YANG HOT KLIK DI SINI

Kamis, 17 Desember 2009

Masyarakat Desa Sembalun Bumbung Menjaga Martabat Adat

Para pemangku tengah beristirahat setelah sibuk memimpin acara Ngayu-ayu di Desa Sembalun Bumbung, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, beberapa waktu lalu. Mereka inilah yang bertanggung jawab penuh terhadap gagal suksesnya prosesi Ngayu-ayu. (Foto : Kompas/Khaerul Anwar)***

"Krame" Desa, Menjaga Martabat Adat

Haji Purnipah (76), tokoh adat masyarakat Sasak di Desa Sembalun, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, belakangan ini risau. Berkali-kali ia menghubungi kerabatnya di desa yang sama melalui telepon seluler, tetapi tak diangkat-angkat. Suhartono dan Khaerul Anwar.

Sekali telepon diangkat, kerabatnya mengaku sibuk bekerja dan berada di ladang di kaki bukit.

Namun, Purnipah mendapat informasi kerabatnya itu sebenarnya tengah berada di pondoknya dan bersantai. Entah mengapa kerabatnya itu enggan mengangkat handphone (HP)-nya dan tidak mengatakan yang sebenarnya. Namun, dia mengaku tidak jengkel dengan kerabatnya. Ia hanya berkomentar, ”Wah, teknologi digunakan untuk berbohong.”

Itulah cerita Purnipah kepada Kompas saat ditemui di rumahnya Sabtu (5/12). Pengalaman tidak enak memanfaatkan teknologi maju seperti itu bukan sekali saja dirasakan oleh tokoh adat yang sering bolak-balik datang ke Jakarta itu.

Beberapa kali ia merasakan sepertidibohongimelalui telepon selulernya. Bagi orang yang sederhana seperti Purnipah, tentu ia heran dengan manfaat teknologi yang justru tidak sesuai dengan tujuannya, yaitu bisa memperpendek jarak dan dapat mempercepat komunikasi yang lebih seketika melalui jawaban suara dari seberang telepon.

Ternyata, kemajuan abad teknologi yang ia pergunakan tak mudah menolongnya begitu saja untuk berhubungan seketika. Bahkan, yang menyedihkan, kemajuan teknologi itu menggerus nilai-nilai kejujuran yang paling sederhana, yaitu mengatakan apa yang sebenarnya.

Apabila ditelusuri lebih jauh, berdasarkan pengalaman Purnipah, perubahan dan kemajuan zaman tak hanya pelan-pelan mengikis kejujuran masyarakat desa yang ada sejak berabad lamanya itu. Tetapi, juga melunturkan banyak nilai adat, seperti kebersamaan dan kegotongroyongan di Desa Sembalun Bumbung. Mengikisnya nilai-nilai itu membahayakan bagi keseimbangan alam di kawasan Gunung Rinjani untuk kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya.

Purnipah tak habis pikir, bila masyarakat desa saja sudah berbohong dan cuek, apalagi warga kota, termasuk pemimpinnya.

Pemanjaan warga

Mengikisnya nilai-nilai adat seperti itu ternyata juga dirasakan di Desa Sembalun Lawang. Menurut Lalu Maruhun, Sekretaris Desa Sembalun Lawang, yang tinggal di Desa Sembalun Bumbung, erosi nilai-nilai adat jauh lebih berbahaya lagi meskipun diakui masih ada.

Salah satu penyebabnya adalah adanya perubahan kebijakan pemerintah ketika pemerintahan Orde Baru berkuasa. Program itu sebenarnyabertujuanbaik. Namanya, program padat karya. Program itu diterapkan untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan di berbagai desa, dengan cara kerja bakti desa seperti membangun jalan atau irigasi dengan imbalan uang.

Dikatakan Lalu Maruhun, dengan imbalan uang, kini warga enggan bekerja bakti untuk kepentingan desa. Warga hanya bergerak membantu aparat desa bila ada imbalan dan digerakkan pimpinan kelompoknya.

Jadi, bukan hanya kejujuran yang mulai terkikis, tetapi juga kebersamaan dan kegotongroyongan yang terancam dengan program pemanjaan seperti itu. Apalagi sekarang ini warga miskin dimanjakan dengan berbagai program baru, seperti bantuan langsung tunai dan kredit tanpa jaminan,” jelasnya.

