumbuhan perekonomian mereka yang bisa melambat jika harus memerhatikan batasan emisi.

Melihat kondisi tarik-menarik kepentingan ini, Direktur Earth Institute di Universitas Columbia, AS, Jeffrey D Sachs, dalam artikelnya berjudul Still Needed: A Climate Plan mengatakan bahwa persoalan perubahan iklim ini adalah persoalan yang kompleks (Scientific American, 2009). Perubahan iklim berkaitan langsung dengan isu ekonomi, kemampuan teknologi, ketidakpastian alami dan sosial, membutuhkan pandangan jauh ke depan, serta terkait dengan semua kelompok kepentingan.

Tuntutan diversifikasi

Dalam menghadapi pertemuan tersebut, ada kekhawatiran saya bahwa Indonesia akan menjadi sangat terbuai. Kita membayangkan akan memperoleh keuntungan yang besar jika mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD), carbon finance, dan batasan emisi baru untuk memperbarui Protokol Kyoto disetujui di Kopenhagen–atau minimal dalam beberapa tahun ke depan jika kesepakatan tersebut tak tercapai di Kopenhagen. Ke semuanya adalah bagian dari clean development mechanism (CDM) yang sekarang menjadi perdebatan ketat. Memang, sebagai negara berkembang yang memiliki hutan, laut serta terumbu karang yang luas, mekanisme ini tentu sangat menggiurkan. Jutaan dollar bisa dihasilkan hanya dengan menjaga alam Indonesia.

Namun, jangan sampai malah keuntungan yang akan kita dapatkan itu malah menjadi awal keterpurukan. Kita harus ingat untuk melakukan diversifikasi energi, sesuatu yang pasti akan dilakukan oleh negara maju. Selain memang peduli pada lingkungan, tentu negara maju tak ingin selamanya harus mengeluarkan jutaan dollar untuk memberi kompensasi kelebihan emisi dari batasan yang telah disepakati, yang menjadi inti dari carbon finance.

Ini yang perlu mendapat perhatian serius. Negara maju akan terus berkembang menjadi lebih ”hijau”. Indikasinya ke sana sudah dapat kita lihat dalam bagaimana negara-negara maju dapat mengembangkan berbagai sumber energi alternatif terbarukan. Lihat saja bagaimana mobil-mobil hibrid laku keras di sana. Berbagai peralatan elektroniknya dibuat sangat efisien dalam mengonsumsi energi. Mereka pun giat mengembangkan sel surya. Bahkan, mereka sudah mempunyai mengembangkan sel surya yang tingkat efisiensinya mencapai 10 persen. Padahal, pada tahun awal pengembangannya sekitar 1980- an, efisiensi itu baru mencapai sekitar 2 persen. Bayangkan berapa tingkat efisiensi yang dapat dicapai dalam 20-30 tahun lagi. Belum lagi pengembangan energi terbarukan lainnya, seperti angin dan arus laut.

Di sinilah letak kesenjangan antara Indonesia dan negara maju yang dapat menyebabkan kita makin lama makin tertinggal. Mengapa demikian? Mekanisme yang diuraikan di atas ini sangat bergantung pada kelebihan emisi negara maju dari batas yang ditetapkan. Kelebihan itulah dikompensasikan dalam bentuk uang terhadap negara yang tak melebihi batas emisi yang ditetapkan. Jika pada saatnya nanti negara-negara maju sudah kian ”hijau”, tentu mereka tak perlu lagi memberi kompensasi apa pun pada negara-negara berkembang yang memiliki surplus batasan emisi karbon. Dollar-dollar yang dibayangkan akan mengalir ke Indonesia pun tentu akan berhenti pada saat itu terjadi.

Memang, sebagai negara berkembang, kita masih diuntungkan dengan batasan emisi yang sangat longgar. Kita selalu mengatakan ”kita tak masuk annex 1 Protokol Kyoto, jadi masih boleh melakukan polusi”. Sering kali kita juga mengambil China sebagai contoh pengonsumsi energi paling rakus di dunia, yang tampaknya tak peduli dengan sumber energi terbarukan yang bersih. Namun, ada perbedaan mendasar di sini yang acap luput dari pengamatan kita. Sebab, China telah mengembangkan dengan serius sumber energi terbarukan, seperti tenaga surya dan angin. Mereka melakukan upaya tersebut karena mereka sangat menyadari bahwa bahan bakar fosil yang mereka beli dari berbagai sumber di dunia ini akan habis dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Langkah itulah yang harus kita tiru. Tentu kita semua tak mau terduduk menyesal 20-30 tahun lagi ketika sadar bahwa uang carbon finance tidak ada, sementara APBN dan anggaran konsumsi masyarakat kian terjerat oleh biaya bahan bakar fosil yang kian meroket. Kita tampaknya juga harus menyadari bahwa sumber bahan bakar fosil yang selama ini kita nikmati tidak boleh dianggap sebagai warisan dari nenek moyang, justru sebaliknya harus dianggap sebagai pinjaman dari anak cucu kita yang kemungkinan besar tidak dapat menikmatinya seperti kita saat ini.

Rosari Saleh,

Guru Besar Departemen Fisika FMIPA Universitas Indonesia

Source : Kompas, Rabu, 16 Desember 2009 | 03:44 WIB

0 komentar:

Posting Komentar

 

TRANSLATE/TERJEMAH BAHASA

My Blog List

Site Info

Followers

LINGKUNGAN GLOBAL Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template