Menurut Lalu Maruhun, nilai adat itu masih ada, tetapi tinggal sedikit saja yang masih memberlakukan dalam kehidupan sehari-harinya, terutama orang tua Sasak.

Diakui Lalu Maruhun, aparat desanya tidak bisa lagi mengajak warga untuk kerja bakti. Entah kenapa warga sepertinya tidak mau dengar jika kami yang memanggilnya. Tetapi, jika kita menghubungi ketua kelompok di masyarakat desa yang ada terlebih dulu, warga dari kelompok itu langsung bergerak,” keluh Lalu Maruhun.

Kelompok masyarakat yang dimaksud adalah organisasi kemasyarakatan, keagamaan, dan politik. Khusus organisasi politik, diakui sejak reformasi lalu banyak bermunculan di desanya.

Kegelisahan akibat mulai mengikisnya nilai-nilai adat, termasuk kepemimpinan, juga dirasakan tokoh adat Bayan, Raden Gedarip, yang tinggal di kaki gunung di sebelah utara (Lombok Utara).

Adat istiadat Sasak semakin rusak apabila lembaga adat dan tata cara adat Sasak dilupakan. Lembaga dan tata cara adat itu di antaranya upacara tradisi, yang menunjukkan kuatnya majelis adat (krame desa) yang bisa digunakan untuk meluruskan kembali nilai adat dan menjaga martabat adat. Di situlah kearifan lokal kita ketika nilai-nilai itu pupus,” kata Gedarip.

Roah Gunung

Dikatakan Gedarip, jika nilai itu tidak dikembalikan, tidak hanya badai melanda kawasan ini, tetapi juga gunung meletus dan bencana alam. ”Obat”-nya di antaranya Roah Gunung (Desa Senaru, Bayan) dan Ngayu-ayu (sambut tanam dan pelestarian sumber mata air di Sembalun).

Siranom (40), Amak Loka (Tetua Adat) Dusun Senaru, Bayan, beberapa waktu lalu menjadi tuan rumah upacara Roah Asuh Selamet Gunung Ngempok atau ruwatan bumi. Ia ditemani 19 kepala keluarga di Desa Senaru, Bayan. Upacara itu dilakukan menyusul meletusnya gunung baru (Gunung Baru Jari), yaitu anak Gunung Rinjani yang berada di tengah Segara Anak di lereng Gunung Rinjani.

Upacara ini berlandaskan konsep harmoni, kebersamaan seperti konsep adat tradisi wetu telu yang berjalan di wilayah Lombok Utara dan sekitarnya. Wet berarti wilayah/teritorial hukum, tu/tau sama dengan orang/warga/manusia. dan telu atau tiga. Tiga hal itu antara lain proses daur hidup: lahir (menelo/bertelur), tumbuh (tiwo), dan berkembang (menganak/melahirkan).

Ini disimbolkan pula dalam krame desa (majelis desa) meliputi pamusungan (kepala desa), pengulu (penghulu), dan mangku (pemuka adat) yang masing-masing bertanggung jawab pada pemerintahan, keagamaan, dan adat-tradisi jika terjadi masalah terkait nilai adat. Konsep tiga itu juga perwujudan hubungan antarsesama manusia, manusia dengan jagat raya beserta makhluk hidup, selain hubungan manusia dengan Tuhan.

Harmoni itu antara lain tanah, api, sungai, kayu, bukit, gunung, dan kayu besar, yang dipercaya memiliki kekuatan sekaligus berdampak pada sendi dan keselarasan asas kehidupan sosial manusia dan alam. Setelah melalui proses ritual, darah dan bija tawar disimpan pada tempat khusus di rumah Siranom, peranti acara itu dibawa Siranom untuk dipercikkan di sepanjang pendakian Gunung Rinjani.

Begitu kuatnya pengaruh Rinjani sebagai tempat tumbuh-kembangnya flora-fauna, sumber air bagi irigasi, dan keperluan rumah tangga sehingga gunung beserta isinya harus dijaga. Jika terjadi bencana, dipercaya sebagai peringatan kepada manusia.***

Source : Kompas, Selasa, 15 Desember 2009 | 09:55 WIB

0 komentar:

Posting Komentar

 

TRANSLATE/TERJEMAH BAHASA

My Blog List

Site Info

Followers

LINGKUNGAN GLOBAL Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template